Selasa, 11 April 2017

Belajar dari Risalah Sarang

Belajar dari Risalah Sarang
A Helmy Faishal Zaini  ;   Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                        KOMPAS, 10 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebanyak 99 ulama karismatik berkumpul dalam sebuah forum yang sangat istimewa, ”Silaturrahim Nasional Ulama Nusantara”, di Sarang, Rembang. Mengapa saya menyebutnya istimewa, setidaknya karena dua alasan. Pertama, berkumpulnya kiai karismatik ini praktis jarang kita temui pasca-era Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Zaman Gus Dur, kita mengenal istilah kiai khos yang dari merekalah ”isyarat langit” bisa kita peroleh. Kedua, jika kiai karismatik berkumpul, bisa dipastikan sedang ada masalah serius yang sedang dihadapi, terutama menyangkut bangsa ini.

Terlebih, sejarah mencatat bahwa dari rahim kiai-kiai karismatiklah konsep nasionalisme itu salah satunya dipahat. Sebagai contoh kecil adalah soal diktum hubbul warhan minal iman yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah.

Sejarah membuktikan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia memandang hubungan agama dan negara sudah terjembatani dengan baik dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila sebagai bentuk final. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) telah memutuskan hal ini lewat Muktamar XXVII tahun 1984. Keputusan menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final merupakan kelanjutan momentum bersejarah yang pernah diputuskan NU pada tahun 1936 saat Muktamar Banjarmasin yang menyatakan Indonesia merupakan darul Islam.

Nasionalisme atau rasa cinta tanah air umat Islam Indonesia, meminjam Said Aqil Siroj (2016), adalah nasionalisme yang lahir dari nurani yang paling dalam, bukan semata-mata kesadaran politik, melainkan lebih dari itu juga kesadaran ideologis dan bahkan mitis. NU sadar bahwa bernegara adalah salah satu wahana untuk mengejawantahkan nilai-nilai agama. Beragama yang baik tentu saja tidak cukup dengan ibadah ritual semata, tetapi juga ibadah sosial harus dijaga.

Tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bisa dijadikan pedoman untuk mengukur apakah penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh pemerintah selama ini telah sesuai dengan garis-garis yang dirumuskan para pendiri negara. Apakah negara sudah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia?
Apakah negara sudah memajukan kesejahteraan umum? Apakah negara sudah menunaikan kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah negara sudah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial?

Jika kita cermati lebih jauh, sungguhpun cita-cita para pendiri negara belum bisa sepenuhnya direalisasikan dengan baik. Pada kenyataannya, memang berbagai upaya terus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Kebijakan demi kebijakan terus dilakukan seiring dengan silih bergantinya pemerintahan, tetapi sejumlah persoalan serius nyatanya masih menghadang bangsa ini.

Sebut, misalnya, dalam bidang pembangunan dan ekonomi. Perekonomian yang terlalu berfokus pada pertumbuhan, tetapi kurang memperhitungkan secara matang aspek pemerataan, telah menimbulkan jurang kesenjangan yang luar biasa. Indeks rasio gini kita adalah 0,041. Ini persoalan yang sangat serius. Padahal, Islam mengajarkan, selain aspek pertumbuhan, aspek pemerataan itu merupakan hal yang esensial dan penting adanya.

Temuan terbaru menunjukkan laju kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia merupakan yang tercepat di kawasan Asia Tenggara. Empat orang terkaya (konglomerat) Indonesia melebihi kekayaan seratus juta penduduk Indonesia di struktur terbawah. Bahkan, ada satu perusahaan keluarga yang menguasai 3 juta hektar lahan.
Ini menandakan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah lebih kental bernuansa liberal-kapitalistik daripada melaksanakan kebijakan ekonomi konstitusi (amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33) sebagaimana mestinya.

Sementara itu korupsi masih merajalela di tengah-tengah negeri yang 28 juta-30 juta penduduknya masih menghadapi problem kemiskinan ini. Perilaku korup menjangkiti hampir semua elemen masyarakat dan struktur kenegaraan. Baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Belum lagi negeri ini sedang menghadapi darurat narkoba, maraknya paedofilia (kekerasan seksual terhadap anak), juga masalah perdagangan manusia dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender).

Di sisi lain, tren perkembangan politik global mengarah pada makin mengerasnya ide-ide konservatif yang tidak bersahabat terhadap penduduk imigran (Hadiz: 2017). Ini adalah perkembangan terakhir di tingkat global yang sangat mengkhawatirkan semua pihak. Dari setiap terjadinya pergantian kekuasaan negara, arus konservatisme terus menguat, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Perkembangan ini akan berujung pada kemungkinan terbukanya konflik antarnegara, yang cepat atau lambat akan berpengaruh pada negara kita.

Sementara perkembangan Islam di Timur Tengah terus bergerak ke arah yang tidak menggembirakan. Pandangan keagamaan yang kaku dan cenderung menyalahkan orang lain sudah menjadi komoditas yang dengan sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Timur Tengah, yang semula diharapkan menjadi kiblat percontohan dari pengejawantahan Islam rahmatan lil alamin, kini malah jadi semacam pabrik yang memproduksi ideologi Islam radikal yang anti pada kemajemukan (Ismail: 2017). Ideologi ini diekspor ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Kondisi terkini, di Indonesia sedang terjadi tarik-menarik dua kekuatan yang sedang berkembang. Satu paham didasarkan pada liberalisme, sementara di pihak lain sedang berkembang sebuah paham yang didasarkan pada semangat ortodoksi dan puritanisme yang disalahartikan.

Keterpanggilan ulama khos

Pelbagai situasi di atas adalah beberapa di antara persoalan-persoalan penting yang dibahas secara serius oleh ulama-ulama karismatik di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Lima poin yang dihasilkan dari pertemuan tersebut dibingkai dalam sebuah keputusan yang diberi tajuk ”Risalah Sarang”. Kerangka yang ingin dibangun oleh Risalah Sarang tersebut tampaknya adalah pentingnya kembali untuk berperilaku ”moderat”, toleran, demokratis, dan selalu mengedepankan akhlakul karimah (Tajuk Kompas, ”Kembali ke Jalur Moderat”, 21/3).

Kelimanya meliputi, pertama, NU mengajak segenap elemen bangsa untuk senantiasa menjaga negara dari berbagai kemungkinan yang mengancam dan memecah belah. Sikap moderat dan toleransi menjadi kata kunci yang harus terus dipelihara demi menjaga keutuhan bangsa.

Kedua, sulitnya bertemu dengan yang namanya keadilan adalah sumber utama dari pelbagai persoalan: ekonomi, hukum, dan tentu saja pendidikan. Jurang yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya, penegakan hukum yang masih beraroma tebang pilih, dan juga sulitnya akses pendidikan bagi kaum papa adalah persoalan serius menyangkut keadilan.

Kondisi yang demikian itu pada prinsipnya menyalahi apa yang sudah digariskan dalam jargon fikih: tasharraful imam ala raiyyah mauuthun bil mashlahah. Kebijakan pemimpin harus terutama didasari untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Ketiga, efek negatif dari revolusi komunikasi di era digital ini menyebabkan keresahan yang tidak remeh. Berita palsu, fitnah, dan juga ujaran kebencian menjadi persoalan sehari-hari yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Jurnalisme gosip yang tidak mengindahkan sama sekali kaidah jurnalisme menjadikan berita palsu dan fitnah begitu mengecambah bak cendawan di musim hujan.

Pada saat yang sama, minimnya literasi membuat bangsa kita terseok-seok di hadapan perubahan. Masyarakat menjadi mudah terpecah belah dan terpolarisasi hitam putih pro dan kontra di nyaris seluruh persoalan bangsa, termasuk dalam peristiwa pemilihan kepala daerah. Solusi yang harus dicoba adalah dengan meningkatkan edukasi agar kemampuan literasi bagi masyarakat meningkat. Ini penting dilakukan sebagai bentuk penyesuaian agar kita tidak tumbang digerus perkembangan dan perubahan zaman.

Keempat, pemimpin harus benar-benar menjadi pengayom masyarakat. Di dalam level masing-masing pemimpin harus bisa menjelma menjadi sosok yang ”ngemong’”, bukan sebaliknya menjadi sosok yang provokatif dan cenderung memasok bahan bakar kebencian kepada umatnya.
Kelima, perlunya dihelat pertemuan antarelemen bangsa untuk membahas serta mendudukkan segala persoalan yang sedang mendera. Pertemuan ini penting sebagai sarana untuk mencari solusi dan langkah-langka konkret dalam menghadapi persoalan kebangsaan.

Penting untuk dicatat bahwa kemampuan yang hilang dari mayoritas bangsa ini adalah kemampuan untuk mendengar. Belakangan, bangsa ini kelihatan lebih rewel dan banyak komentar. Sebaliknya, bangsa ini tampaknya hanya sedikit sekali mendengar. Dan, pada pertemuan antarelemen itu diandaikan tiap-tiap pihak belajar untuk mendengarkan, menghargai, untuk kemudian saling memahami.

Alhasil, Risalah Sarang adalah suara kiai-kiai sepuh yang berbicara dengan hati. Dan, senyatanyalah apa yang dihasilkan dari pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara yang kita cintai ini. Setali tiga uang dengan hal itu, hendaknya semua elemen bangsa lebih reflektif dan mengoreksi ke dalam dirinya masing-masing tanpa perlu saling menuding dan menyalahkan satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar