Rabu, 14 Juni 2017

Menanti Inisiatif KPK atas Kasus Novel

Menanti Inisiatif KPK atas Kasus Novel
Kurnia Ramadhana ;  Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
                                                     DETIKNEWS, 13 Juni 2017



                                                           
Sudah lebih dari satu bulan penyelidikan yang dilakukan kepolisian terhadap teror yang menimpa salah seorang penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Namun, hasilnya sampai saat ini terbilang sangat tidak maksimal. Padahal sudah lebih dari 19 orang telah diperiksa sebagai saksi, dan beberapa orang sempat diberitakan menjadi pelaku penyiraman air keras tersebut.

Teror yang menimpa Novel tidak bisa dipandang sebagai tindak kriminal biasa. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari asumsi tersebut. Pertama, pada saat penyiraman terjadi, Novel sedang bertindak sebagai Kepala Satuan Tugas dalam penyidikan megakorupsi proyek pengadaan KTP-El. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, dikarenakan aktor-aktor yang diduga terlibat terbilang sangat banyak. Dalam dakwaan saja tercatat setidaknya ada 52 aktor politik yang diduga menerima aliran dana dari proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

Kedua, beberapa hari sebelum penyiraman air keras Novel baru saja diminta untuk bersaksi di pengadilan. Kedatangan Novel terkait dengan pengakuan salah seorang saksi dalam perkara megakorupsi KTP-El, Miryam S Haryani, yang mengatakan bahwa ada tekanan dari penyidik KPK saat Miryam memberi keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat bersaksi Novel menyebutkan beberapa nama anggota DPR yang diduga telah menekan Miryam agar mencabut keseluruhan BAP yang telah ditandatangani sebelumnya.

Melihat rentetan peristiwa tersebut maka dapat disimpulkan bahwa teror yang menimpa Novel bukanlah teror biasa. Motif politik menjadi faktor utama yang mengakibatkan penyidik KPK tersebut harus rehat sejenak dari tugasnya selama ini. Namun, perlu diingat bahwa kepolisian bukanlah satu-satunya penegak hukum yang berwenang menyelidiki kasus Novel. Dalam hal ini KPK pun bisa turut serta dengan segera menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan atas dugaan Obstraction of Justice.

Obstruction of Justice telah diatur dalam Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korusi. Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

KPK sebagai sebuah lembaga independen harus segera mengambil inisiatif demi penuntasan teror yang menimpa Novel. Perangkat hukum yang telah ada di UU Tipikor bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjerat pelaku penyiraman tersebut. Hal ini pun bukan kali pertama dilakukan oleh KPK. Dalam pantauan ICW setidaknya ada lima belas orang pelaku korupsi maupun pihak lain yang telah didakwa menggunakan Pasal Obstruction of Justice, baik oleh Kejaksaan maupun KPK.

Penerapan aturan ini pun bukan tanpa dasar. Jika melihat sejarah pembentukan pasal tersebut, hal yang menjadi acuan utama adalah agar terciptanya kepastian hukum. Sebuah perkara yang sedang berjalan harus bisa dipastikan akan sampai ke tahap persidangan tanpa ada halangan maupun rintangan apapun. Permasalahan inilah yang harus segera disadari, disikapi, dan diambil tindakan oleh KPK.

Fenomena yang berkembang saat ini, khususnya tindakan obstraction of justice, mengalami transformasi yang cukup fenomenal. Jalur politik pun dianggap menjadi senjata ampuh untuk mencoba mengganggu penanganan perkara yang sedang berjalan. Hal ini bisa dengan jelas terlihat ketika DPR menggulirkan hak angket yang ditujukan ke KPK.

Jika memakai teori kausalitas maka upaya untuk menghalang-halangi proses hukum yang sedang berjalan jelas terlihat. Pasalnya, hak angket yang ingin digulirkan DPR bermuara kepada masalah permintaan rekaman pemeriksaan saksi Miryam agar dibuka saat Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dengan KPK. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh KPK.

Tentu KPK mempunyai alasan yang logis menanggapi permintaan dari Komisi Hukum tersebut. Pertama, KPK bukan menjadi objek dari pengajuan hak angket. Jelas dikatakan dalam Pasal 79 UU No 17 tahun 2014 (UU MD3) bahwa objek yang dapat dikenakan hak angket adalah pemerintah, dalam hal ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan hal penting dan berdampak luas bagi masyarakat.

Kedua, informasi yang dimintakan DPR tidak bisa diberikan di luar proses persidangan. Hal ini dikarenakan rekaman tersebut merupakan sebuah alat bukti yang terkait dengan substansi pokok perkara. Selain itu rekaman tersebut bukanlah merupakan dokumen publik dan bersifat rahasia sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dari dua alasan di atas dapat dikatakan ada upaya dari DPR untuk memperlambat, atau bahkan ingin menggagalkan penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh KPK.

Potret kejadian saat ini menggambarkan bahwa masih banyak pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK. Melihat kondisi saat ini rasanya KPK perlu mengambil inisiatif dan langkah cepat demi penuntasan teror yang menimpa Kasatgas perkara KTP-Elektronik, Novel Baswedan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar