Jumat, 06 Oktober 2017

OTT Murah Meriah

OTT Murah Meriah
Bambang Soesatyo  ;   Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
                                              KORAN SINDO, 22 September 2017



                                                           
Rangkaian hasil penyergapan KPK atas sejumlah kepala daerah yang diduga melakukan korupsi akhirakhir ini menjadi bukti praktik korupsi masih marak, bahkan berskala masif pun sistematis.

Namun, bukti tentang maraknya praktik korupsi itu sekaligus memberi penjelasan kepada publik bahwa sistem pencegahan korupsi masih jauh dari efektif. Bahkan, kadang publik bertanya; adakah negara ini memiliki sistem pencegahan korupsi? Pertanyaan seperti ini wajar dikedepankan karena sudah 15 tahun berjalan negara menugaskan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) memerangi perilaku korup yang dipraktikan dalam semua aspek tata kelola pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kalau sistem pencegahan itu ada dan efektif, praktik korupsi seharusnya sudah bisa diminimalisasi.

Korupsi memang tidak akan pernah bisa dihilangkan karena dia sangat bergantung pada plus-minus perilaku pemegang kuasa atau kewenangan. Namun, korupsi mestinya bisa diminimalisasi dengan sistem pencegahan yang diupayakan sefektif mungkin. Maka, pemerintah dan DPR harus lebih konsisten dan bersungguh- sungguh dalam upaya menghadirkan sistem pencegahan korupsi. Penindakan tidaklah salah, tetapi fokus pada penindakan tidak akan menyelesaikan masalah, terutama karena lebih mencerminkan kegagalan sistem.

Kalau sistem pencegahan atau pengawasan tidak berfungsi efektif, mesin birokrasi negara dan daerah akan selalu mengalami kerusakan disana- sini akibat perilaku korup oknum. Lebih dari itu, jumlah penindakan yang banyak tidak elok untuk dijadikan tolok ukur keberhasilan perang melawan korupsi. Sebaliknya, dan sekali lagi, jumlah kasus penindakan atau operasi tangkap tangan (OTT) yang beruntun seperti belakangan ini seharusnya dilihat sebagai akibat dari kegagalan sistem pencegahan. Jadi, jumlah OTT yang terus bertambah itu seharusnya dimaknai sebagai aib karena ketidakmampuan menyediakan sistem pencegahan.

Perkecil Peluang

Kini publik boleh berasumsi bahwa KPK sudah dan paling tahu seluk beluk atau ragam modus korupsi di negara ini. Asumsi ini wajar saja karena sudah belasan tahun KPK menguliti praktik korupsi di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun korupsi oleh oknum pemerintah yang berkonspirasi dengan swasta. Masyarakat mengapresiasi semua penindakan yang telah diperlihatkan KPK. Namun, sudah terbukti bahwa penindakan saja tidak menyelesaikan masalah.

Bahkan, kini rentetan penindakan itu sudah dilihat sebagai cermin kegagalan program pencegahan korupsi. Efek jera terbilang minim, sedangkan budaya anti korupsi di tubuh birokrasi pusat dan daerah sepertinya masih di awang-awang. Mengacu pada belasan tahun pengalaman KPK itu, tidak berlebihan jika KPK perlu didorong menyusun atau merumuskan proposal mengenai strategi pencegahan korupsi. Tidak berarti penindakan harus direduksi. Kegiatan penindakan harus tetap dilaksanakan untuk menunjukan mesin perang korupsi masih bekerja.

Akan tetapi, harus ada keinginan bersama mendorong gerak pemberantasan korupsi untuk mewujudka target yang lebih strategis, yaitu tumbuh budaya antikorupsi, budaya malu melakukan korupsi. Agar kerja pemberantasankorupsi konsisten dan fokus, lebih ideal jika acuannya kembali pada Perpres No.55/2012. Perpres ini pun mengutamakan pencegahan. Juga sudah ditetakan target jangka menengah dan target jangka panjang dari kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dari strategi yang dituangkan dalam perpres ini, cukup jelas bahwa KPK tidak mungkin bekerja sendiri. Sebaliknya, KPK harus membangun sinergi dengan sejumlah institusi yang relevan.

Dari kerjasama itu, akan dirumuskan strategi pencegahan korupsi yang komprehensif. Harus menjadi kesadaran dan kemauan bersama bahwa pencegahan jauh lebih strategis dibanding penindakan. Karena itu, sudah waktunya bagi KPK untuk fokus pada upaya merumuskan strategi pencegahan. Proposal strategi pencegahan itu dibuat dengan mengacu pada pengalaman KPK selama belasan tahun ini. Silahkan bagi KPK untuk melanjutkan penindakan. Tetapi tidak ada salahnya untuk mengaku bahwa penindakan tidak menyelesaikan masalah. Tidak juga menumbuhkan efek jera. Sudah puluhan kali KPK melakukan OTT.

Target OTT pun tidaktanggung-tanggung. Ada sosok Akil Mochtar yang disergap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapula sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu, ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD. Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum jaksa, dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA).

Terakhir, sasaran bergeser ke kepala daerah, gubernur, bupati, dan walikota, terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar. Bagi masyarakatpada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu. Secara psikologis, kinerja KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota parlemen yang terjaring terus bertambah. Sekali lagi, KPK perlu memberi prioritas pada sistem pencegahan korupsi.

Cukuplah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan (OTT) pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung Garuda yang mangsanya besar-besar. Bukan burung perkutut. Sudah saatnya KPK melakukan langkah-langkah besar dengan menangani pekerjaaan atau kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan atau dipecahkan di kepolisian maupun di kejaksaan.

Kalau hanya mengandalkan OTT saja, ya kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam. Negara telah mengeluarkan dana yang sangat besar bagi gaji para penyidik, pimpinan, dan pegawai KPK. Termasuk biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarananya serta kewenangan yang luar biasa dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.

OTT itu ‘Murah Meriah’

Jadi, kalau KPK hanya menggelar OTT-OTT saja sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidakbisadihindariadanyakesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi ‘murah meriah’. Dan itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan. Lihatsaja data, selama15tahun KPK berdiri, praktik-praktik koruptif semakin marak hampir disemua lini kehidupan bangsa ini.

Tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9) pekan lalu, giliran Wali Kota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK. Sebelumnya, Bupati Batubara dari Golkar yang kena OTT. Bisa dipastikan bahwa akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK. Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, apa yang kerap terjadi dalam Berbagai penangkapan itu benar2 OTT atau jebakan?

Saya meyakini apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan. Mereka yang jadi target operasi tersebut sebelum terjadinya penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya. Apakah itu tingkat penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar untuk ‘penyadapan’ itu sebagai mana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima pimpinan KPK yang ada. Jadi, bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum.

Pertanyaannya kemudian, apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan. Sebab, apa pun alasannya, tindakan memata-matai itu dilarang. Negara asing tidak boleh melakukan mata-mata atau interception dgn alasan apa pun, termasukalasandemokrasi, alasan HAM, alasan pemberantasan korupsi, atau alasan pemberantasan narkotika. Kalau asing saja dilarang, masak KPK dibiarkan untuk menyadap warga negaranya sendiri? Itu sama saja kita belum merdeka. Kita hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Takut dan cemas setiap saat diintai, disadap, dan direkam.

Inilah titik rawan mengapa kita harus terus kritis dan tegas dalam hal pengawasan terhadap KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang untuk tujuan tertentu diluar hukum. Saya juga berpendapat, jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi. KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Minimal KPK harus bekerjasama dengan inspektorat jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat pemerintah daerah.

Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi. Namun, agenda pemberantasan korupsi seperti masuk dalam lingkaran setan. Tidak jelas akan ke mana ujungnya. Seharusnya arah agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, bukan pada berapa banyak orang yang ditangkap, tapi pada berapa banyak kerugian keuangan negara yang bisa diselamatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar