Minggu, 01 Oktober 2017

Isu Kebangkitan PKI Jadi Ritual Tahunan

Isu Kebangkitan PKI Jadi Ritual Tahunan
                                                                             

                                                           
Sebenarnya saya sudah sangat bosan bicara tentang isu kebangkitan PKI, tetapi tetap saja telah jadi ritual tahunan setiap bulan September/Oktober. Bacaan saya semuanya ini terkait dengan perjuangan kekuasaan di Indonesia yang ibarat api dalam sekam sejak beberapa tahun yang lalu. Resonansi pada 11 dan 18 Juli 2017 di bawah judul “PKI dan Kuburan Sejarah” telah berupaya mendudukkan masalah ritual tahunan ini sebaik mungkin. Saya paham dan merasakan betul betapa ngerinya langkah politik PKI pada masa jayanya.

Tetapi juga betapa perihnya nasib mereka yang dikategorikan sebagai keturunan PKI diperlakukan selama bertahun-tahun pada era Orde Baru (Orba). Luka sejarah ini harus disembuhkan demi masa depan Indonesia yang lebih beradab. Langkah penyembuhan ini telah dengan manis ditunjukkan oleh putri Njoto Svetlana dan putri DI Panjaitan Catharine, sebagaimana yang saya tulis dalam Resonansi 18 Juli di atas. Di masa PKI jaya sangat populer nama trio Aidit-Lukman-Njoto sebagai pimpinan puncak partai komunis terkuat ketiga setelah Uni Soviet dan Cina. Dan trio ini dapat payung perlindungan dari penguasa saat itu. Kini semuanya sudah berlalu, sudah remuk berkeping-keping dan berdarah-darah dengan meninggalkan kenangan suram dan pahit.

Tidak saja PKI yang remuk, lawan politik paling depannya, Partai Masyumi, telah lebih dulu  diremukkan pada akhir tahun 1960 antara lain karena dorongan sangat kuat dari PKI. Sekali lagi, ini semua sudah berlalu, sekalipun masih tersisa dalam ingatan kolektif sebagian kita. Sebagai simpatisan berat Masyumi di era itu, perasaan saya saat partai ini diperintahkan bubar tidak saja marah, tetapi juga memendam rasa dendam bertahun-tahun, mengapa partai pembela demokrasi dan konstitusi ini dizalimi dengan dalih sebagian pemimpinnya terlibat dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Bukankah Ketua Umum Masyumi ketika itu adalah Prawoto Mangkusasmito yang sama sekali tidak turut dalam PRRI?

Kemudian saya sadar bahwa memelihara dendam itu tidak ada gunanya, bahkan bisa merusak batin kita sendiri. Maka dendam AD (Angkatan Darat) kepada PKI sekalipun  dapat dipahami karena para senior mereka dibunuh secara keji, tetapi tidak boleh dipelihara terus melalui ritual tahunan yang hanya akan merusak keutuhan dan persatuan bangsa. Langkah anak bangsa Svetlana Njoto dan Catharine Panjaitan harus ditiru dan dijadikan arus besar agar kita tidak lagi menghabiskan energi secara sia-sia yang telah berjalan selama puluhan tahun. Di tahun 1960-an Njoto dan Jenderal DI Panjaitan berada pada kubu yang saling mengintai. Sekarang, kedua putrinya dengan jiwa besar telah merajut persahabatan erat sesama anak bangsa yang sama-sama telah menjadi korban sejarah di masa lampau yang kelam.

Isu kebangkitan PKI yang masih dijadikan jargon untuk berkuasa oleh sementara politisi adalah pertanda dari keadaban politik bangsa ini masih rendah dan murah. Akan lebih arif, dicari isu lain seperti ketimpangan sosial-ekonomi, korupsi, dan penguasaan tanah oleh konglomerat yang demikian masif, tentu akan lebih rasional dan terhormat untuk diusung. Menggunakan ungkapan asing dan aseng dengan nuansa politik yang kental, tanpa menyiapkan generasi muda bangsa untuk tampil sebagai pengusaha pribumi yang tangguh, hanyalah akan mempertinggi tempat jatuh dan akan mengabadikan mentalitas budak yang sejak lama kita derita.

Anak bangsa ini jika diarahkan kepada hal-hal yang positif dan konstruktif pasti bisa bersaing dengan siapa pun. Oleh sebab itu para konglomerat yang sudah terlalu kaya menikmati hasil bumi, laut, dan udara Indonesia wajib mempertanggungjawabkan hartanya itu kepada mahkamah sejarah bangsa ini. Masalah ketimpangan sosial ini jika terus berlanjut bisa mengundang kelompok-kelompok rentan mana pun, tidak perlu dengan mengusung isu PKI melalui ritual tahunan yang tidak mendidik, untuk tampil sebagai //pseudo// pahlawan yang dapat meruntuhkan semua yang sudah kita bangun.

Akhirnya, sebagai bangsa dan negara yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945, kita semua ditantang untuk berpikir jernih, stabil, dan berdasarkan fakta yang kuat untuk menyalurkan hasrat berkuasa dalam sistem demokrasi sehat dan beradab yang sudah disepakati secara konstitusional.

Sumber :  Ahmad Syafii Maarif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah),

REPUBLIKA 26 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar