Minggu, 18 Juni 2017

Membaca Diplomasi Qatar

Membaca Diplomasi Qatar
Abdul Muta'ali ;   Direktur Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia
                                               MEDIA INDONESIA, 16 Juni 2017




                                                           
KONFLIK di antara negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) bukan kali pertama ini saja. Terhitung ini konflik ketiga. Konflik pertama ketika Qatar membuka jalur diplomasi dengan para petinggi Ikhwanul Muslimin di Mesir, seperti diterimanya Dr Yusuf Qardhawi sebagai warga kehormatan Qatar, yang menurut dokumen beliau cukup memiliki relasi genealogis dengan gerakan yang dirintis Hasan Albanna itu. Yang kedua, ketika Qatar sangat terbuka dengan gerakan-gerakan Islam beraliran kiri Iran, tetapi keduanya tidak sampai pada pemutusan hubungan diplomatik. Kali ini adalah puncaknya, bentuk kemarahan yang dimotori Arab Saudi sehingga seluruh akses darat, laut, dan udara diputus.

Faktor penyebab

Saya melihat pemutusan hubungan diplomatik negara GCC minus Kuwait disebabkan beberapa faktor. Pertama, Qatar terlalu terbuka dengan ideologi politik gerakan mana pun walaupun basically mayoritas muslim.

Kedua, Arab Saudi memiliki definisi ganda terkait dengan terorisme. Terorisme yang berafiliasi ke IS dan berafiliasi ke Teheran. Afiliasi sebagian bilateral Qatar dan Teheran inilah yang bisa jadi pemantik hubungan diplomatik ini walaupun menurut hemat saya memang sangat sulit bagi Qatar untuk tidak menjadi negara terbuka. Qatar butuh survive. Dia mesti welcome membangun kolaborasi dengan pihak mana pun tidak terkecuali Iran mengingat kecilnya kondisi geografis yang dimiliki Qatar, karena itu kita melihat banyaknya proyek reklamasi.

Ketiga, pemutusan hubungan diplomatik ini tidak terlepas akan berpindahnya tongkat estafet kepemimpinan di wilayah GCC.
Pada 2018 Qatar akan menjadi leader GCC. Saat ini Saudi yang memegang estafet tongkat itu. Artinya Qatar 2018 akan banyak memainkan peran kawasan regional di wilayah Teluk. Hal ini sangat menguntungkan bagi Qatar di saat kuartet bukan pada situasi terbaik politik ekonomi mereka.

Qatar bisa menjadi penyuplai jalur perdagangan migas dan menggandakan keuntungan itu di saat Qatar pada 2022 menjadi tuan rumah Piala Dunia. Posisi ini tidak dimiliki Riyadh baik secara ekonomi ataupun stabilitas nasional. Segregasi Riyadh vS Teheran, Riyadh vS Houti, banyak menguras modalitas Arab Saudi. Ini secara politik sangat menguntungkan bagi negara negara yang ingin tampil sebagai salah satu leader di kawasan. Kesempatan itu tidak akan disia-siakan Qatar. Namun, dilihat dari isu internasional, paling tidak di kawasan Timur Tengah, pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar sejatinya tidak perlu terjadi. Kasus Suriah yang tidak jelas muaranya, 5 juta masyarakat Suriah mengungsi ke berbagai belahan dunia, belum lagi konflik Yaman yang belum mereda.

Ditambah kasus lama Israel-Palestina yang belum juga menemukan secercah cahaya perdamaian, kasus Arab Spring yang menghancurkan negara negara Timur Tengah berbasis republik, lalu hadir konflik terhadap Qatar, menyempurnakan bahwa di Timur Tengah sedang terjadi darurat kemanusiaan. Arab Spring saja belum tuntas dan dikhawatirkan konflik Timur Tengah tidak hanya merusak negara-negara berbasis republik, tetapi tidak menutup kemungkinan juga merusak negara berbasis monarki. Jika ini terjadi, sempurnalah konflik kawasan Timur Tengah. Awalnya saya melihat pemicu konflik Arab Spring selain masalah internal juga kontribusi negara-negara GCC. Namun, ketika negara-negara GCC juga merasakan konflik, rupanya Arab Spring permasalahan yang sangat complicated.

Pemutusan hubungan diplomatik ini adalah kerugian bersama karena tidak ada negara yang berdiri sendiri termasuk butuhnya Arab Saudi paling tidak untuk beberpa hal kepada Qatar. Saya menyangka pada konflik Timur Tengah terjadi deferensiasi dua blok Iran dan Saudi. Dalam kondisi ini diperlukan negara ketiga yang bisa menjadi penengah bagi keduanya. Awalnya saya berharap pada Turki, tetapi Turki bergabung dengan Saudi. Saya kira yang pas menengahi konflik GCC minus Kuwait vS Qatar adalah Indonesia karena Indonesia tidak bermakmum pada Riyadh atau Teheran, dan Indonesia cukup piawai menangani konflik konflik di beberapa negara. Memang cukup disayangkan situasi ini terjadi di saat muslim sedunia harusnya menjaga suasana kondusif selama bulan Ramadan.

Namun, rupanya kita sendiri yang mengkhianati kemuliaan Ramadan ini. Konflik Qatar ini harus sesegera mungkin diakhiri, jangan sampai Arab Spring membakar seluruh wilayah Timur Tengah termasuk negara-negara Teluk. Posisi Indonesia sangat strategis bukan hanya secara politik yang cukup netral, melainkan juga keberadaan Indonesia yang paling sedikit ketergantungannya terhadap kuartet. Satu contoh yang real baik Qatar ataupun Saudi, walaupun keduanya dibangun atas kesamaan primordialisme, tidak bisa melepaskan dominasi Washington di kawasan itu. Indonesia punya keterikatan terhadap Washington tapi tidak sekuat kedua negara tersebut. Indonesia hadir ketika KTT Arab Islam-Amerika yang dihadiri Donald Trump. Namun, Indonesia juga hadir pada belt and road forum di Beijing. Artinya Indonesia juga tidak ansich kapitalis sosialis.

Singkat kata Indonesia tidak ikut blok Iran vs Saudi, juga tidak alergi blok Amerika vs Tiongkok. Posisi politik ini sangat penting untuk menentukan netralitas mediator. Kedua, saya kira juga posisi RI lebih strategis dalam posisi ini ketimbang OKI mengingat dominasi Arab Saudi di dalam tubuh OKI begitu kuat. Artinya secara kelembagaan dan organisasi baik OKI ataupun liga Arab apalagi GCC tidak cukup punya kartu truf untuk menengahi konflik itu. Indonesia bisa memaksimalkan polugrinya dengan tampil lebih berani dan confident di saat negara negara di dunia Islam dibanjiri banyak masalah. Indonesia cukup memiliki ketahanan stabilitas politik yang lebih mengedepankan diplomasi dan negosiasi ketimbang cara-cara anarkistis yang menjurus disintegritas.

Karena itu, saya mendorong Kementerian Luar Negeri untuk bisa memainkan politik luar negeri lebih aktif dan konstruktif yang menjadi amanah UUD kita. Saya kira perlu kedewaasaan politik sekuritas di kawasan teluk khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Yusuf Qardhawi adalah fenomena 'serbasalah'. Ia tokoh ulama besar yang membolehkan musik, tetapi tidak cukup mengurangi pandangan radikalnya. Yusuf Qardhawi sebetulnya dalam kasus Suriah mendukung kelompok anti-Assad. Artinya pandangan politiknya inline dengan polugri Saudi. Harusnya pandangan Qardhawi menjadi barometer 'rekanan politik'. Lalu barometer apa yang dipakai untuk menjerat Qardhawi? Jawabannya karena Qardhawi berada di posisi Doha. All about Doha is outsider.

Dampak politik dan ekonomi

Pemutusan diplomatik terhadap Qatar ini akan menimbulkan ekses politik yang cukup signifikan. Misal kocok ulang penentuan Qatar sebagai leader GCC 2018. Selain itu, klaim geografis Qatar sebagai hilirisasi gerakan radikal terorisme. Hal itu secara politik merugikan Qatar di mata internasional. Dominasi Qatar memang menemukan momentumnya di saat Saudi dikepung banyak masalah kawasan. Secara budaya, memang isu ego kawasan sulit dipisahkan dalam sejarah daratan ini. Dampaknya yang paling 'mengerikan' ialah meluasnya konflik Arab Spring sampai ke kawasan Teluk ini. Qatar issues ini bukan hanya masalah pemutusan diplomatik yang berimbas pada pelarangan zona terbang Qatar Airways, melainkan jauh lebih luas.

Hal ini tidak menutup kemungkinan karena stabilitas kawasan Teluk tidak stabil, penunjukan Qatar sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022 bisa didiskusikan kembali karena FIFA memerlukan jaminan keamanan kawasan. Saya tidak mengatakan ini sebagai 'karma politik', tapi lebih kepada 'bupper politik' kawasan. Bukankah GCC ada pada basis primordialisme yang sama, budaya yang sama, bahasa yang sama, bahkan kondisi geografis yang sama. Mudah-mudahan Indonesia bisa dapat mengambil pelajaran bahwa kebersamaan dan persaudaraan adalah saudara kandung kekuatan nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar