Sabtu, 01 Juli 2017

Pendidikan Ideologi

Pendidikan Ideologi
Ignas Kleden  ;   Sosiolog
                                                         KOMPAS, 21 Juni 2017



                                                           
Pada 19 September 1951, presiden pertama RI, Ir Soekarno, menerima gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada, dengan promotor Prof Mr Drs Notonegoro.

Pidato Bung Karno, "Ilmu dan Amal", mencerminkan pandangannya tentang ilmu pengetahuan, ideologi, politik, dan pemimpin politik. Bung Karno mungkin sekali adalah kepala negara di dunia yang menerima gelar Dr HC terbanyak, total 26: 7 dari dalam negeri dan 19 dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Soviet, Jerman Barat, Yugoslavia, Cekoslowakia, Polandia, Romania, Bulgaria, Hongaria, Mesir, Turki, Kamboja, Korea Utara, Filipina, Brasil, dan Bolivia.

Sekalipun demikian banyak penghormatan dunia akademis terhadapnya, Bung Karno dalam pidato di depan senat guru besar UGM mengatakan terus terang, setiap kali menerima gelar kehormatan itu, dirinya selalu bertanya apakah ada alasan cukup untuk menerima kehormatan seperti itu. Dirinya pada dasarnya bukanlah seorang ilmuwan karena tak menelurkan teori ilmu pengetahuan yang diterima dalam komunitas ilmu pengetahuan, tak menulis karya ilmiah yang diperbincangkan para ilmuwan di dunia, sehingga sumbangannya secara langsung kepada ilmu pengetahuan, dalam pandangannya sendiri, hampir tidak ada.

Namun, ini tak mengecilkan hatinya karena, menurut Bung Karno, dirinya tak merasa diri seorang ilmuwan, dan bahkan tak suka menjadi ilmuwan. "Pembawaanku tidak puas dengan ilmu an sich. Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau praktik hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan."

Karya ilmiah berpuncak pada ditelurkannya suatu teori ilmiah yang diterima dan didiskusikan para ilmuwan dalam komunitas mereka, sedangkan Bung Karno merasa dirinya pada tempat pertama adalah seorang pemimpin politik, tugas utamanya mengaktifkan rakyat dan masyarakatnya kepada suatu cita-cita yang hendak diperjuangkan melalui praktik hidup. Berulang kali dia mengutip ucapan dalam bahasa Belanda, "Kennis zonder daad is doelloos. Daad zonder kennis is richtingloos (Pengetahuan tanpa perbuatan adalah tanpa tujuan. Perbuatan tanpa pengetahuan adalah tanpa arah)".

Kalau praktik hidup dan perbuatan, bagi Bung Karno, hal terpenting, apakah gunanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan, dan mengapa dia membaca dan mempelajari demikian banyak buku termasuk buku-buku ilmu pengetahuan? Jawaban telah diberikannya sendiri: pengetahuan dan ilmu pengetahuan dibutuhkan supaya memberi arah yang lebih jelas sehingga praktik hidup mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada titik ini menjadi jelas, bagi dia penting sekali menyusun suatu teori tentang arah dan tujuan bagi praktik hidup yang dijalankan rakyat dan masyarakatnya. Teori itu dalam pandangannya tak lain dari Pancasila, yang menurut keyakinannya dapat dan harus menjadi pedoman bagi arah dan tujuan praktik hidup yang dijalankan masyarakat Indonesia sebagai negara merdeka. Pancasila adalah suatu teori tentang praktik negara dan berfungsi sebagai ideologi, tetapi sekaligus menjadi teori tentang praktik hidup masyarakat Indonesia, dan menjadi Weltanschauung, suatu visi tentang dunia yang menentukan orientasi masyarakat Indonesia terhadap dunia. Was ist Weltanschauung? Apa itu Weltanschauung? Itulah pertanyaan filosof Karl Jaspers dalam studinya yang luas dan komprehensif, Psychologie der Weltanschauungen.

Menurut Jaspers, visi tentang dunia atau Weltanschauung selalu bersifat filosofis karena dia menjadi pengetahuan tentang keseluruhan, tentang yang universal, yang merupakan watak pengetahuan filosofis. Bedanya dari sistem filsafat ialah Weltanschauung tidak hanya berupa pengetahuan tentang keseluruhan, tetapi bahwa pengetahuan itu membawa akibat yang menjadi kenyataan dalam jiwa, menjadi seelische Wirklichkeit der Wirkung.

Tugas pemimpin politik

Tak begitu jelas apakah Bung Karno membaca karya Jaspers atau tidak, tetapi nyatanya dia juga menyatakan Pancasila adalah suatu philosophische grondslag, suatu dasar filsafat dan filsafat dasar bagi Indonesia, dan bahkan bagi negara lain di dunia yang mau menerapkannya. Namun, filsafat dasar itu tak akan hidup kecuali kalau dia dijalankan dan dihayati menjadi praktik hidup. Suatu ideologi negara, menurut Bung Karno, selalu punya dua fungsi utama: fungsi statis (mempersatukan semua unsur masyarakat ke dalam satu negara), dan fungsi dinamis (memberi arah ke mana negara dan masyarakat itu digerakkan). Peran pemimpin politik tak dapat diabaikan karena dia bertugas mengaktifkan masyarakatnya untuk menjalankan praktik hidup yang merealisasikan tujuan yang ditetapkan dalam suatu ideologi. Dalam tugas itu pemimpin politik harus melakukan tiga hal dalam tiga langkah.

Pertama, pemimpin politik harus sanggup melukiskan cita-cita negara dan masyarakatnya sebagai tujuan dan impian yang menarik, atraktif, dan appealing. Apakah ada politisi kita sekarang ini yang sanggup melukiskan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat sebagai gagasan atraktif bagi kehidupan bersama dan ide yang memikat bagi kaum muda? Apakah ada kemampuan politisi berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai cita-cita dan nilai yang layak dikejar dan diwujudkan dalam praktik hidup karena cita-cita itu punya daya tarik yang menimbulkan pesona dan memberi ilham yang menggairahkan? Apakah pembicaraan tentang kebangsaan masih menggelitik patriotisme, dengan rasa bangga dan rasa syukur, bahwa ada suatu tempat di alam semesta ini yang menjadi tanah air yang kita miliki, dan sekaligus memiliki diri kita sebagai rakyatnya-a homeland which belongs to us, and to which we all belong?

Pernahkah kita mendengar politisi kita berbicara musyawarah dan mufakat sebagai local genius Indonesia dalam memecahkan masalah dan mencapai konsensus rasional, sambil menimbulkan rasa hormat dan bermartabat kepada pihak yang beda pandangan? Di atas segalanya, apakah kita masih menyebut nama Tuhan dengan rasa tremendum et fascinans, dengan gentar dan terpukau karena kekudusan-Nya, dan apakah ingatan akan nama-Nya sanggup menahan kita dari nafsu berfoya-foya kekuasaan dan keserakahan?

Kedua, pemimpin politik tak cukup hanya menimbulkan rasa tertarik atau terpesona, tetapi harus sanggup memberikan sugesti kepada masyarakatnya sehingga anggota masyarakat itu merasa mampu mewujudkan cita-cita yang dilukiskan. Rasa mampu itu melahirkan keyakinan tentang tekad dan kesanggupan mencapai cita-cita, dan menjelmakan cita-cita menjadi kenyataan dalam jiwa, menjadi seelische Wirklichkeit menurut Jaspers. Sugesti menjadi kuat kalau apa yang dikatakan sejauh mungkin diilustrasikan juga dalam perbuatan. Perasaan mampu akan diteguhkan apabila rasa itu mendapat pengejawantahannya dalam praktik hidup yang dapat dilihat dan dialami.

Di sini budaya politik jadi penting dan memainkan peran instrumental dalam pendidikan ideologi. Budaya politik dibentuk oleh elite politik. Apa yang dilakukan elite politik dalam praktik hidup-baik atau buruk-seakan menjadi fashion show bagi rakyat yang melihat dan cenderung mencontohinya. Trickle-down effect dalam budaya politik berlangsung jauh lebih cepat daripada trickle-down effect dalam pemerataan kemakmuran ekonomi. Perbedaannya, tiadanya tetesan ke bawah dalam pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya memperlemah pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, tiadanya tetesan ke bawah dalam praktik hidup elite politik hampir pasti memperlemah ideologi yang dicoba diaktualisasikan dalam masyarakat.

Suatu pendidikan ideologi dengan kurikulum yang tersusun rapi, dan dengan metodik dan didaktik yang paling modern pun, akan mudah digagalkan oleh tiadanya dukungan budaya politik dari elite politik melalui praktik hidup mereka.

Ketiga, pemimpin politik harus dapat memfasilitasi peralihan dari adanya rasa mampu ke pembentukan kemampuan yang riil. Dia mendorong peralihan dari kenyataan dalam jiwa menjadi kenyataan dalam praktik hidup. Ibaratnya, seorang pemimpin politik memikat pendengarnya melalui presentasi tentang sebuah destinasi wisata lewat panorama yang diperlihatkannya melalui film dokumenter. Dia sanggup menimbulkan ketertarikan serta keinginan dan lambat laun muncul rasa mampu dan tekad pada pendengarnya untuk mengunjungi destinasi dimaksud. Langkah yang menentukan adalah membuat pendengarnya mulai menghemat pengeluaran, membatasi belanja harian, mengumpulkan dana, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang destinasi itu, mempelajari alur perjalanan yang paling murah, mengontak teman-temannya untuk bepergian bersama, kemudian membeli tiket dan selanjutnya terbang atau naik kapal laut ke destinasi yang demikian diidamkan dengan membawa program liburan yang sudah tersusun. Pada saat itu kenyataan dalam jiwa menjelma jadi kenyataan dalam praktik hidup.

Kesetiaan yang tetap

Inilah tiga langkah bagi seorang pemimpin politik dalam mengaktifkan masyarakat dan menggerakkan anggota masyarakat itu ke arah cita-cita yang ada dalam ideologi, sebagaimana diuraikan panjang lebar oleh Bung Karno dalam kursus yang diberikannya kepada para kader Pancasila di Istana Negara pada 26 Mei 1958. Tiga langkah itu adalah gerak-maju dari atraksi ke sugesti dan selanjutnya ke aktualisasi. Kalau ada kesan dewasa ini bahwa Pancasila sebagai ideologi negara kita kian kurang diperhatikan, pertanyaannya: pada tahapan mana dan langkah ke berapa ada hambatan menghidupkan Pancasila sebagai ideologi? Apakah kurang ada usaha sosialisasi atraktif tentang Pancasila, apakah tak ada kemampuan politisi memberi sugesti tentang rasa mampu mewujudkan Pancasila sebagai praktik hidup? Ataukah terputus transisi dari rasa mampu ke pembentukan kemampuan riil untuk merealisasikan Pancasila sebagai pedoman praktik hidup dalam negara dan masyarakat Indonesia?

Pancasila digagaskan konseptornya sebagai Staatsphilosophie (filsafat negara) dan sekaligus Lebensphilosophie (filsafat hidup masyarakat sebagai warga sebuah negara). Sebagai filsafat negara, Pancasila akan hidup dalam kebijakan dan ketetapan yang dibuat negara, dan dalam berbagai tindakan yang dilakukan negara. Apakah tiap kebijakan dan ketetapan negara mempertimbangkan kelima prinsip dalam Pancasila sebagai pemberi arah bagi politik yang dijalankan negara? Memang ini tugas yang berat baik bagi eksekutif, legislatif, maupun badan pengadilan.

Setiap kali mereka harus menimbang apakah keputusan itu tidak menyalahi asas Ketuhanan Yang Maha Esa, berupa kepercayaan kepada Tuhan yang satu? Apakah suatu kebijakan masih menghormati atau sudah mengabaikan asas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang percaya setiap orang pada dasarnya merindukan dan berhak atas keadilan dan punya bakat untuk peradaban yang baik, kalau dia dihormati secara layak dan dijunjung martabatnya sebagai manusia? Pepatah asing, under the skin we are all the same (di bawah kulit semua kita adalah sama). Apakah dengan merujuk sila kebangsaan, kedaulatan negara masih dijaga dan dipertahankan, dan rakyat berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya?

Apakah kebijakan ekonomi masih menerapkan keharusan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bukannya membiarkan melebarnya kesenjangan amat mencolok antara kaya dan miskin, yang beruntung dan kurang beruntung? Apakah demokrasi kita hanya mengutamakan demokrasi politik dan kebebasan setiap individu, tetapi mengabaikan demokrasi ekonomi, sambil menutup mata terhadap kenyataan bahwa inequalities (ketidakmerataan) yang tidak diatasi secara waspada dapat membawa kita kepada injustice (ketidakadilan)?

Sebagai filsafat hidup, Pancasila menetapkan bahwa sebagai warga negara Indonesia, semua rakyat adalah sama, dengan satu pegangan, yaitu before the law we are all the same (di depan hukum negara kita semua adalah sama). Namun, dalam praktik, ini harus dicoba terus-menerus.

Perbedaan sebagai anggota kelompok agama atau kelompok budaya dapat diakomodasi karena ada kesamaan dasar sebagai warga negara Indonesia. Kesulitan yang muncul dari berbagai perbedaan dapat diatasi apabila asumsi tentang perbedaan itu bisa diubah, yaitu bahwa perbedaan bukanlah bahaya yang mengancam, tetapi kesempatan untuk menjadi semakin matang karena adanya proses belajar mengenai apa yang tidak kita kenal dalam kelompok kita sendiri dan memahami mengapa hal yang aneh dan trivial dalam perasaan kita, untuk pihak lain menjadi penting dan bahkan amat penting. Pengertian baru itu tak perlu mengubah pendirian dan keyakinan kita sendiri, tetapi dapat memperluas wawasan memperkaya pengalaman kita sebagai pribadi yang kian matang dan warga negara yang  dewasa, terbuka, dan demokratis, dengan rasa kemanusiaan yang semakin tinggi.

Pancasila dapat menjadi ideologi subur di antara rakyat Indonesia hanya kalau ada usaha terus-menerus dari negara maupun masyarakat untuk menerapkannya dalam praktik hidup seperti berulang kali  ditegaskan Bung Karno. Pancasila dapat menjadi pegangan kalau dia menjelma menjadi kenyataan dalam jiwa yang kemudian  diaktualisasikan  dalam tindak-perbuatan.

Presiden Jokowi memperkenalkan semboyan menarik untuk pemerintahannya, "kerja, kerja, kerja". Semboyan itu akan semakin hebat dan menggairahkan kalau kerja yang dilaksanakan tak menjadi sebarang praktik yang diharuskan oleh tugas, tetapi sekaligus menjadi praksis yang menerjemahkan cita-cita Pancasila sebagai praktik hidup dalam negara dan bangsa. Praksis itu patut dicoba dan dilaksanakan terus-menerus dengan berhasil atau kurang berhasil, tetapi dengan kesetiaan yang tetap. Pepatah Bung Karno: hanya dengan terus-menerus mengalir ke laut, sebuah sungai tetap setia kepada sumber airnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar