Minggu, 18 Juni 2017

Orang-Orang Dewasa Bodoh yang Berbahaya

Orang-Orang Dewasa Bodoh yang Berbahaya
Kalis Mardiasih  ;   Menulis opini dan menerjemah; Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                     DETIKNEWS, 16 Juni 2017



                                                           
Ketika Trevor, seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun memulai kelas 7-nya di Las Vegas, Nevada, Eugene Simonet sang guru ilmu sosial menugaskan para siswa di kelas untuk memikirkan gagasan dan membuat rencana aksi yang akan dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Terkesan muluk, tapi pandangan si guru amat yakin.

"Think of an idea to change the world for the better, then put it into action." Ia menulis kalimat itu di papan kelas sambil berujar mantap dan menatapi mata para siswa satu per satu. "Apa yang kalian pikirkan?" ia bertanya.

Kebanyakan siswa menjawab bahwa instruksi itu aneh, sulit, berat.

"Possibility. Mengapa kalian tidak menanamkan dalam pikiran kalian kalau semua serba mungkin?" Begitulah Simonet meyakinkan murid-muridnya lagi. Ia berjanji akan memberi nilai lebih bagi tiap siswa yang mampu menawarkan sebuah cara untuk mengubah dunia ke arah lebih baik.

Dan, Trevor adalah satu-satunya anak yang begitu yakin akan dorongan itu. Trevor merencanakan sebuah program pengembangan jejaring perbuatan baik. Begini cara mainnya: seseorang membantu tiga orang dalam kebaikan. Lalu, masing-masing orang yang telah ditolong harus melakukan kebaikan kepada tiga orang berbeda lain sesudahnya.

"When someone does you a big favor, don't pay it back, pay it forward" adalah pesan moral novel Pay It Foward karya Catherine Ryan Hyde yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 2000. Banyak kisah menarik tentang guru yang bisa kita kenang. Totto Chan, Botchan, Dead Poets Society hingga Freedom Writers, bahkan Laskar Pelangi.

Para pengajar dalam cerita itu adalah orang-orang dewasa yang tanpa sadar membagi beban mimpi masa depan untuk mempercayakan mimpi tersebut dipangguli anak-anak. Alangkah indah membayangkan orang-orang dewasa, baik mereka yang bergelar orangtua di rumah, guru di sekolah, pemimpin di kantor, pemuka agama di rumah ibadah maupun pejabat publik, berusaha sebaik mungkin memberi bekal kepada generasinya.

Akan tetapi, hari-hari ini kita justru mendapati pemandangan menyedihkan perilaku orang dewasa dalam berbagai thread yang viral di Facebook, Twitter hingga Instagram yang beramai-ramai merundung orang lain yang berbuat kesalahan dengan berlebihan. Kadang-kadang, mereka saling bertengkar, saling menjatuhkan, kemudian dipungkasi dengan ejek-mengejek.

Satu kasus terakhir menimpa seorang remaja asal Banyuwangi. Orang-orang dewasa bahagia menemukan seorang anak berbuat kesalahan, lalu merundung sepuas yang mereka bisa. Bolehkah kita sebut orang-orang dewasa kita memiliki masalah serius?

Impian akan tatanan hidup yang lebih baik perlu mimpi berusia panjang. Sukarno menulis berjilid-jilid Di Bawah Bendera Revolusi, Hatta menulis Tafsir Ekonomi dan Ki Hajar Dewantara menulis Menuju Manusia Merdeka. Saya tak mampu menanggung kagum pada konsep demokrasi, kebangsaan, kerakyatan, politik, pendidikan dan ekonomi keadilan sosial yang disusun oleh mereka semua.

Lembar-lembar yang mereka goresi mimpi itu adalah lembar hidup para Nabi. Nabi, adalah sebagaimana mereka yang membenci penindasan dan memiliki hasrat semangat pembebasan.

Suatu siang, setelah menyisir Jalan Braga lalu tibalah di Gedung Merdeka sendirian, saya terpukau betul ketika diputarkan video penggambaran jalannya Konferensi Asia Afrika (KAA). Video dokumenter itu diawali dengan sambutan Bapak Roeslan Abdulghani. Bapak Roeslan menyebut KAA sebagai simbol kebangkitan bangsa-bangsa Asia-Afrika ketika dunia terpasung perang, kolonialisme dan politik apartheid.

Seorang laki-laki bertubuh kecil sekali, di depan aula utama Gedung Merdeka menirukan pidato-pidato Sukarno. Sesaat sebelumnya, ia menceritakan tentang Sukarno dan isi konstitusi kita dengan begitu bangga.

"Sukarno berdiri di mimbar gedung ini pada tahun 55 dengan pidatonya yang berapi-api. Hadirin yang kursinya kalian duduki sekarang memberikan tepuk tangan yang riuh sepanjang tujuh menit. Bayangkan! Tujuh menit tepuk tangan tanpa jeda!" Pemandu museum berkemeja biru berujar makin lantang:

"Kita tengok pembukaan UUD 1945 kita itu. Maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan! Negara mana ketika itu yang seberani dan seluhur Indonesia menentang penjajahan di atas dunia dan berhasrat menghapuskannya? Hanya Indonesia!"

Sukarno dan para Nabi lain dalam sejarah kemerdekaan Indonesia adalah manusia yang meletakkan hikmat possibility seperti yang diyakinkan Simonet pada para siswanya. Meski hidup di awal abad ke-19, cita-cita kebaikan mereka pasti telah tertarget hingga abad tak terhingga.

Indonesia kini adalah negara tercerewet versi Twitter, kata Hilmar Farid pada pidato kebudayaan di Universitas Gadjah Mada bertajuk Strategi Kebudayaan Menuju Indonesia Hebat. Cerewet memang sebuah aktivitas banyak bicara yang tanpa konsep. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kita berharap semua orang bicara dengan konsep?

Idealnya, seseorang sampai kapan pun tak boleh berhenti belajar. Perintah menuntut ilmu bukan hanya diikuti keterangan soal jarak dan ruang, tetapi juga konteks minal mahdi ilal lahdi. Manusia wajib mengilhami ilmu sejak ayunan hingga sampai ke liang lahat.

Permasalahannya, siapakah orang-orang dewasa cerewet yang memiliki efek bahaya hingga tujuh turunan ini? Di mana orang harus belajar selepas usia sekolah dan kuliah? Bagaimana para pekerja, utamanya yang memiliki iklim kerja yang tidak memberikan nutrisi apapun untuk pemikiran mendapat ruang belajar? Lalu, bagaimana para pekerja frustrasi yang tak sudi membaca buku pula ini ketika mendapat tanggung jawab mengadakan pengasuhan di rumah?

Masa sebelum ini, kita masih akrab dengan istilah kerja bakti dan gotong royong. Di kampung-kampung, sistem budaya seperti sambatan (membantu tetangga yang memiliki hajatan tanpa dibayar) dan jimpitan (iuran beras sekepalan tangan yang biasanya diletakkan pada teras rumah dan dikumpulkan untuk kegiatan warga) pernah berkembang. Sistem budaya yang memunculkan keterlibatan interaksi itu, di masa lalu, sekaligus menjadi media pertukaran informasi dan sistem komunikasi yang efektif.

Selain itu, acara kumpul-kumpul warga tanpa disadari adalah bentuk ruang belajar bersama. Hasilnya, misinformasi sangat jarang terjadi, bersama dengan etika budaya yang juga begitu dijaga.

Manusia semakin modern dan teknologi semakin bergerak ke arah yang tidak pernah kita duga-duga. Tetapi, manusia kewalahan mengiringi kecepatan teknologi itu dengan sistem budaya baru untuk mengikutinya.

Celaka sungguh, karena teknologi di genggaman memungkinkan orang mengetik dan mengunggah apa saja. Orang-orang dewasa cerewet itu, selain kesepian dan frustrasi, jelasnya mereka pasti termasuk golongan yang berhenti belajar. Mereka sudah tidak sekolah, tidak sudi membaca buku, dan tidak memiliki ruang ilmu yang sehat.

Ruang ilmu yang sehat itu memiliki sistem sirkulasi argumen yang seimbang. Tiap-tiap orang yang hadir di dalamnya boleh berpendapat dan boleh saling mengisi. Ruang ilmu yang sehat itu, berbeda dengan ruang pengajian yang dikendalikan oleh seorang ustaz gila yang bilang bahwa Presiden kita adalah seorang komunis, atau pesan broadcast tanpa nama soal Borobudur bikinan Nabi Sulaiman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar