Minggu, 28 Mei 2017

Pilkada Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia

Pilkada Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia
Herzaky Mahendra Putra  ;  Direktur Pelaksana Lembaga Riset
dan Konsultan MANILKA
                                                    KORAN SINDO, 24 Mei 2017



                                                           
Beberapa komentar negatif sempat bermunculan begitu Pilkada DKI Jakarta 2017 berakhir. Pilkada dengan pertarungan paling brutal di antara pendukungnya.

Ada kesan yang timbul, Pilkada DKI 2017 identik dengan menguatnya politik uang dan perilaku penuh intimidasi, berita hoax, maupun politik identitas dengan isu SARA yang dimainkan serta menjadi dominan. Bahkan, berbagai media asing memberikan komentar yang mengesankan demokrasi Indonesia bergerak mundur. Padahal, jika mencermati lebih dalam, ada beberapa hal baru yang disumbangkan oleh Pilkada DKI 2017 ini untuk pengembangan demokrasi Indonesia. Tulisan ini akan mencoba membahasnya.

Tiga Calon, Tiga Cara

Konsep gerilya lapangan me - rupakan sumbangan per tama bagi demokrasi Indonesia oleh Pilkada Jakarta 2017. Aktivitas yang digagas oleh calon gubernur nomor urut 1, Agus H Yudhoyono, memiliki esensi untuk bertatap muka langsung dengan masyarakat, menyerap aspirasi warga de ngan berjalan kaki menyusuri permukiman warga, tanpa ada kesan formal. Tiga ciri khas gerilya lapangan AHY, demi kian Agus sering dipanggil, adalah cara menyerap aspirasi, masifikasi, dan intensitasnya. Pertama, AHY dalam ber - dialog selalu membawa kertaskertas kecil dengan pulpen yang menyertainya untuk mencatat setiap masukan.

Dia juga ber - usaha menjalin kontak secara emosional, dengan menyapa, melihat mata warga, dan ber - salaman. Kedua, minimal ratus - an, bahkan sering ribuan warga, hadir dalam aktivitas gerilya lapangan AHY. Dalam satu ke - sempatan bahkan AHY pernah menjalani rute sepanjang 7 km dan berinteraksi dengan ham - pir sepuluh ribu orang. Masif - nya warga yang disapa oleh AHY merupakan ciri khas kedua aktivitas gerilya lapangan. Ke - tiga, tiap hari minimal ada 6 lokasi yang didatangi oleh AHY. Dan aktivitas ini berjalan ham - pir 7x24 jam dalam seminggu. Bukan hanya butuh stamina, melainkan komitmen luar biasa dari seorang calon pemimpin sehingga aktivitas ini bisa berjalan secara konsisten.

Konsep berbeda dilakukan oleh Basuki, calon nomor urut 2. Beberapa kali aktivitas turun lapangannya mengalami pe - nolakan oleh unsur masyarakat setempat. Namun, hal ini tak membuat Basuki kehabisan akal. Basuki pun memilih meng - optimalkan Rumah Lembang, posko pemenangannya, se - bagai tempat menyerap aspirasi masyarakat. Bagaimana Basuki menyiasatisituasidantan tangan yang muncul dalam usaha me - nyerapaspirasima syarakat, perlu dijadikan contoh bagi calon pe - mimpin yang bakal bertarung di kontestasi pilkada lain sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerap langsung aspirasi masyarakat.

Begitu juga dengan Anies, calon gubernur nomor urut 3. Agenda tatap muka dengan masyarakat kerap kali dilakoni. Sebulan menjelang pemungut - an suara, konsep aktivitas me - nye rap aspirasi masyarakat Anies mengalami sedikit per - ubahan. Kerap ditemui Anies tanpa pengawalan sama sekali, bahkan hampir tidak ada yang mendampinginya, berkeliling ke tempat-tempat publik, un - tuk berdialog langsung dengan masyarakat, tanpa ada liputan dari media. Anies melakukan aktivitas blusukan dalam se-nyap.

Ternyata aktivitas ini meng - undang respons positif dari warga yang sempat berdialog dengannya. Tiga kontestan dan tiga ben - tuk aktivitas menyerap aspirasi masyarakat yang berbeda itu benar-benar pembelajaran yang luar biasa dan berguna da - lam pengembangan demokrasi Indonesia.

Pengakuan Kekalahan, Tradisi Baru?

Salah satu sumbangan ter - besar bagi demokrasi Indonesia oleh Pilkada Jakarta 2017 ada - lah pengakuan kekalahan. AHY memberikan contoh luar biasa, bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap ketika hasil penghitungan suara menunjuk - kan pemilih nya tidak sebanyak calon lain. Dengan jiwa ksatria dan lapang dada, demikian AHY menyampaikan, dia menerima kekalahannya. Pidato mene rima kekalahan AHY pada 15 Februari 2017 lalu memang mengundang reaksi luar biasa dan sangat positif, bukan hanya dari pen - dukung nya, melainkan juga pen dukung kandidat lain.

Basuki, calon petahana yang takluk dari Anies di putaran kedua, meneruskan contoh po - sitif yang diberikan oleh AHY di putaran pertama. Basuki me - nyatakan menerima kekalah - annya dan menyampaikan niat - nya untuk berdiskusi dengan Anies untuk kesinambungan program-program pembangunan Jakarta. Pengakuan kekalahan ini kita harapkan bisa menjadi ke - biasaan tidak resmi, yaitu kon - vensi, namun selalu dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang mengalami kekalahan di pil - kada maupun pilpres. Dengan menjadi suatu norma baru, iklim persaingan di pentas pesta demokrasi di Indonesia akan menjadi lebih sejuk.

Mengingat kentalnya budaya patron-klien di Indonesia, di mana sikap pemimpin menjadi rujukan utama bagi para pendukungnya dalam berperilaku, pengem - bang an demokrasi di Indonesia sedikit banyak tergantung pada berkembangnya tradisi baru ini atau tidak. Kondisi ini sama dengan apa yang disebut Chantal Mouffe dengan prinsip agonism .

Dalam buku berjudul On the Political (2005), Mouffe menjelaskan, ”This means that, while in conflict, theysee themselves as belonging to the same political association, as sharing a common symbolic space within the conflict takes place.” Artinya, setelah kontestasi selesai, kubu yang satu dan yang lain kembali menjadi satu bagian dari political association, yaitu DKI Jakarta.

Akses Lebih Terbuka

Pilkada Ja kar ta kali ini menunjuk - kan fenomena yang me narik. Ketiga calon gubernur: AHY, Basuki, dan Anies bukan me - rupa kan anggota par - tai apa pun. AHY baru saja mengajukan pen - siun dari dinas militer nya begitu diusung oleh koalisi empat partai untuk maju di Pilkada Jakarta 2017, dengan bermodalkan gelar master dari Harvard dan penga laman se - gudang di militer. Basuki, saat diusung oleh PDIP untuk maju, sudah bukan merupakan ang - gota partai apa pun.

Meskipun Basuki aktif di berbagai partai sebelumnya, yaitu Partai Per - himpunan Indonesia Baru (2004), Partai Golkar (2009), dan terakhir Partai Gerindra pada tahun 2012-2014, namun dia diusung ketika tidak men jadi anggota partai mana pun. Anies R Baswedan kita kenal sebagai inisiator Indonesia Meng ajar dan aktivitasnya di dunia kampus, sebelum di - usung sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017 oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sosial. Anies memang sempat maju konvensi capres Partai Demokratpada 2014danber alih menjadi pendukung Pre si den Jokowi sehingga berbuah posisi menteri sampai dengan reshuffle Juli 2017, namun belum men - jadi anggota partai manapun hingga saat ini.

Keberadaan ketiga calon gubernur yang sama-sama bu - kan merupakan anggota partai, menandakan adanya akses yang lebih terbuka untuk caloncalon pemimpin yang tidak ber - asal dari partai. Selama me - mang mereka berkualitas, tidak tertutup kemungkinan partai politik meminangnya menjadi calon di pilkada. Hal ini sangat positif dalam mendukung per - kembangan demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Bergerak Maju

Demokrasi di Indonesia memang masih seumur jagung dan masih akan terus berkembang. Sangat wajar muncul ekses-ekses negatif dari demokrasi yang telah kita pilih sebagai sistem bernegara. Masyarakat Indonesia sedang berusaha menemukan, sistem demokrasi seperti apa yang lebih tepat untuk mereka. Tiga kontestan calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menunjukkan perannya, memberikan sumbangan bagi perkem bang an demokrasi di Indonesia.

Tentu, harapan besar diletakkan pada peserta pilkada 2018, dan tahun-tahun selanjutnya, untuk mengikuti jejak ketiga calon gubernur Jakarta agar demokrasi di Indonesia bergerak maju dan semakin matang.


( Mohon maaf, proses edit belum diselesaikan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar