Kamis, 13 Juli 2017

Qatar Dikucilkan, Israel Bersorak, Palestina Merana

Qatar Dikucilkan, Israel Bersorak, Palestina Merana
Ikhwanul Kiram Mashuri  ;   Penulis Kolom RESONANSI Republika
                                                      REPUBLIKA, 19 Juni 2017



                                                           
Genap dua pekan Qatar telah dikucilkan oleh tiga negara tentangganya di Teluk — Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA).  Ditambah lagi oleh Mesir, Yaman, Libia, dan Maladewa. Hingga kini belum ada tanda-tanda kapan perseteruan ‘antarsaudara’ itu akan berakhir, meskipun beberapa pihak sudah menawarkan diri jadi penengah.

Lalu siapa yang diuntungkan bila pengucilan negeri kecil di semenanjung Teluk Persia itu terus berkepanjangan? Jawabannya jelas: Zionis Israel!

Mereka akan bersorak gembira setiap terjadi konflik atau perseteruan antarnegara Arab. Mereka, dari dulu hingga sekarang, menginginkan dunia Arab tercerai-berai, terpecah-belah. Mereka menghendaki negara-negara Arab lemah. Sebab bila mereka bersatu dan kuat, tentu tidak susah untuk mengganyang Israel. Maka benarlah peribahasa ‘bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh’.

Coba simak data berikut. Negara-negara Arab berjumlah 22, yang tergabung dalam Liga Arab. Dihuni oleh lebih dari 200 juta jiwa. Sebagian sangat kaya. Terutama enam negara yang berserikat dalam Dewan Kerjasama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji): Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Bahrain, Oman, dan Qatar.

Dengan fakta seperti itu rasanya tidak sulit untuk ‘menelan’ negara kecil Israel yang hanya berpenduduk sekitar 8 juta jiwa.  Apalagi negara-negara Arab setiap tahun menggelontorkan jutaan dolar untuk membeli berbagai jenis persenjataan canggih.

Sayangnya, kedigdayaan Arab itu menjadi sirna lantaran mereka berantem sendiri. Berbagai persenjataan canggih bukan untuk menghadapi Israel, tapi justru mempersenjatai diri untuk menghadapi ancaman negara-negara tetangga. Kalau tidak sesama negara Arab, maka dengan negara sesama anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), seperti Iran misalnya.

Memang, Israel didukung oleh negara super power Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Barat. Lengkap dengan segala konspirasinya. Namun sayangnya, negara-negara Arab terpecah-belah dan tercerai-berai. Bahkan mereka — entah sadar atau tidak sadar — mengikuti saja langgam dan permainan konspirasi itu.

Dahulu, ketika Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada 1948, konflik di Timur Tengah disebut sebagai konflik Israel dengan Arab. Namun, seiring perjalanan waktu konflik itu pun ditarik dan dipersempit menjadi hanya antara Israel dan Palestina. Ada kekhawatiran konflik ini pun akan diperkecil menjadi konflik antara Israel dan kelompok Hamas yang kini berkuasa di Gaza.

Hamas sendiri adalah akronim dari Harakat al Muqawwamah al Islamiyah. Ia merupakan kelompok perlawanan terhadap penjajah Israel. Kelompok inilah yang telah beberapa kali melancarkan intifadah alias perlawanan semesta rakyat yang membuat Zionis Israel kalang kabut. Kelompok ini pula yang dengan gagah berani melawan pendudukan Israel ketika menyerang Gaza.

Pada 2006, Hamas menjadi gerakan politik dan memenangkan pemilu, mengalahkan faksi Fatah. Setahun kemudian mereka berkuasa atas wilayah Gaza hingga sekarang. Pada perkembangannya kemudian, lantaran sering merepotkan kolonial Israel, Hamas pun dicap oleh kaum Zionis itu sebagai teroris. Klasifikasi Hamas sebagai kelompok teroris ini kemudian juga diikuti oleh negara-negara yang selama ini mendukung Israel, seperti AS dan beberapa negara Barat lainnya.

Yang menyedihkan, sejumlah negara Arab pun membebek klasifikasi itu, bahwa Hamas adalah kelompok teroris. Hanya Qatar yang tetap mendukung dan membantu Hamas. Bahkan mereka juga melindungi beberapa pimpinan teras yang wanted bagi Zionis Israel dan konco-konconya, untuk tinggal di Doha. Sikap Qatar terhadap Hamas inilah yang menjadi salah satu tuduhan bahwa negara kaya ini mendukung kelompok teroris.

Itu sebabnya pengucilan terhadap Qatar disambut gegap gempita oleh para pemimpin Zionis Israel. Kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — ketika memperingati 50 tahun kemenangan Perang 1967 melawan negara-negara Arab —, telah terjadi perubahan penting bagaimana negara-negara di kawasan (Timur Tengah) memperlakukan Israel. Negara-negara ini, lanjutnya seperti dikutip media Aljazeera.net, bukan lagi menganggap Israel sebagai musuh, tapi sebagai partner melawan para teroris, yang ia sebut sebagai kelompok Islam radikal.

Bahkan dengan jumawanya Netanyahu juga menyatakan, negara-negara ini (maksudnya mereka yang memutuskan hubungan dengan Qatar) telah melihat kekuatan Israel, yang dibuktikan dengan kemenangan Perang Enam Hari pada 1967. Negara-negara ini dan negara-negara lain di dunia, lanjut Netanyahu, pun telah menghargai perjuangan dan sikap tegas Israel terhadap apa yang ia sebut sebagai teroris dan kelompok agresor. Yang terakhir ini tentu merujuk pada Hamas.

Pandangan yang sama juga disampaikan Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman. Menurutnya, apa yang terjadi — pengucilan Qatar — merupakan bukti lain bahwa, ’’Bahkan negara-negara Arab pun memahami bahaya sebenarnya di seluruh kawasan (Timur Tengah) adalah bukan Israel, bukan Yahudi, dan bukan Zionis, tapi teroris Islam radikal.’’

Lieberman, seperti dikutip media Aljazeera.net (edisi 13 Juni 2017), pun menyerukan agar Israel segera menormalisasi hubungan dengan, yang ia sebut, negara-negara Arab Suni moderat. Normalisasi ini, katanya, tanpa harus menunggu penyelesaian masalah bangsa Palestina.

Menteri Israel ini mencontohkan, normalisasi hubungan Israel dengan Mesir dan Yordania ternyata bisa terwujud tanpa perlu menunggu penyelesaian masalah bangsa Palestina.  Karena itu, katanya, normalisasi hubungan dengan negara-negara Suni moderat justeru akan mendorong percepatan penyelesaian bangsa Palestina baik di Tepi Barat maupun di Gaza.

Bila kita mengikuti logika Lieberman — dan juga para pemimpin Israel lainnya —, sudah semestinya penyelesaian bangsa Palestina menemukan tanda-tanda kesepakatan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Normalisasi hubungan Israel dengan Mesir dan Yordania sudah berlangsung sekian puluh tahun lalu, namun nasib dan kemerdekaan bangsa Palestina malah semakin tidak jelas.

Persoalannya, Zionis Israel selalu menolak berbagai solusi yang ditawarkan. Termasuk solusi yang paling moderat sekalipun. Di antaranya solusi dua negara yang saling mengakui eksistensi masing-masing. Yaitu Israel dan Palestina yang hidup berdampingan dengan wilayah Palestina sebelum Perang 1967, dengan ibukotanya Jerusalem Timur. Alih-alih mau berunding, Israel justru menancapkan pendudukannya di wilayah Palestina dengan membangun ribuan pemukiman Yahudi secara ilegal. Berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB pun mereka anggap sepi.

Sayangnya, negara-negara Arab selalu mengikuti lagu dan langgam yang dinyanyikan oleh Zionis Israel. Termasuk klasifikasi teroris. Juga klasifikasi lawan dan kawan. Bahkan penggunaan istilah pun mengikuti apa yang mereka diktekan. Dari konflik Israel-Arab, menjadi konflik dengan Palestina, dan akhirnya bisa saja diperkecil hanya konflik Israel-Hamas. Dan, karena Hamas sudah dicap teroris, maka Israel akan semakin bebas menduduki wilayah-wilayah Palestina.

Kita belum tahu bagaimana akhir dari drama pengucilan Qatar oleh saudara-saudaranya negara-negara Arab itu sendiri. Yang jelas, semakin lama pengucilan Qatar akan semakin menguntungkan Zionis Israel. Mereka akan bersorak gembira. Sebaliknya, nasib bangsa Palestina akan semakin merana. Kemerdekaan bangsa Palestina akan semakin jauh, manakala bangsa Arab tercerai-berai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar