Sabtu, 08 Juli 2017

Saatnya Pendidikan Kembali ke Fitrah

Saatnya Pendidikan Kembali ke Fitrah
Ardhie Raditya  ;   Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya
di Departemen Sosiologi Unesa
                                                     DETIKNEWS, 21 Juni 2017



                                                           
Sejak dilontarkan ke muka publik, kebijakan Mendikbud mengenai lima hari bersekolah menuai perseteruan banyak kalangan. Sudah bisa diduga, sebagian besar kalangan Muhammadiyin cenderung mendukungnya. Sebaliknya, kalangan Nahdiyin sebagian besar menolaknya. Kesannya, praktik pendidikan hampir tak ada bedanya dengan pertarungan merebut kursi kekuasaan di negeri kita.

Mungkin saja pandangan saya terkesan mengada-ngada. Namun, Stuart Hall (1998) dalam The Work of Representation mengatakan bahwa praktik berbahasa selalu menyimpan kepentingan kelompok tertentu yang di baliknya terdapat kekuatan identitas kultural. Jika kita tengok lebih dalam lagi, sebenarnya kedua kubu, baik pro dan kontra, punya argumentasi wacana masing-masing.

Mereka yang menolak menganggap lima hari sekolah akan membunuh perlahan madrasah diniyah (madin) yang sejak dahulu ada di Nusantara. Karena, program itu menjadikan waktu sekolah semakin panjang dari biasanya (8 jam). Sedangkan, madrasah biasanya dilakukan pada siang hari setelah jam pelajaran sekolah usai.

Jauh sebelum adanya sistem persekolahan, pendidikan agama telah ada sejak awal mulanya peradaban manusia. Karena kondisi sejarah itu membuat Ki Hadjar Dewantara, mendikbud pertama R.I, mulai memasukkan pendidikan agama ke sekolah umum di Indonesia. Hal itu diwujudkan dengan terbitnya UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan agama menjadi pengajaran resmi di sekolah umum sejak disahkannya UU No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Namun, perkembangannya pendidikan agama di sekolah umum kurang menggigit. Karena, jam mata pelajaran agama sangat terbatas. Porsinya hampir tak jauh beda dengan olah raga maupun pelajaran seni-budaya. Sementara itu, mata pelajaran ilmu positivistik atau eksakta seperti kimia, fisika, biologi, dan matematika diistimewakan dengan alokasi waktunya.

Sedangkan, dari kubu pendukung menganggap bahwa kebijakan lima hari sekolah itu dapat memperkuat pendidikan karakter. Sebab, pendidikan karakter sesuai dengan prinsip revolusi mental pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih lagi, di tengah padatnya waktu kerja manusia modern, tambahan waktu belajar di sekolah akan membuat anak-anak aman dari rongrongan dunia kejahatan sekaligus kenakalan remaja.

Sayangnya, situasi politik nasional berefek pada tumbuhnya kesadaran masyarakat betapa ironinya pendidikan kita. Tak sedikit tokoh agama yang terlibat politik praktis justru terjerembab ke dalam kenikmatan dunia. Demi kepentingan politiknya, mereka begitu mudah menggunakan dalih agama. Kebiasaannya kerap berburu citra mirip badut-badut politik.

Bagi elit agama, hal itu mungkin dianggap biasa saja. Tapi, di antara akar rumput yang fanatik dan belum berpengetahuan luas, politik praktis elit agama itu menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Sehingga, musuh bersama bukan lagi penjajah dari Barat dan Eropa, melainkan sesama anak bangsanya. Sesama umat beragama dan seagama.

Bahkan, media massa terkadang turut memancing di air keruh. Saat momentum muktamar kedua ormas agama terbesar di Nusantara, salah satu media mainstream menurunkan judul berita yang tendensius: "muktamar kelompok A gaduh, kelompok B teduh". Kondisi ini membuat KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) menangis tersedu-sedu.

"Kok bisa sesama Islamnya gegeran," tanya beliau sambil mengusap air mata. Wacana ini lantas dibawanya di hampir setiap mengisi pengajian dari kota ke kota sebagai penanda zaman akhir.

Melampaui Esensi

Mencermati secara seksama wacana yang beredar di media massa, sepertinya pro-kontra kebijakan Mendikbud tentang lima hari bersekolah telah melampui esensi dasarnya. Baik kelompok pro dan kontra saling menjustifikasi kebenaran wacananya.

Pada konteks ini, persoalan baik/buruk pendidikan menjadi terguncang. Karena, tidak adanya negosiasi dan juktaposisi dari kelompok yang direpresentasikannya. Kondisi ini disebut Postman (1996) dalam The End of Education sebagai dekadensi nilai-nilai pendidikan.

Sekolah lima hari dalam sepekan barangkali tergolong baru di Indonesia. Tapi, di negara-negara maju, sekolah lima hari sudah sejak lama diterapkan. Seperti di Singapura, Jerman, Amerika, Finlandia, dan lainnya. Meskipun sekolah di sana berlangsung lima hari, kualitas pendidikannya tetap terjaga.

Sekolah lima hari berefek bagi peningkatan intensitas keintiman bersama keluarga. Karena, memperbesar waktu luang bagi para guru dan siswa. Waktu luang ini bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup yang baik akan mendorong anak untuk semangat belajar tanpa dihantui rasa bosan. Waktu luang itulah yang dapat dimanfaatkan untuk tamasya pendidikan.

Generasi muda kita perlu dididik memahami kebesaran sejarah dan budaya bangsanya. Ada banyak tempat wisata di Indonesia termasuk dari tujuh keajaiban dunia. Seperti, Candi Borobudur, Pulau Komodo, padang salju Papua, Bali, danau tiga warna (Kalimutu), dan lainnya.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa daya dobrak brand power pariwisata Indonesia (5,2%) masih tertinggal dibandingkan Thailand (9,4%) dan Singapura (8,6%). Inilah pentingnya waktu luang agar digunakan sebaik mungkin jika kebijakan lima hari bersekolah benar-benar diterapkan.

Namun, menurut Marcuse (2002) di dalam masyarakat kapitalisme lanjut tak ada namanya waktu luang. Waktu luang bagian dari desublimasi represif. Karena, pada saat manusia modern sibuk bekerja, maka aktivitas melepas penat hanyalah komodifikasi kebutuhan palsu. Waktu luang (leisure time) menjadi pelumas mesin industri budaya dalam bentuk yang lain.

Itulah sebabnya kita perlu menyadari kembali makna persekolahan dan pendidikan. Karena, tidak semua orang yang bersekolah disebut berpendidikan. Tujuan pendidikan adalah membentuk paripurnanya kehidupan alam semesta. Pendidikan erat kaitannya dengan amal kebaikan, cinta kasih sesama, dan tentu saja tak menyembah apapun selain Tuhan yang maha esa.

Pendidikan semacam itulah yang harus dibumikan sebagai penangkal serbuan tirani birokrasi dan spirit kapitalisme dalam pendidikan kita. Sehingga, pendidikan kita terus-menerus menemukan fitrahnya. Kapan dan di mana saja ia berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar