Rabu, 15 November 2006

Andaikan Semua Bulan Ramadan



Tidak lama setelah bulan suci Ramadhan tahun lalu berlalu, seorang ustadz berkata “Alangkah indahnya dunia ini seandainya semua bulan ini Ramadhan”. Ia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya lamunan itu kemudian menjadi kenyataan. Semua umat muslim di dunia tentunya akan dipaksa untuk terus-menerus berlatih setiap hari menahan diri dari semua godaan nafsu duniawi. Mereka juga akan selalu dipicu untuk memperbanyak ibadah. Karena setiap ibadah yang dilakukannya dijanjikan akan mendapatkan nilai pahala yang dilipatgandakan hingga berpuluh bahkan beratus kali lipat.  Selain itu, praktek prostitusi dan penjualan minuman keras pun mungkin akan jauh berkurang.  Sementara itu, para artis yang sebelumnya sering memamerkan bagian-bagian tubuh sensualnya pun akan berubah penampilan menjadi wanita muslimah. Kondisi sebagaimana dilukiskan oleh ustadz tersebut mengantarkan kita pada suatu imajinasi dunia yang indah, yang penuh dengan berkah. Tetapi benarkah dunia ini akan menjadi indah bila semua bulan ini Ramadhan?

Satu hal yang tidak mungkin diragukan adalah bahwa pemahaman dan perspektif orang  tentang suatu keindahan mungkin berbeda. Ustadz sebagaimana telah saya sebut di atas melihat fenomena sosial di bulan Ramadhan dengan rasa bangga dan berharap fenomena tersebut akan terus berlanjut. Sementara itu, bukan tidak mungkin sebagian di antara kita justru melihatnya dengan rasa kecewa bahkan sinis dan tidak menghendaki hal itu terjadi lagi. Betapa mereka tidak kecewa ketika menyaksikan bahwa semua kebaikan dan penampilan islami yang diperlihatkan oleh banyak orang pada bulan Ramadhan tersebut ternyata hanya merupakan ritual ibadah yang bersifat sesaat. Semua kebaikan berakhir setelah Ramadhan berakhir. Pelacur akan kembali lagi  melacur, sama halnya dengan perampok akan kembali lagi merampok. Mereka tidak melacur, merampok dan melakukan perbuatan negatip lainnya pada bulan Ramadhan karena semata-mata untuk menghormati bulan suci Ramadhan, dan juga untuk membersihkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada bulan-bulan sebelumnya. Selepas Ramadhan, dengan mengenakan baju putih yang masih bersih, tentunya mereka akan dapat mulai menjalankan profesinya kembali dengan penuh percaya diri, tanpa diganggu oleh perasaan dosa yang membebani.  Pertanyaan yang tentunya mengusik kita adalah mungkinkah mereka akan berubah, sehingga dunia menjadi lebih indah, bila semua bulan ini Ramadhan?

Hal lain yang menarik pula untuk disimak adalah motivasi orang beribadah dan berbuat baik di bulan Ramadhan. Sulit untuk tidak mempercayai bahwa banyak orang beribadah dan berbuat kebajikan di bulan Ramadhan semata-mata karena mereka tergiur dengan janji pahala yang akan dilipatgandakan. Dengan memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan mereka sangat meyakini bahwa itu akan mengantar mereka menjadi penghuni surga, sekaligus terhindar dari siksaan api neraka. Dengan kata lain, motivasi mereka memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan adalah terutama didasarkan pada ego, yakni keinginan mereka untuk selamat di hari akhirat. Sayangnya, dibalik semua ibadah yang mereka lakukan tersebut kepentingan individual lebih mengemuka daripada kepentingan sosial. Ibadah shalat dan puasa yang mereka lakukan dengan tekun di bulan Ramadhan pun hanya sebatas untuk melaksanakan syariat simbolik, yang diyakininya akan mampu mendekatkannya dengan Sang Khalik (hablun min Allah). Ibadahnya tidak mampu menggugah hati dan kemauannya untuk bersilaturahmi dan berbagi kebaikan kepada dunia, kepada sesama manusia (hablun min annas).  Dengan kata lain, ibadah yang mereka lakukan di bulan Ramadhan sama sekali bukan dalam konteks untuk mengubah dunia ini menjadi surga bagi semua umat manusia (rahmatan lil alamin).  Lalu, siapa yang akan mengatakan bahwa ibadah yang dilandasi oleh motivasi untuk mendapatkan pahala yang berlipatganda dan hanya untuk memenuhi kepentingan individualnya akan membuat dunia kita ini menjadi indah?

Sebagaimana kita saksikan bersama dan telah sering disajikan di berbagai media massa, fenomena bulan Ramadhan juga ditandai dengan meningkatnya penawaran dan permintaan barang dan jasa, dengan sejumlah dampak buruk yang seringkali kita perhatikan hanya dengan sebelah mata. Sebenarnya merupakan hal yang sangat ironis bahwa pada bulan dimana kita sedang menjalankan ibadah puasa, yang intinya merupakan latihan pengendalian diri dari setiap godaan nafsu duniawi, kegiatan belanja dan pola konsumsi kita justru mengalami peningkatan secara cukup signifikan. Untuk mengamankan agar ibadah puasa kita tamat selama sebulan penuh, kita menyediakan aneka makanan bergizi tinggi di rumah dan menyantapnya di malam hari dalam jumlah yang berlimpah. Belum lagi ditambah sekian kali kita menikmati undangan acara Buka Bersama dari seorang teman, keluarga dan mitra kerja. Alhasil, selama bulan Ramadhan perut kita bukan diuji melainkan dimanjakan. Akibatnya, kita lupa belajar bagaimana si miskin menahan lapar.  

Bukan hanya lupa belajar menahan lapar, kita pun lupa belajar menahan godaan iklan tivi di malam hari. Seringkali tidak kita  sadari bahwa berbagai iming-iming hadiah yang  disajikan dalam kemasan acara Ramadhan di berbagai stasiun tivi di malam hari tersebut sebenarnya merupakan salah satu bentuk komersialisasi Ramadhan yang tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan keuntungan. Komersialisasi Ramadhan bukan hanya ada di berbagai acara tivi di malam hari. Ia juga hadir bersilaturahmi dengan kita melalui telepon seluler kita.  Dengan berbekal ilmu Ekonomi Pulsa model AFI (Akademi Fantasi Indosiar), ia tawarkan berbagai macam program SMS berhadiah yang beraroma judi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila selama bulan Ramadhan konsumsi pulsa kita biasanya menjadi jauh membengkak. Sekali lagi, di bulan suci Ramadhan kita telah gagal menahan diri dari godaan nafsu duniawi.
 
Barangkali godaan di bulan Ramadhan yang paling sulit kita hadapi adalah ketika kita  harus berbelanja menyiapkan semua keperluan untuk merayakan lebaran. Untuk merayakan lebaran kita menyediakan menu makanan yang terdiri dari ketupat, daging, telor dan ayam di meja makan sampai dengan aneka makanan dalam toples di meja tamu yang seringkali tak habis berminggu-minggu. Beberapa hari menjelang lebaran, kita juga punya tradisi berbelanja aneka baju baru (terutama baju dan asesori muslim) untuk semua anggota keluarga, walaupun di dalam lemari pakaian kita sebenarnya masih terdapat banyak persediaan aneka baju lama.  Dan yang paling sering membuat kepala kita pening adalah memikirkan bagaimana supaya kita mempunyai persediaan uang yang cukup untuk keperluan mudik lebaran. Walaupun tujuan mudik lebaran sebenarnya sangat mulia, yakni bersilaturahmi dengan orangtua dan sanak keluarga di kampung halaman, dalam praktek tidak jarang mudik lebaran menyimpang menjadi semacam ajang pameran kekayaan dan kemewahan.  Mudik lebaran juga terkesan telah menjadi kebiasaan yang dipaksakan.  Demi mudik lebaran, tabungan yang dengan susah payah dikumpulkan dari bulan ke bulan selama setahun tiba-tiba terkuras habis hanya dalam hitungan hari. Dan yang patut disayangkan bahwa semua pengorbanan untuk merayakan tradisi lebaran tersebut ternyata tidak mampu mengubah diri kita menjadi manusia baru dengan tingkat ketakwaan yang dapat dibanggakan.  Lalu, apakah pesta lebaran yang terkesan jor-joran dan gagal mendekatkan jiwa kita kepada Sang Pencipta tersebut akan membuat dunia kita ini menjadi lebih indah?

Tentu saja semua sisi gelap Ramadhan yang sengaja saya tampilkan dalam tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menutupi atau menyangkal adanya sisi terang Ramadhan.  Dalam tulisan ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa dunia kita ini tidak serta merta akan menjadi indah bila semua bulan ini Ramadhan.  Di bulan Ramadhan setan tidak berpuasa untuk menggoda kita, bahkan cenderung untuk melipatgandakan kegiatannya.  Ramadhan dan juga lebaran bisa menjadi sebuah ritual ibadah yang kering, bahkan mungkin destruktif sebagaimana telah saya tunjukkan dalam tulisan saya ini, bila kita yang notabene adalah khafilah Allah di dunia ini tidak dengan tekun menjaga dan mengarahkannya menjadi ibadah yang penuh rahmah, ibadah yang penuh berkah.  Namun tentu saja kita juga semestinya percaya bahwa upaya untuk mengubah dunia menjadi surga bagi semua umat manusia harus terus kita lakukan, apakah saat itu Ramadhan atau bukan.