Selasa, 30 Mei 2017

Terorisme Global Pemahaman yang Membawa Bencana

Terorisme Global
Pemahaman yang Membawa Bencana
Suhardi Alius  ;   Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI
                                               MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2017



                                                           
KONSER musikus Amerika Serikat, Ariana Grande, di Manchester Arena, Inggris, Senin (22/5) malam waktu setempat, telah mengguncang dunia. Aksi terorisme di akhir konser itu diduga dilakukan dengan bom bunuh diri. Tragedi itu mengundang belasungkawa dari berbagai negara dan mengutuk aksi terorisme tersebut.

Hanya berselang 2 hari setelahnya, bom bunuh diri terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Polisi yang bertugas mengawal pawai obor menjelang Ramadan tak luput menjadi korban. Para petinggi ulama telah bersuara keras mengutuk pelaku ledakan bom itu.

Mengutip kalimat Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid, “Siapa pun pelakunya, mereka manusia yang sudah kehilangan nilai kemanusiaan. Sangat biadab dan jauh dari nilai-nilai agama.”

Aksi teror yang berusaha menarik perhatian dunia telah menjadi ciri khas terorisme. Hal itu menjadi mudah bagi mereka dan seakan mendapat ruang besar dengan kehadiran media yang lebih menyukai pemberitaan sensasional dan ko­mersial. Apalagi dengan aksesibilitas yang dihadirkan jejaring media sosial dan internet, masyarakat pun terkadang latah turut menyebarkan foto-foto korban.

Terorisme berkedok agama

Sebagian besar berasumsi menanggulangi terorisme dengan cara membombardir pusat ISIS di Irak maupun di Suriah. Namun, meskipun IS semakin terjepit di negara asalnya, seruan aksi teror di belahan dunia lainnya masih terus dilancarkan. Kelompok ini telah menebarkan teroris asing (foreign terrorist fighters/FTF) yang dapat mengancam setiap negara.

Keberadaan FTF semakin menguatkan apa yang pernah ditulis Ann E Robertson 10 tahun yang lalu (Terrorism and Global Security) bahwa terorisme yang terjadi sekarang ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, merupakan ancaman yang serius bagi keamanan global dewasa ini.

Keberadaan FTF yang dapat ada di setiap negara menjadi ‘pekerjaan rumah’. Indonesia sudah mengenal FTF sejak era Al-Qaeda. Eksploitasi situasi perang di belahan Timur Tengah atas nama agama menjadi alat untuk merekrut jejaring baru di Tanah Air. Kini, kehadiran FTF tidak hanya sekadar ideologi, solidaritas seiman, tetapi juga dengan cara iming-iming kesejahteraan. Hal itu terbukti dari keberangkatan WNI ke Suriah dengan membawa seluruh keluarganya karena diimingi penghasilan yang besar.

Disadari bahwa berbagai aksi te­ror yang mengguncang dunia kerap kali memakai jargon keagamaan, jihad dan pengutipan kitab suci (seperti Islamic State of Iraq and Syria-ISIS, Al-Qaeda, Al-Nusra, Taliban, dan Boko Haram). Eksploitasi wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan dalam aksi kelompok itu, menjadikan terorisme belakangan ini diidentikkan sebagai suatu ajaran agama.

Fenomena itu seakan mendapatkan pembenaran teori dalam analisis kultural, bahwa terdapat korelasi nilai-nilai/ideologi teroris dengan tindakannya. Namun, analisis ini hanya menegaskan ajaran dan doktrin agamalah yang menggerakkan mereka untuk melakukan aksi teror sebagai representasi ajaran agama. Tidak lagi mampu menjelaskan seperti pemahaman yang keliru terhadap situasi politik atau ketimpangan global, propaganda yang menggugah solidaritas identitas/seiman, hingga kondisi pelaku teror secara sosial atau pun ekonomi, atau kekecewaan psikis yang kemudian menggerakkannya melakukan aksi teror terhadap simbol-simbol yang dianggap mewakili sasaran.

Penanggulangan terorisme dapat diwujudkan melalui analisis rasio­nal dengan memandang terorisme yang timbul karena adanya berbagai faktor penyebab, seperti ekonomi, politik, psiko­logis dan ideologis, meskipun terorisme menemukan tempatnya berlindung di balik dalil-dalil agama.

Dalam perspektif inilah penanggulangan terorisme dapat berjalan efektif. Apa yang dilaksanakan BNPT dengan mengelaborasi pendekatan keras (penegakan hukum) dan pendekatan lunak (kegiatan pencegahan radikalisme di hulu dan deradikali­sasi di hilir) telah mendapat apresiasi internasional. Beberapa kali BNPT diundang negara lain untuk memahami pola penanggulangan terorisme di Indonesia.

Pemahaman keliru mengidentikkan kelompok seperti ISIS dan kelompok radikalisme-terorisme di dunia sebagai representasi nilai ajaran agama telah membawa bencana bagi kemanusiaan. Indonesia pun tidak lepas dari stereotipe itu. Padahal meskipun Indonesia sebagai mayoritas muslim, itu tidaklah merepresentasikan banyak teroris. Bahkan secara statistik jumlah FTF dari Indonesia di Suriah berkisar di atas angka 500 orang, jumlah yang sangat kecil bila dipersentasekan dengan jumlah populasi muslim di Indonesia. Hal itu menunjukkan Indonesia mampu mengatasi masalah dinamika terorisme dengan baik. Justru aksi-aksi terorisme di Indonesia datang dari luar, FTF, atau bagian dari jejaring global.

Mereka ini dengan berbagai propaganda berusaha merekrut, membaiat, mengiming-imingi, yang justru jauh dari ajaran agama yang selama ini hidup dalam masyarakat Indonesia, agama ialah rahmat bagi semua umat dan sekalian alam semesta. Semua agama di Indonesia memberikan pesan perdamaian dan toleransi.

Kompleksitas fenomena terorisme

Fenomena terorisme semakin kompleks. Begitu pula dengan faktor-faktor yang melandasi aksi terorisme. Dari persoalan sosial, ekonomi hingga menjadi pergerakan politik kelompok tertentu. Akibatnya, definisi terorisme semakin luas pula. Meskipun beragam faktor pendorong atau pemicu gerakan terorisme, terdapat karakteristik yang sama, yakni penggunaan kekerasan dalam aksinya.

Terorisme merupakan ancaman global yang mencekam nilai-nilai kemanusiaan. Seluruh negara telah menjadikan terorisme musuh bersama. Penanganan terorisme dari berbagai negara memang dengan beragam cara. Hal tersebut disebabkan kompleksitas terorisme mengha­ruskan berbagai model dan cara dalam penanggulangannya. Namun, di balik semua itu, ada aksi dan kolaborasi global dalam penanggulangannya.

Berbagai kerja sama bilateral, regional, dan internasional dilaksanakan sebagai upaya bersama dalam penanggulangan terorisme. Dengan kerja sama di segala bidang menjadi kunci dari menangkal penyebaran terorisme secara global. Terorisme dalam sejarahnya tidak saja merupakan bagian dari masyarakat sipil, tetapi juga dapat menjadi representasi negara dalam mencapai tujuan politik. Bagi Indonesia, perang melawan terorisme tidak menjadi dalih untuk melakukan intervensi, agresi, dan melanggar hak asasi manusia.

Efektivitas penanggulangan terorisme dapat berjalan bila mampu mengurai secara detail berbagai kompleksitas penyebab, faktor, dan motif para pelaku terorisme. Salah satu strategi BNPT ialah melakukan kontraradikalisasi dan penegakan hukum. Kontraradikalisasi misalnya melalui kampanye antiterorisme, kontranarasi melalui buku bacaan, booklet, serta menggalakkan berbagai kegiatan dialog dan pembekalan ke berbagai forum. Strategi kontraradikalisasi ditujukan terhadap masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme.

Sebagai negara majemuk dengan mayoritas muslim, Indonesia diharapkan mampu menangkal terorisme. Secara kuantitas mereka sedikit. Kita semua harus bisa mengendalikannya dengan memberikan pemahaman yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar