Minggu, 18 Juni 2017

Sesat Pikir Lima Hari Sekolah

Sesat Pikir Lima Hari Sekolah
Akh Muzakki  ;   Ketua Dewan Pendidikan Jatim; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Sekretaris PW NU Jatim
                                                        JAWA POS, 16 Juni 2017



                                                           
LIMA hari sekolah adalah nama lain dari full day school (sekolah penuh hari).Secara mandiri, beberapa sekolah di sejumlah kota besar sudah mempraktikkannya. Tapi, secara kebijakan yang bersifat menyeluruh, lima hari sekolah dilontarkan Mendikbud Muhadjir Effendy sepekan seusai dilantik menggantikan Anies Baswedan.

Persis dua bulan menjelang setahun masa jabatannya, Mendikbud Muhadjir Effendy mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Isinya memberlakukan kebijakan lima hari sekolah itu mulai jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas sejak tahun ajaran baru 2017–2018.

Saat dilontarkan tahun lalu, pro dan kontra menyeruak. Gagasan-gagasan dengan dasar argumentasi yang kuat dilontarkan masing-masing. Namun, substansi argumentasi-argumentasi itu tak diserap dengan semestinya. Proses deliberasi sosial pun tak pernah ditimbang. Lalu, kebijakan begitu saja dikeluarkan.

Saya mencatat sejumlah poin sesat pikir dari kebijakan lima hari sekolah di atas. Pertama, kebijakan itu dikaitkan dengan kepentingan penguatan pendidikan karakter (PPK). Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 pada poin menimbang menyebutnya dengan istilah ”restorasi pendidikan karakter di sekolah”.

Dalam kesempatan wawancara (14/6), Mendikbud menjelaskan, ”Kebijakan ini berupa program PPK pada semua jenjang persekolahan. Wujudnya bukan berupa materi pelajaran yang diajarkan di depan kelas, melainkan dalam bentuk kegiatan di bawah tanggung jawab guru dan sekolah. Untuk itu, jam sekolah yang biasanya 5–6 jam per hari ditambah menjadi 8 jam.”

Pertimbangan kebijakan di atas cenderung tidak tepat karena memandang model persekolahan adalah segalanya. Lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan karakter, ruang partisipasi dan peran orang tua serta masyarakat seakan dianggap rendah. Karena itu, kepentingan penguatan pendidikan karakter lalu dilakukan secara eksklusif melalui instrumen sekolah.

Sementara itu, Kemendikbud tidak memiliki desain yang jelas tentang pendidikan keayahbundaan (parenting education). Hingga saat ini, tidak ada mekanisme dan skema yang jelas, terukur, dan terlembaga tentang penguatan pilar orang tua sebagai medium penting nan strategis untuk penguatan pendidikan karakter bangsa.

Belum lagi jika penguatan pendidikan karakter itu dikaitkan dengan peran dan pengaruh masyarakat. Itu semua, lebih-lebih, menjelaskan bahwa Kemendikbud tidak memiliki desain yang jelas mengenai strategi kebudayaan pada bangsa ini. Kebudayaan lebih dilihat sebagai komoditas pariwisata, bukan sebagai kekayaan nonmaterial bangsa yang harus dilembagakan melalui instrumen-instrumen kewargaan.

Kedua, kebijakan lima hari sekolah dikaitkan dengan kewajiban jam kerja guru. Penambahan jam sekolah yang diikuti dengan perampingan hari kerja untuk guru dipandang harus dilakukan untuk memenuhi kepentingan administratif kerja guru. Mendikbud dalam wawancaranya juga menjelaskan pengaitan dimaksud sebagaimana berikut: ”Selama ini guru-guru sering mengeluh tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar (tatap muka) minimal 24 jam seminggu. Itu karena jam sekolah dan mata pelajaran terbatas.”

Kepentingan pemenuhan administrasi kewajiban jam kerja guru lebih menguat daripada pengembangan karakter anak. Keduanya memang bisa berkelindan, tapi kepentingan jam kerja guru tampak lebih kuat. Buktinya, perampingan hari lebih dipilih daripada sekadar penambahan jam belajar untuk 6 hari sekolah. Pasal 2 ayat (1) Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 melegalisasi dan mendasarinya.

Ketiga,kebijakan lima hari sekolah menggerus keragaman sosiologis dan cenderung abai terhadap kondisi geografis masyarakat. Harus diakui, lima hari sekolah memiliki nilai pragmatis bagi masyarakat urban yang kedua orang tua cenderung bekerja di luar rumah. Pikiran orang tua urban cenderung seperti ini: daripada anak sehabis jam sekolah di luar tidak bisa dikontrol, lebih baik dimasukkan ke sekolah yang jam masuknya sehari penuh.

Namun, postur sosiologis masyarakat di negeri ini tidak gemuk di perkotaan atau urban. Justru, mereka yang tinggal di dan dalam latar sosiologis rural-perdesaan jauh lebih besar dan gemuk daripada di urban-perkotaan. Mereka memiliki kekayaan sosio-kultural yang berbeda dengan masyarakat urban-perkotaan.

Kalau isunya adalah kedekatan anak dan orang tua dalam seminggu, justru di masyarakat perdesaan kedekatan itu bisa dijamin dengan baik. Sebab, jenis pekerjaan yang dimiliki orang tua di masyarakat perdesaan tidak mengharuskan mereka keluar rumah dalam waktu lama hingga meninggalkan anak-anak mereka seharian penuh tanpa kehadiran mereka.

Justru, lima hari sekolahakan mengurangi intensitas kebersamaan itu.

Atas dasar itu, lima hari sekolahbukan solusi tepat untuk masyarakat perdesaan jika kepentingannya adalah penguatan intensitas kebersamaan anak dan orang tua untuk kepentingan penguatan karakter.

Lebih dari itu, secara geografis, lokasi tempat tinggal warga masyarakat dengan sekolah bisa mencapai puluhan kilometer. Aksesnya pun tidak mudah. Perjalanan pun bisa ditempuh lebih dari dua jam. Maka, kebijakan lima hari sekolahakan menyisakan persoalan besar bagi mereka di daerah rural-perdesaan dengan kondisi geografis seperti itu. Negeri ini tidak selayaknya dikelola dengan prinsip one size fits all.

Keempat,tanpa adanya desain operasional yang terukur, kebijakan lima hari sekolahakan mematikan inisiatif-inisiatif lokal di bidang pendidikan. Itu walaupun konsep sinergi sering didengungkan.

Inisiatif-inisiatif lokal yang lahir dari dan dikelola oleh tangan-tangan kreatif anggota masyarakat tidak saja berorientasi pada pendidikan formal, tapi juga nonformal. Mulai keterampilan teknis seperti menjahit, musik, dan olahraga hingga penguatan kemampuan kognitif seperti lembaga bimbingan belajar. Juga yang berorientasi pada penguatan karakter dan kompetensi praktis keagamaan seperti taman pendidikan Alquran dan madrasah diniyah.

Bahkan, jika inisiatif-inisiatif lokal di bidang pendidikan nonformal bertemu pada satu titik dengan kebijakan afirmatif pemerintah, hasilnya sangat dirasakan warga masyarakat sendiri. Pengalaman Jawa Timur menjadi bukti. Sejak 2008 Pemprov Jawa Timur melahirkan kebijakan pendidikan yang inovatif dalam menerjemahkan amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bentuknya, tidak saja dengan mengakomodasi pendidikan keagamaan secara signifikan melalui pengakuan madrasah diniyah (madin) dan pesantren sebagai bentuk pendidikan keagamaan, melainkan juga dengan menyediakan bantuan operasional daerah (bopda) madin. Inovasi dan kreasi lokal atas pendidikan informal itu membuahkan pengakuan dan penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan dari Pemerintah Pusat Kementerian Agama RI pada 3 Januari 2011.

Karena itu, jika diberlakukan secara nasional dan secara membabi buta dengan tidak mengakomodasi inisiatif-inisiatif lokal yang menjadi kearifan kewargaan (civic wisdom), rencana kebijakan lima hari sekolahakan segera memberangus inisiatif dan praktik partisipatif pendidikan oleh masyarakat. Padahal, keberadaan inisiatif dan praktik partisipatif pendidikan, termasuk nonformal, itu tak kalah pentingnya untuk mempersiapkan anak bangsa ini memasuki dunianya secara riil pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar