Selasa, 06 Juni 2017

Menegakkan Konstitusi, Konsolidasi Demokrasi

Menegakkan Konstitusi, Konsolidasi Demokrasi
Jakob Tobing  ;   Ketua PAH I BP-MPR 1999-2004;
Ketua Komisi A ST MPR 2000, 2001, 2002, 2003: Amendemen UUD 1945
                                                         KOMPAS, 06 Juni 2017



                                                           
Berbagai aksi belakangan ini yang nyata-nyata berusaha mengganti Pancasila, mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendak mengganti kedaulatan rakyat, sungguh sudah kebablasan.

Indoktrinasi ajaran radikal dilakukan secara sistematis dan telah berlangsung lama, sudah merasuk jauh ke tengah masyarakat. Demikian pula latihan ala militer, bom Bali, teror Poso, pawai akbar mendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Bundaran HI (2014), bom Marriott, bom Sarinah, bom Kampung Melayu, dan lain-lain mengisi daftar panjang ancaman yang makin serius atas bangsa dan negara yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Ada yang menganggap berbagai aksi itu adalah konsekuensi kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945 setelah amendemen, sebagai akibat yang tidak diharapkan dari demokrasi. Salah kaprah ini dan pembiaran selama belasan tahun sejak reformasi telah memberi ruang tumbuh dan ruang gerak bagi berbagai paham yang menentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan wawasan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, ada yang berkomentar: lihatlah, demokrasi memang tak bisa mengatasi gangguan seperti itu, tidak cocok, harus dicari cara lain, dan selanjutnya.

Tugas besar menunggu

Istilah demokrasi memang sering diartikan sebagai kebebasan berbuat apa saja. Namun, istilah demokrasi juga didaku berbagai pihak dalam berbagai arti dan maksud, seperti demokrasi mayoritarian, demokrasi liberal, demokrasi konstitusional, bahkan juga demokrasi rakyat seperti yang dikenal di negara sosialis kiri. Oleh karena itu, perlu jelas terlebih dahulu demokrasi yang dimaksud UUD 1945.

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Ayat itu dengan tegas menautkan dalam satu tarikan napas kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan konstitusi. Dengan demikian, demokrasi dan hukum adalah dua muka dari satu koin yang sama, yang biasa disebut sebagai demokrasi konstitusional atau nomokrasi.

Dalam kerangka ini, demokrasi diatur oleh dan ditundukkan kepada hukum tertinggi dalam negara, yaitu konstitusi (Walter F Murphy, 2007). Tegas sekali bahwa UUD 1945 adalah hukum tertinggi, di mana semua peraturan perundang-undangan dan semua kebijakan bernegara secara hierarkis harus tegak lurus terhadap dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan UUD tersebut (Hans Kelsen, 1967).

UUD 1945 memuat Pembukaan yang menyatakan: pemerintahan adalah untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, membentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat, menegaskan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, serta pasal-pasal. Pasal-pasal adalah pengorganisasian nilai-nilai dasar Pembukaan itu ke dalam susunan bernegara, antara lain pasal-pasal menetapkan: Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, negara hukum, menghormati HAM, peradilan yang merdeka, sirkulasi kekuasaan secara demokratis dan berkala, serta berbagai struktur dan prosedur bernegara.

Keseluruhan ketentuan UUD 1945 menjadi bingkai yang membentuk ruang yang luas di mana kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung. Dengan demikian, hidup bernegara dan berbangsa kita tidak berlangsung dalam ruang hampa tanpa nilai, tetapi mengacu pada UUD 1945. Semua pihak, pemerintah dan rakyat, harus bahu-membahu menegakkan prinsip itu.

UU dan segala peraturannya membentuk acuan tata kerja yang seharusnya, memelihara ketertiban, mencari penyelesaian permasalahan, dan menjaga hak-hak asasi manusia agar UUD dapat ditegakkan sebaik-baiknya, bukan untuk mempersulit atau menghalangi penegakan UUD.

DPR, oleh Pasal 20 (1) UUD 1945,  diberi kewenangan dan tugas memegang kekuasaan membentuk UU. Pasal 20 (2) menentukan bahwa untuk dapat jadi UU, setiap RUU memerlukan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Karena itu, baik DPR maupun Presiden secara sendiri-sendiri dan bersama- sama bertanggung jawab agar tiap UU harus sesuai dengan, bertunduk kepada, dan untuk melaksanakan perintah UUD 1945.

Kini disadari bahwa berbagai UU dan kebijakan yang ada berpotensi melemahkan kemampuan negara untuk menegakkan UUD 1945. Selain itu, berbagai UU dan kebijakan yang diperlukan untuk menegakkan UUD belum ada, belum dibuat.

Itulah tugas besar bangsa ini sekarang: meluruskan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tak sesuai dan membentuk peraturan perundangan yang diperlukan untuk menjalankan perintah UUD 1945. Misalnya, UU No 17/2013 tentang Organisasi kemasyarakatan (Ormas) tidak mewajibkan ormas agar menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, sementara sanksi pembubarannya tidak mudah dilaksanakan.

Kita juga belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mumpuni, yang dapat secara dini mencegah dan jika diperlukan mengerahkan segenap kemampuan negara, termasuk TNI, untuk menangkal dan melumpuhkan terorisme. UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No 9/2013  tentang  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan  Terorisme tidak cukup kuat untuk mencegah rencana dan untuk menindak terorisme.

Berbagai "keanehan"

Masalah lain, Pasal 10 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI. Akan tetapi, UU No 34/2004 tentang TNI, pada Pasal 13 Ayat (2) mengatur bahwa Panglima TNI diangkat dan diberhentikan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.

Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 3 Ayat (3) Tap MPR VII/2000 yang kedudukannya di bawah UUD. Artinya, Presiden yang oleh UUD dinyatakan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi TNI hanya dapat mengangkat dan memberhentikan bawahannya dengan persetujuan pihak lain. Ketentuan UU itu tak sesuai UUD 1945 dan melemahkan kedudukan Presiden dalam melaksanakan kewenangan dan kewajibannya. Pada Desember 2015, Mahkamah Konstitusi menolak uji konstitusional atas UU No 34/2004 tersebut.

Kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim juga diperlemah. Misalnya, MK tahun 2006 membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi yang sekaligus melemahkan kemampuan MK sendiri untuk menegakkan ketertundukan UU terhadap UUD 1945. Maksud semula (original intent) para pelaku amendemen UUD 1945 adalah: KY, dengan tetap menghormati kemerdekaan kekuasaan kehakiman, berwenang mengawasi semua hakim, kecuali "hakim garis". Secara bergurau, para anggota PAH I amendemen UUD 1945 hanya mengecualikan "hakim garis", maksudnya hakim garis pertandingan sepak bola. Hakim MK, semua hakim, adalah manusia biasa yang bisa khilaf, sengaja atau tidak. Buktinya, ada hakim konstitusi dan hakim lain yang terjerat tindak pidana korupsi.  Pada sisi lain, paham politik dan sebagainya juga dapat memengaruhi seseorang.

Putusan MK tahun 2015 membatalkan peran dan keterlibatan KY dalam proses perekrutan hakim tingkat pertama juga telah melemahkan perintah Pasal 24 UUD 1945 untuk membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam demokrasi, hukum yang adil dan tegak amatlah penting. Oleh karena itu, perekrutan hakim yang baik merupakan awal yang amat menentukan.

Demikian pula, April 2017, MK membatalkan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai kewenangan Presiden/ Mendagri membatalkan perda yang tak sesuai UU, lalu mengalihkan kewenangan itu ke MA. Keputusan itu memperlemah hierarki perundang-undangan sekaligus memperlemah sistem negara kesatuan. Indonesia adalah negara kesatuan, itulah sistem induknya. Otonomi, desentralisasi dan tugas pembantuan adalah subsistemnya. Subsistem itu harus taat asas pada induknya, sistem negara kesatuan. Mengingat kedudukan itu, seharusnya, sesuai dengan Pasal 24A (1) UUD 1945, Presiden berhak menertibkan semua peraturan yang ada di bawah kekuasaannya. Mestinya yang dapat diajukan banding sampai ke MA adalah keputusan Presiden untuk membatalkan perda, bukan sebaliknya.

Demikianlah berbagai contoh langkah menegakkan konstitusi yang juga berarti konsolidasi demokrasi yang perlu dilakukan. Negara hukum yang terbelenggu dan tidak mampu menegakkan hukum bukanlah negara hukum. Negara demokrasi yang tidak menegakkan hukum juga bukan negara demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar