Selasa, 11 April 2017

IPM dan Kutukan Bonus Demografi

IPM dan Kutukan Bonus Demografi
Agus Wibowo  ;   Pengelola Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis;
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 10 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

UNITED Nations Development Programme (UNDP, 2017) baru-baru ini merilis data yang mengkhawatirkan kita bersama. Menurut UNDP, peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia merosot tajam, dari peringkat 110 ke 113 dari 188 negara yang disurvei. Laporan UNDP sekaligus menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia tingkat menengah atau stagnan dari kategori tahun sebelumnya. Merosotnya IPM Indonesia mestinya segera ditanggapi serius oleh pemerintah. Perlu langkah-langkah strategis memulihkan posisi IPM Indonesia, apalagi menjelang masa panen bonus demografi. Jika hanya ditanggapi sebagai angin lalu, bahkan tidak diikuti langkah-langkah strategis, bukan tidak mungkin bonus demografi justru menjadi 'kutukan'.

Berdasarkan data yang dirilis Badan Kependudukan PBB (UNFPA, 2015), Indonesia bakal memanen puncak bonus demografi pada kurun waktu 2028-2035. UNFPA juga menyebut pada puncak bonus demografi itu akan tersedia lebih dari 65 juta tenaga kerja muda produktif usia 15-29 tahun. Jumlah terbesar bahkan sejak Indonesia merdeka. Bapenas (2014) juga menyebut bonus demografi ini merupakan karunia yang tak ternilai. Itu jika pemerintah mampu mengelolanya dengan baik, terutama melalui investasi pendidikan yang efektif. Pemerintah akan menuai keuntungan dari berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, sosial, dan tentu saja SDM-nya. Produktivitas negara dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat dengan limpahan SDM yang terserap di berbagai sektor, terutama ekonomi kreatif. Sementara itu, kesejahteraan masyarakat pun membaik sebagai akibat melimpahnya penduduk usia kerja.

Bonus demografi, tulis Mason (2015), akan menjadi berkah jika pemerintah Indonesia sigap dan cakap mengelola investasi pendidikan anak bangsa. Tentu saja pendidikan yang berkualitas, merata, dan terjangkau oleh segenap anak bangsa tanpa terkecuali. Tidak ada jurang antara si kaya dan si miskin; semua mendapat kesetaraan dalam mengakses pendidikan. Kesempatan yang terbuka lebar serta pendidikan berbasis forward looking ini, simpul Mason, akan menghasilkan SDM Indonesia yang terampil, kompeten, berkualitas, dan mampu menyiasati peluang dengan baik. Sebaliknya, jika pemerintah setengah hati mempersiapkan investasi pendidikan, menurut Mason, akan terjadi musibah bahkan kutukan dari bonus demografi itu. Akan melimpah SDM di Indonesia yang rendah kompetensi dan tidak mampu menyiasati peluang yang ada. Mereka akan menambah jumlah angka pengangguran, yang tidak urung menimbulkan problem sosial pelik dan rumit.

Jurang kesenjangan

Apakah rekomendasi Mason itu dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah sebagai stakeholder pendidikan? Tampaknya belum. Data yang dirilis badan pendidikan PBB UNICEF (2015) menyebutkan hampir setengah dari anggaran pendidikan di Indonesia hanya dinikmati sekitar 10% penduduk. Hal itu berarti kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di Indonesia sangat sedikit. UNICEF juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Sekitar 20% murid yang kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas sumber daya jika dibandingkan dengan 20% mereka yang miskin. Bahkan, anak laki-laki kaya lebih sering mendapat akses pendidikan lebih ketimbang lawan jenisnya. Itu merata terjadi tidak hanya di perdesaan, tetapi juga di perkotaan. Temuan UNICEF semakin diperkuat dengan data yang dirilis Bank Dunia setahun lalu. Bank Dunia mencatat ketimpangan pendidikan di Indonesia ini dipicu rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pendidikan.

Ketimpangan pendidikan di Indonesia, tulis Bank Dunia, bahkan setara dengan Uganda, Ethiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa lainnya. Menguatkan temuan Digdowiseiso (2009), ketimpangan pendidikan di Indonesia menurut Bank Dunia juga bertalian erat dengan ketimpangan ekonomi. Bank Dunia menyebut hanya 1% rumah tangga (sekitar 2,5 juta orang) menguasai lebih dari 50,3% kekayaan Indonesia. Jika asumsi kisaran diperlebar, 10% orang menguasai 70% kekayaan bumi Indonesia. Ketimpangan di bidang ekonomi dan pendidikan ini jauh di bawah Rusia (1:66,2%), bahkan Thailand yang hanya 1:50,5% kekayaan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) setahun lalu merilis data sebanyak 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses pendidikan. Mereka tidak mendapatkan kemudahan akses pendidikan bukan hanya karena kemiskinan, tetapi juga faktor tinggal di daerah yang secara geografis sulit atau terpaksa bekerja. Selain itu, jika angka partisipasi murni (APM) berdasarkan provinsi 2016, di DKI Jakarta saja hanya 68% (Kemendikbud 2016), bagaimana dengan daerah lainnya? Di negeri ini, tulis Agus Wibowo (2015), orang miskin dalam konteks tertentu terus dipelihara. Mereka merupakan komuditas jualan yang laris bagi elite politik negeri ini. Orang miskin begitu diagung-agungkan, entah dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden (pilpres), pemilihan bupati/wali kota, maupun pemilihan lurah.

Akan tetapi, ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka. Di satu sisi, komersialisasi pendidikan semakin tak terbendung. Tidak hanya di jenjang perguruan tinggi, di level dasar dan menengah, pendidikan kita semakin mahal tak terjangkau. Jika investasi dana yang mahal itu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan, tentu tidak masalah. Yang terjadi justru masyarakat sudah mengeluarkan dana tidak sedikit, tetapi garansi kualitas pendidikan mengecewakan. Singkat kata, pendidikan kita lebih sering mahal tetapi murah kualitas. Turunnya IPM Indonesia, meski menurut pemerintah disebabkan banyak hal, yang nyata ialah pembatasan akses. Masyarakat miskin terbatasi akses, sedangkan di sisi lain komersialisasi pendidikan meningkat tajam. Ketika pendidikan sudah mengutamakan bisnis dan komersialisasi, roh pedagogis akan tergerus habis sehingga konsep membangun karakter semakin kabur. Bahkan, fondasi pembangun kualitas jati diri bangsa seperti hakikat kemanusiaan, akal budi, dan humanisasi tidak dilakukan secara afektif, tetapi sekadar kognitif. Fenomena demikian jelas akan membuat IPM semakin melorot dan bukan tidak mungkin terjun bebas.

Sinergi semua pihak

Guna memperbaiki bahkan meningkatkan IPM, sudah saatnya pemerintah melakukan beberapa strategi efektif. Salah satunya dengan membuka luas akses dan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa secara adil. Pemerataan pendidikan meliputi paling tidak pada persamaan kesempatan, aksesbilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana diatur dalam UU No 2/1989; UUD Pasal 30/1945. Aksesbilitas memberikan kesempatan semua anak bangsa memiliki akses pendidikan yang sama, pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan. Demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kawasan terpencil. Selama ini, disparitas struktur ekonomi sosial menyebabkan aksestabilitas yang tidak sama. Masyarakat daerah perkotaan bisa lebih mudah mengakses pendidikan ketimbang mereka yang berada di desa; lebih-lebih daerah kepulauan dan terpencil. Menurut Sairin Hasbulah (2017), IPM kita bisa didongkrak naik jika program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) efektif dilaksanakan.

Tingginya angka ketimpangan di Indonesia dapat berdampak pada nilai IPM yang lebih rendah. Singkatnya, semakin tinggi angka ketimpangan, semakin rendah nilai IPM dengan penyesuaian ketimpangan. Presiden Jokowi, kata Sairin Hasbulah, telah menekankan fokus pemerintah tahun ini ialah mengatasi ketimpangan. Ini sangat tepat dan menunjukkan keberpihakan pemerintah pada mereka yang lemah. Presiden Jokowi bahkan tidak ingin sekadar menaikkan indeks pembangunan manusia saja, tetapi juga memastikan bahwa setiap kenaikan IPM mampu menjangkau seluruh penduduk dan keluarga Indonesia benar-benar mengalami peningkatan kualitas dan merasakan manfaat pembangunan manusia. Program Indonesia Pintar melalui pendistribusian dan pemanfaatan kartu Indonesia pintar (KIP) merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk meningkatkan rata-rata lamanya sekolah dan menekan angka dropout. Program KIP akan efektif, tentu saja jika didukung dan terjadi sinergi segenap elemen bangsa. Pemerintah sebaiknya juga menambah jumlah anak yang mendapat bantuan KIP setelah mendapat kucuran dana tambahan dari pengalihan dana subsidi BBM dan efektivitas penggunaan pendapatan negara lainnya.

Sekali lagi, seberapa besar keefektifan PIP sangat bergantung pada kerja sama semua pihak. Untuk itu, sinergi pendataan di daerah mutlak dilakukan, seperti dinas sosial, dinas kesehatan dan dinas pendidikan dan kebudayan. Sementara itu, DPRD bisa melakukan pengawasan atas implementasi pendataan ataupun validitas data yang dihasilkan. Dengan demikian, kehadiran DPRD bisa dirasakan masyarakat, bukan hanya memanfaatkannya ketika hajatan demokrasi lima tahun saja. Akhirnya, kita tidak ingin bonus demografi yang sebentar lagi di panen menjadi kutukan bangsa ini. Sebuah kutukan yang SDM-nya melimpah ruah, tetapi mereka berkualitas rendah, bahkan tidak mampu bersaing. SDM demikian akan menambah angka pengangguran, yang tidak urung menimbulkan persoalan sosial baru dan rumit. Maka, mendesak bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah efektif mempersempit jurang kesenjangan serta membuka lebar akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Melalui strategi tersebut diharapkan, jurang kesenjangan pendidikan tidak membentang lebar. Ini menjadi penting mengingat dalam hitungan tahun bonus demografi akan segera dipanen bangsa ini.
Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar