Senin, 29 Mei 2017

Sekali Lagi, Membaca Isyarat "Gebuk" Presiden Jokowi

Sekali Lagi,
Membaca Isyarat "Gebuk" Presiden Jokowi
Toni Ervianto  ;  Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI;
Alumnus FISIP Universitas Jember;  Peneliti di CERSIA, Jakarta
                                                      DETIKNEWS, 24 Mei 2017



                                                           
Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah akan bertindak tegas terhadap organisasi mana pun yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Presiden tidak akan pandang bulu, baik terhadap kelompok kanan maupun kelompok kiri.

"Organisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, kebinekaan, kalau saya, tidak bisa (biarkan)," kata Presiden dengan emosi saat melakukan pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Rabu (17/5). Jokowi menegaskan, dirinya dilantik sebagai presiden dan memegang amanah rakyat. Oleh karenanya, ia akan menegakkan hukum sesuai dengan peraturan yang ada.

"PKI, kalau nongol gebuk saja. Tap MPR sudah jelas (melarang PKI)," tambahnya. Jokowi menyesalkan, ia dan keluarganya terus difitnah terlibat dengan PKI. Bagi Jokowi, ia dan keluarganya sangat jelas sama sekali tidak terkait dengan PKI.

"Saat PKI dibubarkan, saya masih berumur 4 tahun," ujar Jokowi. Ia juga menjelaskan orangtuanya tidak terkait dengan PKI. Ia mempersilakan agar dilakukan investigasi untuk menyelidikinya. Jokowi mengaku emosi atas fitnah-fitnah terhadap dirinya karena menghabiskan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan memajukan kemakmuran rakyat.

Presiden kemudian menegaskan kembali dalam kesempatan yang berbeda bahwa pemerintah tidak akan segan menggebuk dan menendang organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bertentangan dengan Pancasila.

"Ya, kita gebuk, kita tendang, sudah jelas itu. Jangan ditanyakan lagi, jangan ditanyakan lagi, payung hukumnya jelas, TAP MPRS. Negara Pancasila sudah final," kata Presiden di Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/).

Keseriusan

Kata 'gebuk' itu menunjukkan keseriusan Presiden untuk menjaga Pancasila sebagai dasa negara. Namun sebaiknya Presiden tidak hanya bicara tapi harus bertindak. Untuk menggebuk mereka yang anti Pancasila harus secara hukum karena ini negeri demokrasi. Jadi, menggebuk bukan atas dasar kekuasaan politik.

Ketegasan Jokowi ini mengacu pada prinsip politik lama yang berbunyi "a leader is a dealer in hope". Bahwa, seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan. Maksud esensinya adalah pemimpin besar pasti seorang yang memiliki karakter yang kuat, visioner, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera bangsanya.

Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat konstitusional. Dia paham betul bahwa tunduk pada konstitusi dan undang-undang adalah wajib hukumnya. Walaupun presiden mendapat status sebagai Warga Negara Indonesia Istimewa yang tidak bisa diajukan ke pengadilan sebesar apapun kesalahan mereka, tapi undang-undang adalah buatan manusia yang bisa diubah dan dihapus kapan saja.

Itu tidak dijadikan alasan untuk Jokowi bertindak semena-mena. Walaupun dia paham sebagai penguasa negara, dia bisa saja membubarkan organisasi manapun yang dia mau yang sekiranya menjadi hama di Indonesia. Tapi, Jokowi menghormati undang-undang yang sudah mengesahkan organisasi-organisasi yang sudah berdiri jauh sebelum dirinya menjadi Presiden Indonesia itu.

Proteksi Keamanan

Pernyataan Presiden untuk menggebuk ormas anti Pancasila memang tepat. Mengingat akhir-akhir ini dengan mengatasnamakan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, ada kelompok masyarakat yang hendak memaksakan keinginan dengan menggunakan kekuatan massa dan kelompok untuk mengganggu NKRI.

Ketegasan Presiden Jokowi memproteksi keamanan negara sejatinya karena Jokowi ingin negara hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi anak bangsa sebagai refleksi program Nawacita. Esensi Nawacita tidak jauh berbeda seperti yang dikemukakan Robert I Rotberg dalam buku yang disuntingnya When States Fail: Causes and Consequences (2003) yaitu negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberi kebajikan umum kepada warganya, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa.

Sejarah bangsa ini sudah jelas. Dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote, dengan berbagai etnis, suku, agama dan adat istiadat, telah sepakat mengikat diri dalam NKRI dalam kebhinekaan yang berpondasikan Pancasila serta UUD 1945. NKRI tidak mengenal mayoritas dan minoritas.

Dengan demikian tidak boleh ada riak-riak yang mengancam keutuhan NKRI, dan akan mengganti Pancasila. Riak-riak selayaknya dihilangkan sebelum berkembang menjadi gelombang, bahkan badai. Kalau bisa secara persuasif, kalau tidak bisa, apa boleh buat harus dilakukan dengan tindakan tegas.

Menjaga empat pilar kebangsaan yakni Pancadila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak bisa dikutak-atik. NKRI jangan ada yang mengusik lagi!

"Teruslah bertanya supaya negara tetap terjaga," demikian pernyataan Mouirie Travali yang hakikatnya meminta setiap elemen bangsa untuk tidak membisukan diri saat menyaksikan ada segolongan pilar negara sedang kehilangan komitmen terhadap tugas dan kewajiban negara.

Itulah sebenarnya esensi ketegasan Jokowi dalam memproteksi keamanan negara. Jokowi ingin kita berpikir kritis, mengubah etos kerja, disiplin, dan tidak bekerja sebagai rutinitas semata. Karena, kemajuan zaman sudah semakin deras dan terus melahirkan berbagai jenis ancaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar