Sabtu, 17 Juni 2017

Perintah Penahanan dan Status Ahok

Perintah Penahanan dan Status Ahok
Melky Sidhek Gultom ;   Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sriwijaya
                                                   KORAN TEMPO, 16 Juni 2017



                                                           
Para ahli hukum sempat berpolemik soal status penahanan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Ahok dalam kasus penodaan agama pada 9 Mei lalu dan langsung memerintahkan Ahok segera ditahan pada hari itu juga. Hal ini memicu gerakan massa yang meminta penahanan Ahok ditangguhkan.

Ada masalah hukum acara pidana di sini. Apakah mutlak perintah penahanan dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana ditekankan Pasal 197 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana paralel dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a) KUHAP? Bagaimana jika terdakwa itu tidak pernah ditahan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan tingkat pertama--seperti yang dialami Ahok?

Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan pengadilan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang perintah penahanan, tidak batal demi hukum, melainkan tetap sah secara hukum.

Sesungguhnya kewenangan menahan atau tidaknya terdakwa adalah kewenangan diskresioner. Pasal 20 ayat (3) dan 28 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk kepentingan pemeriksaan. Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya diberikan kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat dari itu, sekalipun belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, jika putusan hakim kemudian dijadikan dasar hukum untuk menahan terdakwa, perintah penahanan itu melanggar hukum. Jika hal itu dibenarkan, lalu sampai berapa lama lagi masa penahanan itu dilaksanakan terdakwa? Untuk menghindari polemik tersebut, sebaiknya sebelum diucapkan putusan, majelis hakim membacakan penetapan penahanan terdakwa. Jika demikian, amar putusan hakim mutlak mencantumkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan

Frasa "perintah penahanan" dengan amar putusan "menjalani pidana" adalah dua sayap yang berbeda. Perintah penahanan hanya diperlukan selama terdakwa menjalani pemeriksaan, dari penyidikan hingga kasasi, untuk memperlancar proses pemeriksaan tersebut. Adapun menjalani pidana adalah hasil dari pemeriksaan sampai terbuktinya perbuatan terdakwa.

Untuk menghindari agar penahanan terdakwa tersebut tidak menimbulkan gejolak di lapangan, sebaiknya yang berwenang bukan lagi pengadilan negeri, melainkan pengadilan tinggi ketika terdakwa menyatakan banding. Syaratnya, terdakwa atau penasihat hukum harus terlebih dulu menandatangani "akta banding" di depan pengadilan (panitera pengganti). Jika belum, penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi menjadi "tidak sah secara hukum".

Sering kali terjadi, ketika ketua majelis bertanya apakah terdakwa akan mengajukan banding, terdakwa menjawab "naik banding". Tapi, berselang tujuh hari masa pikir-pikir, ternyata terdakwa tidak jadi naik banding. Pada kasus Ahok, awalnya ia menyatakan naik banding, tapi tiba-tiba mencabut permohonan bandingnya dari Pengadilan Tinggi DKI.

Menurut saya, walaupun Ahok mencabut bandingnya, jika penuntut umum tetap mengajukan kontra-memori banding, perkara masih tetap berlanjut di Pengadilan Tinggi DKI. Kalau budaya cabut-mencabut banding ini dibiarkan berlarut, penegakan hukum dan kepastian keadilan menjadi kelam.

Kasus Ahok ini menarik. Pertama, sekalipun penahanan Ahok tidak sah sejak vonis dibacakan oleh majelis hakim tingkat pertama, kuasa hukum Ahok mengajukan penangguhan penahanan. Penangguhan penahanan diajukan, sementara penahanan terdakwa saja tidak sah. Dasar hukum penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI tersebut juga meragukan apakah didasarkan atas permohonan banding secara lisan atau tertulis (melalui akta banding). Kalau dasar penahanannya adalah permohonan lisan, penetapan penahanan itu menjadi tidak sah.

Kedua, dengan dicabutnya akta permohonan banding tersebut, Ahok telah menerima putusan tersebut. Dengan demikian, status hukumnya berubah menjadi terpidana, yakni menjalani pidana selama 2 tahun. Ia bukan lagi melaksanakan penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI yang diragukan keabsahannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar