Sabtu, 01 Juli 2017

Media Berita dan Kontraterorisme

Media Berita dan Kontraterorisme
SH Sarundajang ;   Anggota Dewan Pers
                                               MEDIA INDONESIA, 21 Juni 2017




                                                           
AKSI terorisme masih menjadi tantangan besar bagi komunitas dunia hingga saat ini. Sejak awal Januari hingga awal Juni 2017, setidaknya ada sembilan peristiwa serangan teroris mematikan yang terjadi secara beruntun di negara-negara seperti Inggris, Turki, Rusia, Swedia, Australia, Filipina, dan Indonesia. Serangan bom di Kampung Melayu, Jakarta, beberapa waktu lalu, menunjukkan Indonesia masih menghadapi ancaman serius terorisme didukung dengan fakta terdapatnya ‘sel-sel tidur’ IS, seperti diungkapkan Panglima TNI. Selain itu pula, letak geografis beberapa wilayah di Indonesia, misalnya Sulawesi Utara, sangat dekat dengan negara Filipina sebagai negara dengan aktivitas ekstremis yang tinggi. Terutama di wilayah Mindanao, Basilan, Jolo, dan pulau-pulau sekitarnya yang telah diwaspadai TNI, Polri, Kemenko Polhukam, dan berbagai pihak terkait, terhadap potensi penyusupan dan penyebaran kelompok Maute maupun kelompok teroris lain yang mendukung IS setelah peristiwa di Marawi pada Mei 2017 lalu.

Pemerintah Filipina dipandang terlambat dalam mengantisipasi serangan kelompok Maute, demikian juga membutuhkan waktu yang cukup lama bagi pihak keamanan untuk mengendalikan situasi, bahkan korban yang meninggal dunia kurang lebih 100 orang. Nyawa manusia seakan tidak berharga lagi dan direnggut secara paksa oleh tindakan pengecut dan tanpa ampun. Kita semua sepakat bahwa semua aksi terorisme dengan berbagai alasan harus segera dihentikan. Karena itu, setiap negara di dunia harus bekerja sama menghadapi musuh bersama ini. Demikian pula dengan media sangat diharapkan untuk berperan aktif dalam perang terhadap terorisme karena memiliki keterkaitan erat. Secara khusus media pemberitaan yang akan saya paparkan pada kesempatan ini.

Terorisme dan perang melawan terorisme adalah elemen utama dalam perpolitikan baik domestik maupun internasional, yang secara nyata media berada di posisi garis depan. Setiap tindakan terorisme baik berskala besar maupun kecil akan memberikan dampak pada peliputan berita yang tak terelakkan oleh media massa. Media kontemporer/modern sangat mendambakan bahan cerita yang ideal dan menarik hati bagi manusia berupa drama, syok, tragedi, dan dukacita. Akibatnya, teroris mendapatkan kebutuhan utamanya yaitu publisitas besar dan kesempatan menunjukkan kemampuan mereka menyerang bahkan kepada negara atau bangsa terkuat sekalipun.

Sementara itu, bahan cerita tersebut memberikan energi kepada media untuk berkompetisi dalam meraih ukuran audiens dan sirkulasi yang lebih besar karena berita itu. Dengan demikian, terorisme dan media terjadi hubungan simbiosis dengan saling memberi 'makan' satu dengan lainnya. Bahkan lebih daripada itu, mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pernah mengatakan bahwa media adalah 'oksigen terorisme'. Selanjutnya, tuduhan juga yang mengungkapkan bahwa media menjadi 'megafon' terorisme untuk menarik perhatian khalayak menjadi bahan perdebatan karena pemberitaan yang berlebihan.

Pada abad ke-19, para pelaku anarkistis menjelaskan kekerasan mereka sebagai 'propaganda of the deeds', melakukan pernyataan kepada publik dengan tindakan kekerasan pada masa jauh sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak. Di era itu, pelaku teror yakin bahwa dengan menyerang tempat-tempat kerumunan akan ada banyak sekali saksi mata yang menyebarkan berita kepada keluarga, teman, dan kenalan mereka.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi sekarang ini, munculnya teknologi komunikasi terbaru juga akan meningkatkan kemampuan para teroris mengeksploitasi perkembangan industri pemberitaan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Para pelaku teror tidak hanya bergantung pada 'penjaga gerbang' media tradisional (koran, majalah berita, radio, dan televisi) saja, tetapi juga meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan instrumen-instrumen penting propaganda lainnya seperti penggunaan mesin cetak dan fotokopi, radio komunikasi, telepon satelit, DVD, video games, musik populer, novel, kanal televisi sendiri, hingga media sosial dan internet.

Tujuan teroris pada akhirnya adalah politik meskipun memberikan kesan tindakan mereka sebagai motivasi religius. Apa pun tujuan akhir mereka, para teroris tahu bahwa publisitas dan propaganda diperlukan untuk tujuan mereka yang lebih besar. Jadi, ketika teroris menyerang atau mengancam melakukan kekerasan, mereka memiliki tujuan yang bergantung pada media karena beberapa alasan berikut. Pertama, teroris menginginkan kesadaran audiens yang berada di dalam maupun di luar masyarakat yang menjadi sasaran tujuan mereka sehingga target intimidasi mereka akan terpenuhi.

Kedua, teroris menginginkan apa yang mereka lakukan diketahui masyarakat. Mereka ingin orang bertanya, mengapa membenci kita? Mengapa mereka menyerang warga sipil yang tidak berdosa? Ketiga, teroris menginginkan rasa hormat dan simpati dari orang-orang yang tertarik dengan tindakan yang dilakukannya. Keempat, teroris menginginkan status menguasai secara sah dan menerima perlakuan yang sama dari media atau serupa dengan apa yang diterima aktor-aktor politik lainnya.

Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, muncul pertanyaan sejauh mana perluasan liputan berita dapat menepis semua tujuan tersebut di atas? Bagi teroris, mendapat perhatian dari media berita, publik, dan otoritas pemerintah tidaklah cukup. Mereka biasanya berniat memublikasikan alasan politik mereka dan bergantung pada media massa untuk menjelaskan dan mendiskusikan alasan mereka untuk beralih ke kekerasan. Pelaku terorisme tidak perlu melakukan penjelasan sendiri, medialah yang akan melakukannya untuk mereka.

Di negara-negara yang berdemokrasi liberal dengan populasi masyarakatnya yang besar dan majemuk, kebanyakan perpolitikan modernnya akan bergantung pada komunikasi yang termediasi secara massal karena interaksi pribadi secara langsung antara warga masyarakat dan pejabat pemerintah sudah terbuka dan tanpa batasan-batasan lagi. Dengan demikian, komunikasi politik sebagian besar yang terjadi di dalamnya membentuk segitiga komunikasi politik. Media massa, publik, dan pemerintah membentuk tiga sudut. Media sebagai gatekeepers (penjaga gerbang) tidak hanya mengendalikan akses terhadap berita, tapi juga akses informasi ke masyarakat umum dan kepada pejabat pemerintah. Namun, ketika para ekstremis menggunakan kekerasan politik--terorisme dengan kata lainnya--gerbang media terbuka untuk propaganda of the deed dan menyebarkan pesan-pesan teror ke kedua sudut lainnya, yaitu khalayak umum dan para pejabat pemerintahan.
Pemerintah juga memanfaatkan bentuk komunikasi massal ini.

Memang, untuk masuk segitiga komunikasi itu, teroris harus menggunakan kekerasan atau membuat ancaman nyata yang dapat dipercaya media sebagai penjaga gerbang, sedangkan pemerintah tidak harus melepaskan kekerasan untuk mendapatkan akses tersebut karena pemerintah merupakan bagian dari satu sudut segitiga komunikasi tersebut. Karena kuatnya sumber informasi dari pemerintah, terjadilah kecenderungan dalam mendominasi pelaporan mengenai kebijakan keamanan baik dalam maupun luar negeri--terutama bila ini melibatkan konflik militer atau kemungkinan penempatan militer di suatu wilayah.

Di Amerika Serikat, misalnya, sumber berita dominan ini biasanya berada di Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, dan Pentagon. Masyarakat sebagai satu sudut lainnya dari segitiga politik tak lepas dari peranan vitalnya. Masyarakat merupakan intelijen yang secara alami dapat menyediakan sumber informasi penting terkait dengan potensi terorisme di lingkungannya sehingga dapat berfungsi sebagai peringatan dini kepada pemerintah.

Dalam melaksanakan peliputan terorisme, sangatlah dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang kontraterorisme. Sejumlah institusi, kementerian, layanan, dan unit terlibat dalam hal ini dengan suatu misi yang dijalankan dan memperoleh hak istimewa dalam pelaksanaannya. Kontraterorisme menyiratkan banyak spesialisasi dan teknik surveilans serta intervensi yang canggih.

Hal ini juga melibatkan segenap kekuatan baik eksekutif dan yudikatif, tapi juga legislatif, dengan pembentukan komite intelijen dan keamanan dalam parlemen serta komisi penyelidikan khusus. Upaya-upaya untuk membangun kerja sama kontraterorisme secara internasional adalah sangat kompleks dengan keterlibatan badan dunia serta institusi-institusi dunia lainnya yang sangat jarang dan lemah membahas masalah tersebut.

Berpikir secara global sangat penting dalam perang melawan terorisme. Ini bukan hanya masalah kemanusiaan dan efektifitas, melainkan juga soal kualitas jurnalistik. Dilema dan tantangan sangatlah jelas bahwa masyarakat berharap media memberikan informasi semaksimal mungkin tanpa berlebihan atau mengarah pada sensasionalisme. Pihak berwenang menuntut pengekangan dengan mengukur risiko cakupan yang berlebihan untuk integritas operasi atau menjaga ketenteraman masyarakat.

Penting untuk diingat bahwa terorisme bukanlah fenomena baru. Banyak negara telah menderita selama puluhan tahun dari kelompok-kelompok tersebut, baik internal maupun eksternal. Termasuk aktor negara dan nonnegara, yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil sebagai strategi politik. Dalam banyak kasus, penduduk lokal menjadi lebih kuat dan lebih tangguh, serta membuktikan bahwa kebrutalan tidak cocok dalam jangka panjang untuk kemajuan persatuan dan nilai-nilai kebersamaan.

Dalam konteks ini, media sangat penting dalam memberikan informasi yang dapat diverifikasi serta opini-opini konstruktif selama menghadapi situasi krisis yang menegangkan. Sementara itu, masyarakat dalam keadaan emosi yang menyala-nyala sehingga peranan media menjadi semakin penting. Risiko sebenarnya dari terorisme ialah ketakutan dan kecurigaan akan mendorong gelombang baru nasionalisme dan populisme, dan bahwa kebebasan yang diperoleh dengan kerja keras pada akhirnya harus dikorbankan. Ini bukanlah sebuah serangan terhadap satu bangsa, melainkan menyerang kita semua sebagai warga global.

Di masa-masa sulit ini, dengan masyarakat yang terfragmentasi dan banyak organisasi media menghadapi tantangan keuangan yang parah, para jurnalis harus menahan keinginan untuk mengetahui hal-hal yang menarik mata, telinga, maupun ‘panggilan’ ketukan keyboard. Para jurnalis harus menjaga perspektif global dan menghindari spekulasi serta memperhatikan kata-kata yang mereka gunakan, contoh yang mereka kutip, serta gambar yang mereka tampilkan.

Dengan tidak mengesampingkan bahwa permintaan akan informasi adalah penting bagi masyarakat, para jurnalis harus mempertimbangkan dengan cermat fakta bahwa ada sesuatu yang melekat dalam terorisme dengan tindakan kekerasan telah menimbulkan rasa takut berlebihan pada banyak hal. Para pemilik serta pengelola organisasi atau bisnis media hendaknya memastikan mereka tidak menempatkan diri beserta para staf jurnalisnya dalam bahaya untuk mengejar bahan berita. Pada akhirnya yang terutama dan paling penting, harus menghindari tersebarnya isu-isu kebencian dan radikalisasi dalam masyarakat seperti yang menjadi tantangan di Indonesia saat ini.

Satu dari empat pemikiran yang diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada acara Konferensi Tingkat Tinggi Arab Islam-Amerika, di Riyadh, Arab Saudi, pada 21 Mei 2017, bahwa 'semua pihak harus berani menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah dalam upaya pemberantasan terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian upaya penciptaan perdamaian dunia'.

Jadi pada akhirnya, faktor utama tercapainya keberhasilan strategi pelaksanaan kontraterorisme ialah kerja sama semua pihak baik masyarakat, pemerintah, maupun media. Dengan memahami sentralitas media dan teknologi komunikasi yang merupakan aspek penting dalam kontraterorisme, media berita sebagai gatekeepers memiliki tanggung jawab khusus untuk menerapkan pengaruhnya secara hati-hati dengan dipandu standar jurnalistik tertinggi.

Raja media yang terkenal Rupert Murdoch pernah menyampaikan, "Great journalism will always attract readers. The words, pictures and graphics that are the stuff of journalism have to be brilliantly packaged; they must feed the mind and move the heart." Artinya, jurnalisme yang hebat akan selalu menarik para pembacanya. Perkataan, gambar, dan grafis adalah perangkat jurnalisme yang harus secara cerdas dikemas; perangkat tersebut harus mengisi pikiran dan menggugah hati.

Meskipun terorisme dan kekerasan ekstremisme adalah kemungkinan masalah yang masih akan menyertai kita untuk beberapa masa ke depan, jika kita bisa bekerja sama untuk mengurangi retorika eksplosif, liputan berlebih, dan stigmatisasi kelompok minoritas, mungkin sebagian ‘insentif’ untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil akan hilang bersamaan dengan hal-hal tersebut. Semoga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar