Sabtu, 24 Juni 2017

Presidential Threshold

Presidential Threshold
Janedjri M Gaffar  ;   Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
                                                   KORAN SINDO, 20 Juni 2017




                                                           
Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu oleh DPR dan pemerintah belum juga usai. Bahkan, walau tidak diharapkan, potensi terjadinya jalan buntu (deadlock) telah diantisipasi pemerintah. Masih terdapat perbedaan pandangan, baik antarfraksi di DPR maupun antara fraksi di DPR dan pemerintah mengenai beberapa isu utama yang menentukan corak sistem pemilu yang akan datang. Salah satunya adalah tentang persyaratan ambang batas perolehan suara atau kursi sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold/PT). Perdebatan PT tidak hanya terkait dengan soal besaran persentase, tetapi juga dikaitkan dengan eksistensinya, bertentangan dengan konstitusi atau tidak .

Eksistensi PT telah dinyatakan oleh MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. PT ada di wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi wewenang pembentuk und ang-undang. PT telah diterapkan pada 3 kali pemilu di era reformasi. Soal PT kembali mengemuka setelah adanya putusan MK yang menyatakan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden harus dilakukan secara serentak.

Walaupun putusan ini sama sekali tid ak berkaitan dengan soal PT, banyak pihak menjadikannya sebagai landasan untuk menyatakan bahwa dengan pemilu serentak, PT menjadi berten tangan dengan konstitusi.

Acuan Konstitusional

Landasan konstitusional pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksana an pemilihan umum.” Pasal itu menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusul kan oleh satu partai politik saja atau oleh gabungan beberapa partai politik yang bersama-sama mengusulkan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Memaknai ketentuan tersebut tentu tid ak dapat dilepaskan dari konteks pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya dari arah sistem kepartaian. Para perumus perubahan UUD 1945 telah mendiskusikan bahwa untuk membentuk pemerintahan yang stabil atau yang dapat dikelola (governa bility), diperlukan sistem multipartai sederhana. Tidak seperti sistem multipartai ek strem di awal era Reformasi dan belajar dar i hasil Pemilu 1999, tetapi di sisi lain juga tidak mau terjebak pada sistem kepartaian terbatas seperti masa Orde Baru.

Sistem multipar tai sederhana itu di - wujudkan dalam sistem pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden. Salah satu wujudnya adalah rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Frasa ”diajukan oleh partai politik ” berarti bahwa satu partai politik dapat mengajukan satu pasangan calon presiden d an wakil presiden. Partai politik ini adalah partai politik yang memiliki kekuatan politik tertentu sehingga d apat menjamin stabilitas pemerintahan serta governability, khususnya d alam hubungannya dengan DPR.

Jika suatu partai politik itu tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan guna menjaga stabilitas dan governability, partai itu harus bergabung dengan partai politik lain untuk mengajukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden bersama-sama. Karena itu pasangan calon presiden dan wakil presiden juga dapat diajukan oleh gabungan partai politik .

Kriteria kekuatan politik yang paling ter ukur sebagai dasar pengajuan pasangan calon adalah suara sah yang diperoleh dalam pemilu leg islatif atau jumlah kursi yang diperoleh di DPR . Antara suara sah yang diperoleh dengan jumlah kursi yang diperoleh di DPR tentu tidak akan banyak selisih mengingat sistem pemilu leg islatif yang menganut sistem proporsional atau distrik berwakil banyak.

Persentase jumlah kursi DPR pasti lebih tinggi dari persentase suara sah yang diperoleh karena adanya suara yang tidak diperhitungkan, baik karena tidak memenuhi parliamentary threshold maupun sisa suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.

Pemilu Serentak dan PT

Walaupun saat ini pendapat yang menolak PT didasarkan pada pelaksanaan pemilu serentak, sesungguhnya kedua hal itu memiliki orientasi yang sama, yaitu mencapai stabilitas pemerintahan. Keduanya berangkat dari asumsi bahwa meskipun dalam sistem presidensial kekuasaan presiden mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat , dalam realitas politik dan ketatanegaraan dipengaruhi oleh relasinya dengan parlemen.

Pencapaian stabilitas pemerintahan melalui pemilu serentak diharapkan terjadi terutama dari efek keserentakan (cocktail effect) terhadap pilihan pe milih. Pemilih diharapkan memberikan pilihan secara konsisten antara partai politik untuk pemilu legislatif dan pasangan calon presiden serta wakil presiden yang diusung. Hal ini juga didorong oleh pelaksanaan kampanye secara bersamaan sehingga antara partai politik pengusung dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat saling mengampanyekan.

Par tai politik diharapkan membang un koalisi permanen, yaitu koalisi yang dibangun sebelum pelaksanaan pemilu legislatif sehingga tidak semata-mata ditentukan oleh per timbangan kekuatan politik praktis. Tapi tetap harus diingat bahwa kasus sebaliknya dapat saja terjadi. Antara pilihan terhadap partai politik berbeda dengan pilihan atas pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini sangat dimungkinkan karena pemilih Indonesia cenderung memilih partai berdasarkan ikatan ideologis tradisional, sedangkan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden lebih didasarkan pada popularitas figur. Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009, walaupun pemilu belum dilaksanakan secara serentak.

Setidaknya Pemilu 2009 di mana tiap partai telah dapat diramalkan akan mengusung calon presiden yang mana ter nyata partai politik pemenang pemilu tidak mampu menjamin pasangan calon presidennya terpilih. Sebaliknya pre siden terpilih ternyata adalah calon yang diajukan partai politik menengah. Terdapat potensi besar yang mendorong partai politik tetap mengajukan calon masing-masing.

Target yang dituju bukan menjadi calon terpilih, melainkan menyolidkan suara partai politik, apalagi jika kapasitas merebut suara dari orang yang dicalonkan lebih besar dari kapasitas par tai politik. Partai politik tidak akan takut kehilangan momentum untuk membangun koalisi pemerintahan karena masih ada kesempatan yaitu pada saat penyusunan kabinet.

Perolehan suara pemilu sebagai dasar koalisi yang dihindari oleh pemilu serentak sebagai dasar koalisi saat mengusung pasangan calon bergeser menjadi dasar koalisi dalam pembentukan pemerintahan yang sangat mungkin lebih bersifat pragmatis lagi. Karena itu tujuan dari pemilu serentak adalah untuk mewujud kan stabilitas pemerintahan d an governability melalui proporsionalitas antara hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden serta melalui pembentukan koalisi permanen sesung guh nya yang lebih kuat jika menggunakan ketentuan PT.

Keharusan melakukan koalisi semakin kuat karena kalaupun masih ada kemungkinan koalisi pada saat pembentukan peme rin tahan, koalisi awal yang di bangun pada saat pengajuan pa sangan calon akan lebih per manen dan menarik bagi partai politik. Koalisi yang terbentuk melalui persyaratan PT juga memastikan proporsionalitas antara komposisi kursi di DPR dengan Presiden terpilih. Karena itu tidak ada alasan mempertentangkan antara pemilu serentak dengan eksistensi PT.

Persoalannya hanya pada tataran teknis dan peralihan. Pada tataran teknis menentukan dasar PT dengan sendirinya pilihan terbaik ad alah hasil pemilu sebelumnya. Ad apun un tuk partai baru perlu dirumuskan pada ketentuan peralihan, misalnya harus berkoalisi dengan partai lama atau dapat mengajukan sendiri bersama sejumlah partai baru yang lain.

Puasa Bicara untuk Kebangsaan Kita

Puasa Bicara untuk Kebangsaan Kita
A Halim Iskandar  ;   Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur
                                                   KORAN SINDO, 19 Juni 2017




                                                           
Akhir-akhir ini begitu banyak statemen negatif, ujaran kebencian mengalir di negeri ini dan begitu masif nilai-nilai kesantunan diabaikan. Padahal bangsa ini membutuhkan opini konstruktif, bukan opini konfrontatif. Ramadan mengajarkan nilai positif. Tidak sekadar nilai menahan lapar, tetapi juga menahan ego, perkataan provokatif, dan nihilisme ibadah. Alquran memberikan pelajaran menarik bagaimana upaya menahan ego dalam situasi seseorang sebenarnya bisa berekspresi. Dalam hal pengendalian diri, ajaran Islam banyak menyejarahkan dalam praktik ritual keseharian.

Lihatlah bagaimana fikih Syafiiah melarang orang berkomentar ketika khotbah Jumat berlangsung, bahkan ketika khatib menyampaikan hal-hal yang tidak disukai; fikih aswaja membatalkan salat seseorang yang berbicara dalam salatnya; serta fikih adab yang mengajarkan larangan berbicara ketika wudu. Quran menggambarkan bagaimana Maryam yang Zahid pun masih perlu dan diperintah Allah melakukan puasa bicara, jenis puasa yang semakin jarang dipraktikkan di negeri ini atas dalih kebebasan berpendapat. Komentar tak cerdas sekalipun begitu mudah terucap, jadi viral di media-media sosial, kemudian memperburuk prasangka sesama.

Inninadhartulirrahmanishaum anfalanukallimalyauminsiyya, sesungguhnya aku telah bernazar puasa bicara untuk Tuhan Yang Maha Pemurah (Maryam: 26).” Ayat tersebut mengaitkan puasa dengan kerahmanan Allah. Artinya ketika kita mengenal makrifat rahman Allah sudah pasti takkan sembarangan berkomentar tanpa melihat efek negatifnya terlebih dulu.

Imam Ghazali sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2001) menegaskan bahwa aplikasi sifat rahman Allah bagi seorang muslim akan menumbuhkan nasihat yang lemah lembut, memandang orang bersalah dengan kasih sayang. Nah, puasa kita seharusnya berorien-tasi pada hal ini, orientasi rahman-rahim Allah. Puasa bicara pada dasarnya berada dalam konteks rahmatrahmaniah. Dengan menjaga lidah untuk tidak berkomentar negatif, pada dasarnya seseorang menjaga agar rahmatrahmaniah itu tetap mengalir kepada semua makhluk Allah.

Puasa bicara mencipta kekondusifan, menjamin rahmatan lil alamin tetap terjaga. Singkatnya puasa dalam konteks rahmat-rahmaniah inilah fondasi kebangsaan kita sehingga kebersamaan dalam keragaman terpelihara. Mungkin sebuah ujaran pada mulanya tidaklah kontroversial, tetapi persebarannya di media sosial akan menjadikannya sesuatu yang tidak dimengerti masyarakat umum. Tak ada yang salah pada kuliah doktor tasawuf yang membahas tasawuf falsafi di kelas pascasarjana, tetapi akan menjadi kehebohan manakala terunggah di media sosial dan menjadi bahan penghangat fitnah.

Hal itu terjadi baik karena adanya perbedaan pemahaman antarpembaca/penerima ujaran ataupun disebabkan oleh penyajian ujaran yang dilakukan pihak tertentu dengan maksud tertentu pula. Di sinilah diperlukan kedewasaan banyak pihak dalam memilih dan memilah informasi yang beredar cepat di media, belajar memahami bukan belajar menghakimi. Mari kita jadikan momentum Ramadan ini sebagai momentum puasa bicara nasional atas perkara-perkara tiada guna demi terciptanya kondisi konstruktif, dan keutuhan NKRI.

UKP Pancasila dan Pembumian Pancasila

UKP Pancasila dan Pembumian Pancasila
Agus Riewanto  ;   Pengajar Mata Kuliah Pancasila di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
                                                   KORAN SINDO, 19 Juni 2017




                                                           
Belum lama ini Presiden Jokowi melantik Yudi Latief sebagai ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Presiden juga melantik sembilan tokoh untuk menjadi dewan pengarah UKP-PIP. Kesembilan tokoh tersebut adalah Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, mantan Wapres Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Ketua MUI KH Maruf Amin, mantan Ketua MK Mahfud MD, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj, Prof Dr Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek. Mereka dilantik berdasarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 31M/2017.

Ekspektasi UKP-PIP

Sungguh besar ekspektasi publik pada kinerja UKP-PIP ini mengingat eksistensi ideologi Pancasila akhir-akhir mengalami krisis hanya menjadi jargon politik tanpa roh. Itulah sebabnya ideologi Pancasila kini berada di persimpangan jalan karena memperoleh perlawanan sengit dari ideologi alternatif lainnya yang bersumber dari nilai-nilai Barat dan Timur Tengah yang berpotensi menihilkan nilai khazanah lokalitas Pancasila yang telah berakar sejak sebelum Indonesia merdeka.

Jika dibiarkan tentu akan membahayakan bangunan bangsa dan negara menuju jurang pertikaian antar ideologi yang tak berkesudahan. Saatnya kini Pancasila direjuvinasi dalam cara dan ragam yang berbeda dengan di Era Orde Baru. Publik berharap UKP-PIP ini tidak terlalu luas kewenangannya, lebih pada fungsi koordinasi dan pengendalian serta pembenahan indoktrinasi Pancasila di semua level masyarakat. Unit ini tidak perlu mengambil kewenangan lembaga yang sudah ada, tapi membantu pelaksanaan program Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Kreativitas Membumikan Pancasila

Model pembumian, penguatan dan pemantapan ideologi Pancasila yang akan didesain unit ini juga seharusnya bukanlah dalam bentuk pelatihan indoktrinasi yang cenderung mematikan nalar dan daya pikir kritis masyarakat, namun seharusnya mencari terobosan dan inovasi kreatif sesuai dengan tantangan zaman yang akan dihadapi masyarakat. Model pelatihan dan indoktrinasi Pancasila nonkritis ini pernah diterapkan di era Orde barudengannamaPenataranPedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang bertujuan menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Namun, karena tafsir terhadap Pancasila yang tunggal dan cenderung hanya untuk melegitimasi dan melanggengkan Orde Baru, akibatnya gagal dan hanya menghasilkan puing sejarah kelam. Sejarah mencatat program Penataran P4 ini telah dilaksanakan sejak 1978, berdasarkan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa/P4 dan Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Namun, Tap MPR ini dicabut pada 1998 melalui Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR No II/MPR/ 1978.

Kegagalan P4 era Orde Baru ini seharusnya dijadikan pelajaran bagi unit ini dalam menyusun program kerja, desain kurikulum, model, dan peserta dalam program-program kreatif lainnya. Pada era kini memerlukan kreativitas baru dalam penguatan roh Pancasila dengan melakukan segmentasi berbagai simpul- simpul dalam masyarakat sesuai dengan profesi, usia, faktor geografis dan tantangantantangan yang berbeda. Misalnya, segmen siswa dan mahasiswa, pemuda, aparatur sipil negara, ibu rumah tangga, partai politik, organisasi kemasyarakatan hingga seniman dan budayawan.

Karena berbeda segmen maka cara dan teknis internalisasi roh Pancasila berbeda-beda. Karena penyeragaman cara indoktrinasi Pancasila di Era Orde Baru telah nyata gagal dan berakhir dengan seremonial belaka. Tentu saja cara Orde Baru ini harus ditinggalkan. Karena itu UKP-PIP ini perlu bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan dalam membawa roh Pancasila ini dalam tindakan, bukan dalam konsep dan teori belaka. Itulah sebabnya Unit ini perlu memiliki target dalam setiap kegiatannya dengan membawa Pancasila ini ke dalam semua lini profesi dan kegiatan formal dan informal kenegaraan dan kemasyarakatan.

Belajar ke AS dan Jepang

Sejarah sosial dunia menunjukkan, bahwa tak ada bangsa yang besar yang tak menanamkan ideologi bangsanya melalui etos dan spirit jiwa rakyatnya. Lihatlah, bangsa Amerika Serikat (AS) begitu besar dan kuat pengaruhnya di dunia, karena bangsa ini telah memiliki agenda menginternalisasi nilai-nilai Amerika melalui ideologi “The American Dream” (Mimpi Amerika) berupa kesadaran sebagai bangsa perantau yang harus meraih mimpi tentang kebahagiaan (happines), kemakmuran (prosperity), kebebasan (liberty), dan kebersamaan (togethernes ) telah nyata diinspirasikan dalam semua bentuk kegiatan warga AS sejak anak-anak hingga dewasa.

Lihatlah pula bangsa Jepang yang mengindoktrinasi nilainilai “Restorasi Meiji” sebagai ideologi bangsa melalui internalisasi etos kerja keras, kemakmuran. Kecintaan pada Jepang telah mengantarkan negara ini menjadi bangsa yang besar dan menguasai hampir semua kompetisi global, mulai teknologi, ilmu pengetahuan hingga seni dan budaya yang dikagumi dunia. UKP-PIP dapat belajar bagaimana Amerika Serikat dan Jepang dalam menanamkan ideologi bangsanya yang berhasil mengikat semua komponen bangsanya untuk bersepakat tanpa pernah menggugat dan menggantikannya dengan ideologi lainnya.

Tak seperti bangsa Indonesia, duabangsainitakpernah menghadapi pertikaian antar warganya untuk mempertaruhkan ideologinya. Sebaliknya kedua bangsa ini berkonsentrasi untuk memba-ngun peradaban dunia dan disibukkan oleh kompetisi meriah kemakmuran, ilmu pengetahuan, teknologi dan tak melupakan spiritualitas (religusitas). Menumbuh etos dan spirit Pancasila dalam setiap denyut nadi seluruh anak negeri ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh UKP-PIP ini.

Desain Membumikan Pancasila

Itulah sebabnya agar kehadiran UKP Pancasila ini tak siasia seperti Orde Baru dalam membumikan Pancasila, maka perlu dirancang dalam empat kegiatan teknis. Pertama, tataran pengkajian di kalangan akademis, hal ini dimaksudkan untuk mengelaborasikan ideologi Pancasila dalam konteks ideologi yang terbuka untuk dilawan tandingkan dengan ideologi lainnya, seperti ideologi teologis, liberalisme, dan komunisme. Pengkajian dan diskursus ini penting dilakukan oleh UKP Pancasila agar kian mampu menunjukkan agar Pancasila tidak terjebak dalam tafsir tunggal negara.

Sebaliknya Pancasila akan menjadi topik diskusi dan wacana menarik bagi kalangan muda produktif dan kelompokkelompok kritis yang anti Pancasila dan hendak menggantikannya dengan ideologi alternatif lainnya. Dalam hal ini UKP Pancasila perlu bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang independen. Ini adalah cara sosialisasi Pancasila dalam bentuk kognitif yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua, dalam bentuk praksis berupa penyusunan kebijakan di pemerintahan dan negara.

Dalam hal ini UKP Pancasila perlu merancang bangun implementasi Pancasila secara terukur dan terprediksi di dalam kebijakan pemerintahan. Dalam hal ini UKP Pancasila perlu bekerja sama dengan semua kementerian untuk dapat mengukur kebijakan pemerintah telah sesuai belum dengan nilai-nilai Pancasila. UKP Pancasila dapat melakukan supervisi dan memberi rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah yang masih jauh dari nilainilai Pancasila.

Ketiga, dalam bentuk implementasi nilai Pancasila di setiap lembaga-lembaga negara dalam suprastruktur politik, seperti lembaga tinggi negara, badanbadannegara, dankomisinegara, dan dalam infrastruktur politik, yakni di lembaga partai politik, media massa, organisasi kemasyarakatan, organisasi agama, organisasi kepemudaan, organisasi adat dan organisasi nonpemerintah (LSM). UKP Pancasila perlu mendesain agar Pancasila dapat direaktualisasikan dalam kegiatanpartaipo-litik, misalnya terkait dengan sikap partai politik, pengaderan pemimpin hingga perilaku antikorupsi.

Keempat, dalam bentuk praksis di masyarakat, dalam hal ini UKP Pancasila perlu bekerja keras agar nilai Pancasila dapat menjadi rujukan praksis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melalui aneka kegiatan yang bersentuhan dengan tingkat kebutuhan masing-masing kelompok masyarakat. Dalam hal ini UKP Pancasila dapat mengolah nilai-nilai Pancasila dalam sajian kegiatan sineas, budaya, politik pluralisme hingga dalam bentuk kegiatan kreatif yang bersentuhan dengan teknologi dan informasi.

OJK dan Investasi Bodong

OJK dan Investasi Bodong
Edy Purwo Saputro  ;   Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
                                                   KORAN SINDO, 19 Juni 2017




                                                           
Komisioner OJK periode 2017-2022 telah terbentuk dan Wimboh Santoso terpilih sebagai ketua, tentu dengan amanah besar yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk salah satunya adalah melakukan pengawasan terhadap ancaman investasi bodong yang sempat marak terjadi.

Periode 2007-2016 sampai Agustus, Badan Reserse Kriminal Polri menangani 26 kasus investasi bodong dengan kerugian triliunan rupiah. Kasus terbesar terjadi pada tahun 2011 mencapai 8 kasus dengan kerugian Rp68,62 triliun, sedangkan sampai Agustus 2016 ada 2 kasus yang ditangani dalam proses penyidikan. Fakta ini menegaskan bahwa kasus-kasus investasi bodong selama ini menjadi pelajaran menarik agar bisa direduksi dan ini menjadi PR bagi OJK.

Paling tidak, harus ada upaya edukasi kepada publik agar lebih cermat berinvestasi dan tentu harus melibatkan OJK. Padahal, jika mencermati kasus-kasus investasi bodong ternyata yang menjadi korban tidak hanya dari kalangan masyarakat, tetapi juga selebritis dan juga publik figur. Artinya, investasi bodong bisa menyasar ke semua masyarakat. Oleh karena itu, cermat memilih instrumen produk investasi juga menjadi penting, termasuk juga yang terpenting adalah kehatihatian kita sebagai investor, terutama terkait rasionalitas return yang dijanjikan.

Fakta lainnya yang juga perlu dicermati bahwa kasus investasi bodong bisa berbentuk tawaran apa saja, termasuk yang berlabel koperasi sekalipun. Paling tidak, fakta ini bisa terlihat dari kasus investasi bodong Koperasi Langit Biru beberapa waktu lalu dan kasus Koperasi Pandawa yang mencuat belum lama. Semua kasus investasi bodong mengacu skema ponzi yang terkuak 26 Juli 1920 ketika Carlo Ponzi seorang imigran asal Italia mendirikan sekuriti yang bernama Security Exchange Company.

Melalui usaha ini, Ponzi mendulang sukses sebab mampu memikat banyak investor dengan janji return 50%untuk 90 hari, dan dalam tempo sekejap Ponzi menjadi orang terkaya, namun ini hanya sesaat karena perolehan investor baru akhirnya tidak bisa menutup janji return 50% tersebut dan akhirnya terkuaklah penipuan investasi bodong yang kemudian dikenal dengan skema ponzi. Model ini juga rentan terhadap kasus sejumlah biro umrah yang kemudian berdampak negatif terhadap bisnis umrah sebagai akibat masa tunggu haji yang terlalu lama yang juga disebabkan model dana talangan haji perbankan.

Klasik

Ironisnya, kejahatan klasikdenganmodelskema ponzi ternyata sampai kini masih tetap berlangsung, termasuk juga dari kasus Koperasi Langit Biru. Tidak kurang ratusan orang tergiur dengan janji return 10% per minggu yang diberikan Koperasi Langit Biru. Yang justru menjadi pertanyaan mengapa kasus investasi bodong terus saja terjadi dan mengapa para kelompok investor pemimpi yang gemar berspekulasi dalam money game cenderung terus meningkat tiap tahun?

Seharusnya para investor pemimpi sadar bahwa tidak ada imbal hasil investasi yang melebihi kemampuan dunia usaha yang berlaku secara umum. Logika ini memang terkadang mengalahkan mimpi menjadikaya sesaat daniniperlu edukasi secara berkelanjutan dari OJK agar tidak menimbulkan korban lagi yang lebih banyak atau setidaknya membangun kesadaran kolektif untuk bijak investasi. Yang justru menjadi pertanyaan mengapa kasus penipuan dalih investasi terus terjadi di Indonesia?

Bahkan, yang ironis penipuan ini tidak hanya menelan korban orang-orang miskin atau strata menengah-ke bawah, tapi juga orang-orang kaya—komunitas the haves, selebritis dan juga publik figur. Bahkan awal April 2014, seorang presenter kondang juga menjadi korban kasus serupa. Selain itu, yang juga menarik dikaji mengapa orang-orang dibalik aksi penipuan investasi bodong bisa meyakinkan korban-korbannya? Jika ditelusur dari maraknya kasus penipuan dengan dalih investasi bodong ini maka siapa sebenarnya yang pandai dan siapa dikibuli serta mengapa para korban tidak mengambil pelajaran dari kasus serupa sebelumnya?

Fenomena apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus dilakukan OJK dalam menyikapi fenomena investasi bodong? Entah mana yang benar dan yang salah, pastinya, kepongahan para korban dibalik aksi penipuan dengan dalih investasi bodong adalah karena sifat dasar manusia yang sangat tamak, rakus dan selalu ingin cepat kaya dalam sekejap. Potret alamiah ini yang menjadi dasar pemikiran para otak pelaku penipuan investasi bodong. Mereka tahu betul bahwa tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang tidak ingin cepat kaya tanpa harus kerja dan kalaupun memang harus kerja maka kerjanya yang ringan-ringan saja.

Bahkan, ini pula yang menjadi andalan kasus penipuan umrah dengan asumsi ibadah dengan dana murah sehingga dijual paket umrah dengan tarif murah dan akhirnya meledak ketika semakin banyak jamaah umrah yang tidak berangkat. Realitas ini adalah psikologi sosial. Fenomena psikologi sosial itu juga diikuti dengan situasi sosial- ekonomi masyarakat yang selalu memandang kekayaan materi sebagai simbol status keberhasilan seseorang. Oleh karena itu, orang pun akhirnya berbondongbondong menuhankan materi di atas segalanya.

Bahkan, maraknya perilaku korupsi yang dilakukan dalam semua tingkatan status sosial masyarakat kita, termasuk juga para petinggi dan pejabat negara, esensinya adalah untuk memupuk semakin banyak pundi-pundi materi kemewahan duniawi. Jadi, OTT dari KPK dan rompi oranye KPK tidak menyurutkan nyali untuk tidak korupsi.

Nafsu

Bahkan untuk mendukung nafsu duniawi itu, orang-orang rela mengambil jalan pintas untuk bisa memenuhi nafsu duniawinya. Pada situasi demikian, maka jalan pintas untuk memenuhi ambisinya dan jalan lebih pintas segera menjadi kaya banyak dilakukan oleh masyarakat yang sakit ini. Oleh karena itu, tidak heran semua buku yang merujuk pada ajakan cepat kaya menjadi laris manis, misalnya buku ajakan jangan lamalama menjadi karyawan atau cara super gila menjadi kaya atau lainnya.

Oleh karena itu, para psikolog memandang fenomena ini sebagai mata rantai kemiskinan dan pengangguran serta ego cepat kaya yang dipicu oleh pandangan yang salah dari masyarakat juga. Artinya, tidak mengherankan jika kasus-kasus investasi bodong masih terus terjadi dan korbannya juga semakin banyak tanpa mengenal strata karena melibatkan semua lapisan. Fakta ini harus menjadi PR bagi OJK, setidaknya meminimalisasi terulangnya kasus serupa.

Dalam situasi yang penuh kekalutan itu, tawaran dari orang-orang yang bisa cepat menggandakan uang, bisa memberikan return—profit tinggi dari investasi marak terjadi. Esensi dari kasus ini karena korban tak lagi bisa memandang rasionalitas dibalik tawaran investasi sebab yang ada di benaknya adalah cepat kaya dan cepat kaya. Peluang ini dimanfaatkan betul oleh oknum dibalik investasi bodong. Bahkan, yang justru lebih menggenaskan lagi, tak sedikit korban yang rela mengambil kredit bank untuk disetor kepada para oknum untuk bisa dilipatgandakan uangnya dalam sekejap.

Seharusnya para korban tahu dan sadar bahwa dalam situasi ekonomi yang semakin pelik dan sulit ini tak mudah memutarkan uang dalam bisnis apa pun dan kalau ada yang berani janji memberi profit atau return besar maka pastilah ujung-ujungnya investasi bodong. Jadi, wajar jika yang menjadi korban kasus Dimas Kanjeng juga banyak karena ingin cepat menggandakan uang biar cepat kaya. Oleh karena itu, pihak OJK perlu lebih giat melakukan edukasi.

Rabu, 21 Juni 2017

Mudik Lebaran dan Kemandirian Bangsa

Mudik Lebaran dan Kemandirian Bangsa
M Alfan Alfian ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2017




                                                           
BAGAIMANA pun Indonesia merupakan negeri berpenduduk muslim yang begitu banyak. Bahkan, ia tercatat sebagai negara muslim terbesar. Namun, uniknya berbeda dengan negara-negara lain yang relatif homogen, Indonesia bercorak plural atau majemuk. Islam, sebagai agama dengan jumlah pemeluk terbesar, karenanya, tak terelakkan lagi mewarnai kebudayaan Indonesia. Mudik Lebaran, dalam hal ini, merupakan peristiwa kebudayaan yang terwarnai oleh kaum muslim. Setiap tahun, kita disuguhi berbagai ulasan tentang mudik Lebaran, dengan aneka sudut pandang.

Ada yang mengulas sudut pandang filsafat, tradisi kebudayaan atau antropologis, ekonomi, sosiologi pembangunan, psikologi keagamaan, historis, bahkan politik. Melalui artikel ini, saya hendak mengulas kembali mudik, dalam perspektif keindonesiaan dan keislaman. Keduanya mencerminkan sifat-sifat keindonesiaan, juga bermakna kebangsaan, hal-hal yang merefleksikan dimensi-dimensi kita dalam berbangsa atau berindonesia. Keislaman juga bermakna keumatan yang notabene umat beragama (Islam). Islam, tentu tidak mengecilkan faktor-faktor lainnya, secara historis bagaimana pun telah menjadi faktor penting dalam integrasi bangsa. Keindonesiaan modern tak lepas dari faktor Keislaman yang pada masa kolonial merupakan ruh yang ikut menggerakkan kemerdekaan. Kata 'berkat' dan 'rahmat' dalam Pembukaan UUD 1945, misalnya, jelas hadir dari perbendaharaan keislaman.

Kelas menengah

Para pelaku mudik itu, bagaimana pun, melekat pada diri mereka soal dimensi keislaman dan keindonesiaan, dan sebaliknya. Dari perspektif keislaman, sesungguhnya banyak subkajian yang dapat dikembangkan di sini. Namun, karena ia terkait dengan fenomena sosial yang lebih luas, ketimbang sekadar refleksi filosofis dan keagamaan, ia pun banyak ditelaah dari perspektif muamalah, terkait dengan interaksi sosial kultural pun sosial ekonomi. Apabila dikaitkan dengan konteks sosiologis, misalnya, apakah dari tahun ke tahun, fenomena mudik di Indonesia merefleksikan fluktuasi kelas menengah muslim? Kecenderungannya semakin meningkat, tetap atau bahkan menurun?

Kita bisa mengecek seberapa besar kaum atau umat muslim yang mudik naik pesawat terbang, kereta api, bis, sepeda motor, hingga yang mudik gratis. Kita juga bisa mengaitkan dengan indikator-indikator aktivitas ekonomi lainnya, apakah jumlah pembayar zakat naik? Apakah peminat umrah Ramadan, pesat? Dan lantas mengerucutlah pada pernyataan, semakin salehkan kelas menengah muslim Indonesia? Kesalehan merupakan hal yang penting dalam hal ini, dan mana kala dikaitkan dengan konteks keindonesiaan, kita bisa menelusurinya dengan meneliti, atau setidaknya berupaya merasakan, apakah ibadah sosial umat Islam Indonesia meningkat? Ibadah sosial, bagaimana pun, merupakan kata kunci penting yang mengaitkan antara konteks ajaran Islam yang diekspresikan para pemeluknya dan realitas kebangsaan yang dijumpainya.

Umat Islam ialah kekuatan sosial, sekaligus kekuatan ekonomi yang fenomenal, manakala terkelola baik dan orientatif. Namun, hal tersebut juga terletak pada kesadaran dan pola pikir umat Islam sendiri, yang sebagaimana ditengarai Gus Solah (KH Salahuddin Wahid) dalam sebuah artikelnya belum lama ini, belum memosisikan ibadah sosial sebagai yang utama. Umat Islam Indonesia lebih banyak mengedepankan untuk memilih melakukan ibadah mahdah, yang lebih berorientasi individual atau pribadi.

Ibadah sosial

Gus Solah mengutip sebuah data rata-rata yang pergi umrah setiap tahun mencapai satu juta orang. Kalau setiap orang membayar US$2.000, dana untuk pergi umrah per tahun mencapai US$2 miliar atau sekitar Rp27 triliun. Itu berarti diperkirakan setara tiga kali lipat jumlah dana zakat infak sedekah (ZIS) yang dikumpulkan per tahun di Indonesia.
Padahal ZIS jelas lebih berdimensi ibadah sosial, ketimbang umrah. Terkait dengan itu pula, pola konsumtif terutama di kalangan kelas menengah muslim Indonesia lebih dominan, ketimbang pola produktifnya. Konsumerisme nyatanya telah menjadi gaya hidup yang tak terelakkan.

Hal-hal semacam itu merupakan autokritik yang selalu mengemuka dari waktu ke waktu. Dengan demikian, lantas berujung pada isu kemandirian umat yang notabene juga kemandirian bangsa. Secara ekonomi, setiap tahun mudik Lebaran, triliunan rupiah mengalir dari pusat (Jakarta dan kota-kota besar lainnya) ke daerah-daerah yang dibawa pemudik. Namun, tentu fenomenanya bersifat sporadis, bukan sistematis dan terencana secara produktif. Polanya juga terasa karitatif, penyedekahan, bukan dalam konteks proyek pemberdayaan. Kemandirian bangsa tentu saja juga terletak pada kemandirian umat Islam sebagai penduduk mayoritas.

Secara ekonomi, semestinya mereka penarik gerbong perekonomian nasional. Namun, dalam kasus kondisi ekonomi kita secara nasional, gambarannya tidak seperti itu. Berbagai data menyebut mayoritas ekonomi Indonesia dikuasai segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Ketimpangan sosial-ekonomi dan keadilan sosial juga masih tergambar jelas.

Ikhtiar kolektif

Mudik Lebaran, hingga dewasa ini, di tengah terus berjalannya abad ke-21, masih menggambarkan realitas drama kolosal yang artifisial, yang belum sepenuhnya merupakan cerminan kemandirian sosial ekonomi umat. Namun, setiap tahun pula muncul refleksi semacam ini, bahwa umat perlu mandiri, karena ia faktor penting dalam ikhtiar kolektif menuju kemandirian bangsa. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam dinamika kehidupan umat dan bangsa. Kendati pun demikian, kita harus tetap terus bersyukur, di tengah ikhtiar kolektif memajukan bangsa.

Pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya ialah, yang sekarang ini masih demikian urgen, terkait persatuan umat dan bangsa. Konsensus dasar negara Indonesia, Pancasila, harus terus diperkuat. Nilai-nilainya harus senantiasa tecermin dalam kehidupan sehari-hari. Harapan dan ikhtiar ke arah sana memang butuh perjuangan tiada henti, tak hanya oleh umat Islam, tetapi juga segenap warga bangsa. ●

Perppu, Langkah Tegas Pembubaran HTI

Perppu, Langkah Tegas Pembubaran HTI
Hussein Gani ;   Direktur Analisis Lembaga Kajian Indonesia Satu (Lemkis)
                                               MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2017




                                                           
KEPUTUSAN pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukanlah terjadi dalam semalam. Sudah pasti semua dilakukan berdasarkan langkah terukur dan dilandasi aturan main. Terlebih UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengatur tahap-tahap pembubaran sebuah ormas. Namun, dalam keadaan tertentu proses pembubaran ormas bukan menjadi satusatunya jalan. Dari sisi hukum, pemerintah dimungkinkan menggunakan jalan hukum yang lain, yakni dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu). Secara sederhana, mana mungkin ormas tidak bertindak aneh-aneh bakal dibubarkan.

Adagium yang berlaku dalam kehidupan kita, jika ingin hidup, ikuti aturan yang ada. Begitu juga dengan HTI yang terindikasi jelas berupaya mengganti dasar negara. Jika ada ormas yang berindikasi kuat ingin mengoyak-ngoyak NKRI, mengubah dasar negara, tentulah tak boleh dianggap sepele. Prioritas utama ialah menjaga keutuhan negara, apa pun caranya. Kalau dirasakan lewat jalur biasa menimbulkan persoalan serius karena taruhannya keutuhan bangsa, perlu dilakukan jalur luar biasa untuk mengatasinya. Dalam perspektif inilah, pemerintah memiliki kewenangan menerbitkan perppu sebagai pintu tepat untuk pembubaran ormas itu. Kedudukan perppu disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang."

Selain di UUD 1945, penetapan perppu tercantum dalam Pasal 1 angka 4 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi, "Peraturan pemerintah pengganti undang-undang ialah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."

Ada kewenangan

Dari kedua pasal ini kita mafhum bahwa syarat presiden mengeluarkan perppu ialah hal ihwal kegentingan yang memaksa. Rencana itu memang memunculkan pendapat yang mempertanyakan di mana letak kegentingan yang bersifat memaksa ini. Dalam konteks itu, harap dipahami bahwa subjektivitas presiden dalam menafsirkan 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' ialah hal yang menjadi dasar diterbitkannya perppu. Subjektivitas presiden ini pun ada dasarnya, yaitu Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara.

Langkah berikutnya tentu akan dinilai DPR, apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR sebagai pihak yang memiliki kekuasaan legislatif secara objektif akan menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kembali ke ikhwal keberadaan HTI, sebetulnya di mana letak kegentingan yang memaksa dalam menyegerakan pembubaran HTI melalui penerbitan perppu? Yang paling mendasar, kegiatan yang dilakukan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 1945, sebagaimana diatur dalam UU No 17/2013. Bukti kuatnya, ternyata HTI sudah mempersiapkan rancangan UUD Negara Khilafah.

Bisa dibayangkan ketika ada ormas yang sudah sedemikian jauh melangkah, ketika ada sebuah organisasi yang berkembang masif di daerah-daerah, kemudian menyusun perekrutan, berorientasi melakukan perebutan kekuasaan negara, dan mempersiapkan rancangan UUD negara. Apakah ini bukan sebuah ancaman serius? Rencana penerbitan perppu untuk UU No 17/2013 dibuat dengan semangat menjaga kepentingan dan kedaulatan NKRI. Pemerintah menerbitkan perppu untuk mempercepat proses pembubaran ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan tujuan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketika rencana pembubaran diungkapkan, muncul kabar yang menyebutkan pemerintah berlaku zalim.

Itu bukan suatu yang aneh. Bahkan, dengan jelas mereka menyebutkan pemerintah sedang menzalimi Islam. Mereka jelas akan melakukan propaganda apa pun untuk bertahan. Yang pasti, keputusan pembubaran HTI melalui perppu ialah sikap sigap mengambil upaya hukum yang tegas. Alasannya, secara universal dalam kerangka kepentingan nasional selalu berlaku adagium bahwa aturan hukum darurat untuk kondisi yang darurat. Prinsip clear and present danger dapat diterapkan sehingga dalam konteks HTI, negara dapat segera membubarkannya demi menjaga keutuhan bangsa dan NKRI.

Peran lain

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dengan tegas menyebutkan, pada prinsipnya negara menghormati hak-hak warga negara dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, negara kita berdasarkan hukum dan konstitusi tidak memiliki toleransi terhadap gerakan atau ormas yang anti-Pancasila sebagai dasar negara RI. (RMOL, Kamis, 10/5). Penegasan itu sudah selayaknya dikatakan Kepala BIN karena sebagai unsur terdepan dalam sistem keamanan negara sebagaimana tertuang dalam UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara. BIN sudah pasti memiliki banyak informasi terkait HTI.

BIN sudah lama mengamati eksistensi dan sepak terjang HTI. Hal itu menjadi persoalan krusial yang tak boleh dianggap sepele karena dapat mengganggu keutuhan NKRI. Tentu saja BIN tidak serta merta menyebutkan sebuah organisasi sebagai ancaman serius kalau tak dilandasi fakta dan bukti nyata. Intelijen punya mekanisme khusus dalam akurasi pengumpulan datanya. Ketika kesimpulan dibuat, HTI jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sejak masuk ke Indonesia pada 1980-an, HTI merintis dakwah di kampus-kampus. Namun, organisasi ini tak berperan positif dalam pembangunan mencapai tujuan nasional. Sikap mereka anti pemilu dan menafikan eksistensi pesta demokrasi ini.

Tidak mengherankan kalau mereka sudah menyerukan golput sejak 2004. Yang makin menunjukkan mereka tidak sejalan dengan NKRI ialah menggelorakan kampanye bangkitnya gerakan khilafah. Ketika HTI menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, 12 Agustus 2007, tema yang diusung Saatnya Khilafah Memimpin Dunia. Padahal secara faktual, keberadaan Hizbut Tahrir di banyak negara sudah seperti parasit yang harus dimusnahkan. Alasan negara-negara itu serupa dengan Indonesia, yaitu menyelamatkan bangsa dan negara dari hal-hal yang tak kondusif. Indonesia memang tergolong telat dalam melarang HTI. Arab Saudi dan Pakistan sudah lebih dulu melakukannya. Di Yordania sudah menjadi organisasi terlarang.

Pakistan yang tergolong 'longgar' juga melakukan langkah serupa pada 2009. Atau Libia ketika dipimpin Moammar Khadafi, menganggap HT sebagai organisasi yang menggelisahkan. Demikian juga dengan Malaysia, sejak 17 September 2015 melalui Komite Fatwa Negara Bagian Selangor, HT dinyatakan sebagai kelompok menyimpang dan mengatakan siapa pun yang mengikuti gerakan pro-khilafah akan menghadapi hukum.

Tegas

Saatnya kita buka mata melihat keberadaan HTI. Mari berpijak pada kepentingan nasional dengan memprioritaskan NKRI, dan kepentingan masa depan Indonesia. Jangan biarkan duri HTI berkembang dan menjelma menjadi kanker di negara tercinta. ●

Pemerintah, "dari Kami", "dari Mereka"

Pemerintah, "dari Kami", "dari Mereka"
Azyumardi Azra  ;   Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
                                                         KOMPAS, 20 Juni 2017



                                                           
Dalam beberapa bulan terakhir, khusus- nya sejak masa sebelum dan setelah Pilkada DKI Jakarta, berkembang anggapan di kalangan warga bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bukan minna (kosakata Arab) yang berarti "dari [pihak atau golongan] kami". Sebaliknya, pemerintah adalah minhum atau "dari [pihak atau golongan] mereka". Ada kalangan warga yang lebih jauh berpersepsi, pemerintahan Jokowi-JK sebagai "anti-Islam".

Indikasinya, menurut mereka, terlihat keti- ka aparat pemerintah memeriksa beberapa figur ulama atau ustaz-tindakan yang mereka sebut sebagai "kriminalisasi ulama". Retorika dan tuduhan yang gebyah uyah itu berulang-ulang dibantah Polri khususnya. Jika ada beberapa orang yang memiliki kredensial sebagai ulama atau ustaz diperiksa Polri, jelas itu bersifat kasuistik, bukan gejala umum menyangkut ulama secara keseluruhan.

Penjelasan dan klarifikasi itu tidak bisa menepis persepsi tentang minna dan minhum. Jika pembelahan minna dan minhum ini terus berlanjut, jelas tidak kondusif bagi masa depan NKRI yang bersatu dengan UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Secara retrospektif, persepsi dan sikap di kalangan umat Islam tentang pemerintahan Jokowi-JK terkait minna dan minhum sebe- narnya bukan hal baru. Pemerintah Indonesia sejak masa Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak jarang juga dilihat dari perspektif minna dan minhum.

Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agaknya nyaris tidak dilihat dalam kerangka minna dan minhum. Hal ini terkait kenyataan, keduanya memiliki kredensial Islam-masing-masing pernah menjadi Ketua Umum ICMI dan Ketua Umum PB NU.

Perspektif minna dan minhum muncul dari waktu ke waktu. Tidak jarang penghadapan oposisional ini muncul dalam pembicaraan, diskusi, dan seminar akademik-ilmiah. Persepsi minna dan minhum sudah menjadi gejala psikologis laten yang tersimpan dalam psike orang atau kalangan tertentu. Psike ini kemudian dapat beramalgamasi dengan teori konspirasi: bahwa langkah dan kebijakan pemerintah bertujuan memojokkan atau memarjinalisasi orang atau kelompok tertentu.

Penghadapan oposisional antara minna dan minhum lebih jauh bisa dilacak dalam banyak ayat Al Quran.

Secara historis di Indonesia, cara pandang dan sikap minna dan minhum berakar sejak zaman kolonialisme Belanda. Berhasil ditundukkan kekuatan kolonialisme Belanda melalui berbagai cara (penaklukan, perjanjian/plakat panjang atau pendek dan kooptasi), ulama umumnya dan pengikutnya memilih melawan secara diam (silent opposition).

Menghindari aksi perlawanan bersenjata yang disebut Belanda sebagai wujud "Islam politik" yang berbahaya bagi kelangsungan status quo kekuasaan kolonial, para ulama dan kaum santri mengalihkan perhatian dan energi mengembangkan Islam kultural. Perubahan bentuk perlawanan ini terbukti kemudian menjadi blessing in disguise bagi umat Islam Nusantara.

Berkat perjuangan melalui Islam kultural, Muslim berhasil mengembangkan banyak lembaga pendidikan sejak dari pesantren, madrasah, dan sekolah Islam. Selain itu juga dapat dibangun rumah sakit, klinik, rumah yatim piatu. Semua ini menjadi bagian dari warisan Islam Indonesia yang sangat kaya.

Pada saat yang sama, perlawanan secara diam terhadap Pemerintah Belanda menciptakan distansi ketat (watertight) di antara kedua pihak. Pemerintah kolonial bisa dipahami memang bukan minna, sebaliknya adalah minhum.

Persepsi dan sikap minna dan minhum tidak berakhir dengan tamatnya penjajahan Belanda dan Jepang. Pasca-kemerdekaan, sikap seperti ini terus bertahan sampai sekarang. Sekali lagi, persepsi minna dan minhum tidak hanya merugikan hubungan antara warga dan pemerintah, tetapi juga intra-umat Islam dan antar-umat beragama.

Secara akademik-ilmiah, subyek minna dan minhum serta isu-isu terkait lain telah menjadi kajian sejumlah Indonesianis. Dalam kajian-kajian itu terlihat konsekuensi dan implikasinya terhadap kehidupan kebangsaan, intra-umat Islam, serta antara umat Islam dan komunitas non-Muslim.

Pembelahan minna dan minhum merupakan bentuk kontraksi (penciutan atau penyempitan) pengertian "umat". Sidney Jones dalam artikelnya yang sudah menjadi klasik "The Contraction and Expansion of the Umat" (1984) mengungkapkan penyempitan cakupan "umat", yang semula menginklusi umat Islam keseluruhan menjadi hanya bagian tertentu umat. Dengan penyempitan itu, umat (suatu kelompok) adalah minna, sedangkan mereka (meski merupakan kelompok mayoritas) adalah minhum.

Penyempitan pengertian dan cakupan "umat" membuat Islam dan umat Islam menjadi kecil dan kabur. Implikasi ini diungkapkan William R Roff dalam Islam Obscured?: Some Reflections on Studies of Islam and Society (1985). Roff melihat ada usaha sistematis kalangan Indonesianis mengecilkan cakupan Islam dan umat Islam kaitannya dengan fenomena sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Hasilnya, Islam Indonesia seolah-olah menjadi "kabur" atau tidak jelas.

Argumen sama juga diajukan Karel Steenbrink dalam buku Dutch Colonialism and Islam (2006). Steenbrink melihat usaha sistematis sarjana Belanda mengecilkan Islam dengan ranah pengaruhnya di Indonesia.

Penciutan cakupan umat, eksklusi dan penghadapan oposisional minna dan minhum jelas tidak menguntungkan negara-bangsa Indonesia. Oleh karena itu, persepsi dan sikap semacam itu saatnya untuk ditinggalkan. Sebaliknya, perspektif dan sikap inklusif yang justru mesti ditumbuhkembangkan.