Senin, 23 Oktober 2017

Demagogues Reklamasi Jakarta

Demagogues Reklamasi Jakarta
Rohmad Hadiwijoyo ;   Doktor Ilmu Lingkungan Undip Semarang
                                            MEDIA INDONESIA, 21 Oktober 2017



                                                           
RAPAT tahunan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank di Washington DC, AS, pekan lalu diwarnai kegamangan dan keraguan. Hal itu disebabkan optimisme ekonomi dunia terganggu karena dipengaruhi perilaku para pemimpinnya yang berperilaku demagogues.
Demagogues yaitu sebuah fenomena yang seseorang pemimpin dengan mudahnya memberikan janji solusi sederhana untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang berat dan kompleks.

Janji–janji yang berat untuk dipenuhi karena hanya untuk mencari popularitas. Biasanya demagogues memanfaatkan isu–isu yang sedang bergulir di masyarakat untuk mendukung tujuan poltiknya. Selain menimbulkan kegamangan ekonomi, demagogues juga menimbulkan ketidakpastian regulasi birokrasi. Contoh terkini, yakni kelanjutan proyek reklamasi teluk Jakarta.

Saat kampanye pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menolak proyek reklamasi. Padahal, dua hari sebelum dilantik menjadi orang nomor satu di DKI, moratorium pembangunan reklamsi teluk Jakarta sudah dicabut Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Harus dicari inovasi agar bubur tersebut bisa dinikmati, misalnya ditambah 'suwiran' daging ayam dan ditambah cakwe agar menjadi bubur ayam yang nikmat. Luhut dan Anies harus duduk bersama meracik menjadikan bubur ayam untuk dua belas juta rakyat Jakarta.

Saya pernah menulis di harian ini beberapa bulan yang lalu. Pada prinsipnya pembangunan reklamasi sah–sah saja, asalkan tujuan dari pada proyek reklamasi jelas untuk kepentingan yang lebih besar. Beberapa permasalahan reklamasi yang masih mengganjal didata untuk dicarikan solusi yang terukur. Permasalahan reklamasi ditentang karena pengembang tidak mempertimbangkan beberapa aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, dan dampak lingkungan.
Secara garis besar ada dua permasalahan mendasar, yaitu tidak adanya kajian tentang penerimaan masyarakat (social acceptance) dan tidak adanya kajian komprehensif tentang penilaian lingkungan (environmental valuation).

Hakikat dari sebuah pembangunan ekonomi adalah suatu proses untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat dan hasil pembangunan tersebut harus dinikmati seluruh masyarakat secara adil tanpa harus meninggalkan beban ekonomi atau liability kepada anak cucu kita. Pembangunan yang sustain atau berkelanjutan, jika memperhatikan asas konservasi yang berwawasan lingkungan. Menjaga kelestarian lingkungan merupakan keharusan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam, seperti hutan, tanah, air, dan mineral. Pembangunan konservatif harus dilaksanakan secara terpadu dengan sektor terkait dan dilakukan secara bersama–sama sesuai dengan kewenangan taip-tiap departemen.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), mewajibkan setiap proyek dan kegiatan usaha harus dilengkapi dengan dokumen amdal sebagai acuan sebuah proyek dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan. Dalam kasus reklamsi teluk Jakarta, dokumen amdal yang disajikan tidaklah cukup untuk meredam penolakan masyarakat. Walaupun amdal sudah diperbaiki dua kali karena terkena sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penolakan masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena amdal tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memadai bagi pembuat kebijakan.

Dokumen amdal reklamasi teluk Jakarta hanya menyajikan rencana kegiatan usaha dan kegiatan pembangunan wilayah secara parsial. Dokumen amdal sifatnya objektif dan statis. Hal ini karena dokumen amdal hanya mencakup angka dan aspek teknis semata yang bersifat universal. Dampak sosial dari reklamsi tidak tecermin dalam dokumen amdal. Untuk itu, kajian dampak sosial diperlukan untuk memperkuat dokumen amdal reklamasi teluk Jakarta.

Kajian dampak sosial
Memasuki era global warming yang kegiatan ekplorasi dan ekploitasi sumber daya alam harus mengacu kesadaran akan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan hanya akan menyebabkan biaya sosial tinggi (high social cost). Selain itu, dalam pembangunan harus memperhatikan asas keadilan dalam pembagian kue hasil–hasil pembangunan antara masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta. Masyarakat merupakan pihak yang harus diprioritaskan dalam pembagian kue hasil pembangunan. Kajian sosial diperlukan untuk menampung aspirasi masyarakat sekitar wilayah reklamasi. Sehingga model kebijakan yang akan diambil kebijakan dari bawah ke atas (bottom up).

Melibatkan masyarakat lokal dalam setiap pembangunan sangat penting. Hal ini untuk memitigasi dampak sosial yang timbul sehingga masyarakat pada akhirnya dapat menerima proyek pembangunan yang terjadi di wilayahnya (social acceptance). Dalam kasus reklamasi teluk Jakarta, agar pembangunan reklamasi bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, pengembang harus memperhatikan beberapa faktor. Di antaranya faktor biaya yang harus ditanggung masyarakat akibat dari adanya proyek reklamasi. Selain itu, paparan tentang asas manfaat bagi masyarakat sekitar teluk Jakarta harus dikomunikasikan dengan baik sehingga persepsi manfaat reklamasi bisa diterima masyarakat dengan jelas.

Kajian penilaian lingkungan
Kajian yang tidak kalah penting untuk kelengkapan dokumen amdal reklamasi teluk Jakarta, yaitu perlunya kajian terhadap penilaian lingkungan (environmental valuation). Penilaian lingkungan dapat dilakukan lembaga independen. Seperti melibatkan perguruan tinggi dan organisasi pemerhati lingkungan. Beberapa teknik untuk menilai dampak lingkungan, yakni dengan pendekatan ekonomi nilai pasar pengganti (replacement), nilai pasar sesungguhnya, proxy value dan pendekatan survei.

Dampak kerusakan lingkungan akibat reklamasi harus dihitung. Hal ini untuk menentukan cadangan biaya pengganti lahan yang rusak akibat dampak reklamasi tersebut. Selama pembangunan reklamasi, para nelayan sekitar wilayah kerja mengalami kerugian materiil karena tangkapan ikan berkurang. Para nelayan berhak mendapatkan proxy dari pengembang sebagai ganti rugi selama proyek reklamasi berlangsung. Kajian dampak sosial dan penilian lingkungan bisa dijadikan tools atau decision support systems (DSS) bagi Gubernur DKI dan Menko Kemaritiman untuk kelanjutan proyek reklamasi.

Tentunya harus dimulai dengan dialog antara keduanya. Tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. Apalagi Pak Luhut, Sandiaga Uno, dan Tim Sinkronisasi Sudirman Said ketiganya jebolan dari Foggy Bottom Campus Washington DC. Dengan melakukan dialog dan kajian yang terukur, keputusan yang diambil nantinya tidak mencerminkan keputusan yang 'serampangan'. Artinya, keputusan yang dibuat sudah melalui proses yang kredibel sehingga tujuan pembangunan reklamasi Teluk Jakarta untuk menyejahterakan masyarakat bisa terwujud tanpa harus merusak lingkungan. Sumonggo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar