Selasa, 20 Juni 2017

Bangkit dengan Inovasi

Bangkit dengan Inovasi
Fathur Rokhman  ;   Rektor Universitas Negeri Semarang
                                                         KOMPAS, 19 Juni 2017



                                                           
Perubahan cara hidup manusia selalu dipengaruhi oleh temuan teknologi. Inovasi mengantar umat manusia merambah kehidupan baru yang belum pernah dibayangkannya.  Fakta demikian membuat inovasi tak bisa diabaikan jika sebuah komunitas bangsa ingin bangkit meraih kemajuan.

Catatan sejarah menunjukkan, teknologi menjadi hulu perubahan peradaban. Abad informasi dimulai dengan penemuan mesin cetak oleh Guttenberg. Abad industri dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Internet dan kemudian media sosial hadir kemudian dan mengubah cara manusia terhubung satu sama lain ke tahap yang benar-benar baru.

Ekonom Jerman, Klaus Schwab (2016), menyebut masyarakat dunia sedang berada di ambang revolusi industri keempat. Era ini ditandai dengan berkembangnya teknologi nano dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Bahkan, lebih jauh lagi, umat manusia sedang bersiap memasuki era genetic editing. Ketiga hal itu akan membuat kehidupan manusia benar-benar memasuki fase baru yang penuh kejutan.

Gejala itu tidak mungkin dihindari oleh bangsa Indonesia sebagai anggota komunitas dunia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu mempersiapkan diri menjadi pemain aktif yang turut menentukan arah perkembangan teknologi. Salah satunya, dengan memperkuat riset di berbagai bidang kehidupan agar melahirkan aneka inovasi.

Peta jalan (roadmap) riset telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan diterbitkannya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045. Rencana jangka panjang itu digunakan agar riset berkembang terarah untuk memperkuat pembangunan nasional yang bermuara terhadap kesejahteraan rakyat dan menguatnya posisi Indonesia dalam masyarakat dunia. Riset didudukkan sebagai sarana meningkatkan daya saing bangsa.

"Daya saing" menjadi topik yang menarik karena dunia berkembang menuju arah yang lebih kompetitif. Di satu sisi, integrasi dan kerja sama kawasan membuat hubungan antarbangsa menjadi relatif mudah. Akan tetapi, di sisi lain, bangsa satu dengan bangsa lain harus siap berkompetisi secara head to head. Karena itulah pengelolaan riset dalam kerangka penguatan daya saing nasional menjadi sangat relevan.

Secara umum, Indonesia memiliki keuntungan alamiah yang membuatnya berpeluang menjadi bangsa dengan daya saing kuat. Selain bonus demografi, ekonomi Indonesia menguat menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di dunia. Namun, kedua keuntungan itu akan kurang bermakna jika tidak diiringi dengan tradisi inovasi yang baik. Alih-alih menjadi kekuatan kompetitif, bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi justru bisa membuat Indonesia hanya menjadi pasar produk dunia.

Sebaliknya, jika keuntungan alamiah itu didukung oleh tradisi riset dan inovasi yang baik, bangsa Indonesia "menunggu waktu" untuk segera menjadi pilar utama kekuatan ekonomi dunia.

Modal demografi akan membawa kita menyaingi China, Amerika Serikat, dan India yang saat ini tampil dominan. Ketiga negara besar itu tumbuh, antara lain, karena berhasil memadukan jumlah penduduk dengan kemajuan teknologi.

Tantangan dan modal

Tentu saja, untuk membangun tradisi inovasi ada sejumlah persoalan yang mesti diatasi dari pangkalnya. Sebab, riset tidak hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan, infrastruktur, dan keuangan. Variabel kebudayaan, sosiologis, dan mentalitas juga memiliki pengaruh yang besar. Ketiga hal itu bahkan kerap lebih sulit  diatasi karena kompleks dan bersifat irreversible.

Masalah kultur, misalnya, menjadi penyebab rendahnya publikasi ilmiah Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indeks SCImago pada kurun 1996-2014 menunjukkan, indeks publikasi Indonesia berada di tingkat 57 dunia. Di tingkat ASEAN, Indonesia kalah dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.  Meskipun mengalami kenaikan, publikasi ilmiah masih tetap berada di bawah tiga negara tetangga tersebut.

Kondisi ini berkorelasi dengan stagnasi jumlah paten Indonesia di pasar internasional. Hingga tahun 2015, paten Indonesia yang terdaftar pada Kantor Paten Amerika hanya 312 paten (Sumber: dokumen RIRN). Dari tahun ke tahun, trennya masih tetap. Padahal, negara-negara lain (khususnya Singapura) mengalami kenaikan yang progresif.

Faktor kebudayaan itu berjalin kelindan dengan faktor sosiologis dan mental. Lazimnya orang Indonesia meyakini bahwa sumber daya alam yang dimiliki demikian melimpah. Keyakinan ini diwariskan dari generasi ke generasi, baik melalui pendidikan formal maupun cerita lisan.

Akibatnya, muncul perasaan "nyaman" karena merasa bisa bertumpu pada eksplorasi kekayaan alam. Padahal, beberapa sektor sumber daya alam telah mengalami overeksplorasi dan terancam habis.

Cara pandang demikian perlu diubah agar cara kita memanfaatkan sumber daya alam secara lebih efisien, salah satunya dengan membangun tradisi inovasi. Selain itu, kita juga perlu serius mengembangkan bidang ekonomi baru yang berbasis pada ide dan kreativitas. Bidang kreatif itu memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa harus mengeksploitasi kekayaan alam.

Belajar dari beberapa negara maju, Indonesia perlu mengoptimalkan tiga modal besar yang dimiliki, yaitu sumber daya manusia, anggaran, dan iklim. Di Jepang dan Korea Selatan, sumber daya manusia menjadi modal yang sangat berpengaruh.

Kedua negara ini berinvestasi secara besar-besaran agar dapat memiliki ahli iptek dalam jumlah besar dan dengan kemampuan mumpuni. Diperkirakan, total tenaga peneliti yang dimiliki Korea Selatan mencapai angka 400.000 pada 2016. Angka ini setara dengan 8.000 peneliti per sejuta penduduk. Adapun di Indonesia baru memiliki 1.071 peneliti per sejuta penduduk. Itu pun jika semua dosen diasumsikan sebagai peneliti aktif.

Namun, Indonesia tidak semestinya inferior. Sebab, investasi Indonesia melalui dana pendidikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) akan segera melahirkan generasi intelektual baru yang sebagian akan berkiprah sebagai ilmuwan.

Pada saat yang sama, skema beasiswa bagi mahasiswa miskin berprestasi (bidikmisi) juga akan melahirkan generasi pemikir baru. Modal ini perlu dipelihara agar dapat menopang ketercapaian rencana induk riset nasional.

Modal lainnya adalah anggaran. Pada era ekonomi berbasis pengetahuan, anggaran yang dimiliki negara perlu dialokasikan dalam investasi riset. Langkah ini perlu dilakukan karena telah terbukti adanya relevansi antara kemajuan ekonomi dengan investasi dalam bidang penelitian yang disalurkan melalui Gross Expenditure on Research and Development (GERD).

Negara-negara yang memiliki GERD besar memiliki peluang lebih besar bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Peran perguruan tinggi

Kebangkitan nasional yang berbasis inovasi hanya mungkin terjadi jika perguruan tinggi memberi kontribusi. Sebab, tenaga peneliti produktif Indonesia memang lebih banyak yang berbasis di perguruan tinggi. Para dosen adalah peneliti produktif di berbagai bidang ilmu.

Agar tradisi riset terus berkembang, peran perguruan tinggi tidak boleh diabaikan. Bahkan, tren menunjukkan, perguruan tinggi menjadi pemain terdepan.

Bagi perguruan tinggi riset adalah bagian integral dari kewajiban sosial yang terhimpun dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Artinya, riset memiliki relevansi yang sangat tinggi terhadap pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.

Di sinilah keunggulan riset perguruan tinggi dapat kita temukan. Selain berbasis kepada kebutuhan industri, riset perguruan tinggi berorientasi pada pendidikan dan kebutuhan riil masyarakat. Karakter itu akan memberi warna yang khas dan dapat berkontribusi secara riil terhadap kemajuan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar