Minggu, 21 Mei 2017

Toleransi

Toleransi
Toriq Hadad  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                       TEMPO.CO, 15 Mei 2017



                                                           
Ketika banyak orang risau tentang defisit toleransi beragama di sekitar kita, saya teringat Pasuruan. Kota kecil itu dikenal sebagai gudang pesantren. Madrasah banyak didirikan, juga sekolah negeri, sekolah swasta, termasuk sekolah Katolik. Maka, santri bersarung dan berkupluk, pelajar bercelana pendek, pastor dan suster berjubah dan berkalung salib, dulu bukan pemandangan aneh di kota kecil itu.

Di SMA, saya masuk sekolah Katolik, dan saya tak pernah melupakan satu pertemuan yang jarang pada tahun 1977. Pastor Harmelink, seorang guru warga negara Belanda, berkunjung ke rumah kakek saya. Pastor yang selalu berjubah dan bersepeda itu diterima kakek saya yang hampir tak pernah lepas dari kopiah dan sarung di rumah kami. Kakek saya menyampaikan terima kasih atas perkenan Pastor Harmelink memberi izin bagi saya dan teman-teman yang Islam untuk melaksanakan salat Jumat. Kakek saya juga tidak keberatan dengan permintaan pastor itu untuk mengadakan pelajaran budi pekerti di halaman gereja.

Pada masa Pastor Harmelink menjalankan misinya di kota itu, hiduplah seorang kiai besar di Pasuruan. Dialah Kiai Abdul Hamid, seorang ulama asal Lasem, Jawa Tengah, yang dipercaya sebagai "waliallah" yang tinggi ilmunya. Kiai Hamid dikenal sangat halus budi bahasanya, tidak suka menonjolkan diri, apalagi "bermain politik" dengan penguasa kota. Bila tiba waktu salat Jumat, ia lebih memilih duduk di pojok masjid dekat menara ketimbang berada di saf paling depan. Selain pantang melangkahi anggota jemaah yang datang lebih dulu, Kiai Hamid sengaja menghindar dari serbuan orang yang berebut mencium tangannya. Ia memaafkan maling yang mencuri sarung santri di pondoknya, bahkan mengundang si maling untuk datang beribadah di pondoknya.

Kiai Hamid sangat tahu perannya sebagai ulama: mengajar dan menyempurnakan akhlak. Ia menyediakan diri mengajar pada Ahad pagi. Ia mengajar kitab-kitab tasawuf, seperti Bidayatul Hidayah dan Salalimul Fudlala. Ia mengamalkan ilmu yang sudah didalaminya selama puluhan tahun. Kendati ia punya pengaruh besar di kalangan Nahdlatul Ulama, saya tak pernah mendengar Kiai Hamid bicara politik praktis, apalagi menyebar kebencian terhadap agama lain atau pemerintah setempat.

Saya percaya Kiai Hamid tahu persis aktivitas para penyebar agama lain di kotanya, seperti Pastor Harmelink itu. Tapi ia tak pernah menyulut kebencian atau membakar emosi pengikutnya untuk membenci pengikut agama lain. Yang dilakukan Kiai Hamid adalah menambah ilmu pengikutnya, barangkali karena ia percaya bahwa, semakin dalam ilmu agama seseorang, maka semakin kokoh benteng keimanannya. Kiai Hamid yang bertutur lembut ini sungguh jauh dari potret ulama masa kini yang bergelora, dengan kata-kata panas, seakan siap menghakimi siapa saja yang dianggap tidak membela Islam.

Di Jakarta hari-hari ini, sulit benar saya mendapati ulama dengan akhlak sebaik Kiai Hamid. Yang gampang saya temui, ustad atau khatib di masjid yang selalu bicara kebaikan agamanya dan keburukan agama orang lain. Yang terlalu sering saya dengar, ulama yang mengkafirkan orang lain, menentukan bahwa si pemeluk agama lain akan masuk neraka. Ujaran kebencian, menarik garis antara Islam dan bukan Islam dalam kehidupan sosial, memutlakkan soal-soal akhirat yang semestinya menjadi rahasia Allah seperti menjadi mode belakangan ini. Saling hujat, saling maki, tumbuh subur di media sosial, memecah keluarga, merusak pertemanan.

Saya tak tahu kapan ini semua berakhir. Saya juga tak tahu apakah Tuhan akan menurunkan lagi seorang Kiai Hamid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar