Senin, 13 Juni 2011

Lirik Lagu "Nyasaruddin"



Sejak 14 Juni 2011 lalu telah beredar video “Nyasaruddin” di dunia maya.  Nampaknya “Nyasaruddin” ini ingin melanjutkan tradisi penyampaian kritik sosial melalui sebuah lagu.   Sebelumnya kita telah mendengarkan lagu sejenis tentang Nurdin Halid dan juga Gayus Tambunan.

Kritik sosial melalui sebuah lagu ini bisa kita bandingkan dengan kritik-kritik sosial (dan politik) lainnya yang disampaikan melalui media lain seperti acara-acara Talk Show di TV atau berbagai tulisan di koran.  

Bagi saya, kritik lewat lagu ini lebih mudah dimengerti dan lebih nyaman dinikmati.  Ia juga mengingatkan saya pada tulisan M.A.W. Brouwer sekitar tiga dekade yang lalu, “Antara Senyum dan Menangis”.  Ya, mendengarkan lagu-lagu itu bisa membuat saya tersenyum dan sekaligus juga menangis.

Video lagu tersebut bisa disaksikan di http://www.youtube.com/watch?v=LlEei0aLNEk

Berikut lirik lagu “Nyasaruddin” selengkapnya.   
 




NYASARUDDIN


Aku lari dari kenyataan
     karena aku sudah ketahuan.
Ku tak mau dikambinghitamkan
     karena semua ikut merasakan.

Aku kabur ke luar negeri
     menghidari panggilan polisi.
Aku takut akan diadili
     karena aku pelaku korupsi.

Kujalankan semua arahan
     kuturuti perintah atasan.
Ambil uang jatah uang dalam
     yang jumlahnya sampai miliaran

Sekarang ku jadi buruan
     berita tv dan berita koran.
Semua pada menyudutkan
     diriku dijadikan korban

Sampai kapan diriku sembunyi
     kuinginkan adanya solusi.
Biar tahu aku tak sendiri
     yang nikmati hasil korupsi.

Sabtu, 11 Juni 2011

Tak Perlu Ditanggapi..Karena Itu Hanyalah Sampah


Beberapa waktu lalu kita telah mendapatkan sebuah pelajaran dari wacana politik yang sempat beberapa lama beredar di ruang publik.  Ketika dalam pidatonya di bandara Halim Perdanakusuma Presiden SBY secara serius menanggapi soal “SMS Fitnah” yang ditujukan kepada dirinya dan juga beberapa tokoh Partai Demokrat lainnya, banyak pengamat politik yang mengomentarinya sebagai sebuah komunikasi politik yang buruk. Menurut mereka, masyarakat tidaklah bodoh dan mudah percaya pada SMS-SMS sampah semacam itu. Selain itu, hal-hal yang sifatnya personal tersebut semestinya tidak perlu ditanggapi sendiri oleh presiden. Seharusnya peran tersebut diserahkan kepada juru bicara presiden atau staf ahli terkait.  Komunikasi politik yang buruk tersebut diyakini dapat memperburuk citra Presiden SBY di mata publik dan juga merugikan kepentingan politik Partai Demokrat pada pemilu 2014 mendatang.        

Komunikasi politik yang buruk nampaknya juga diperlihatkan oleh sejumlah kader Partai Golkar ketika menanggapi “gosip Mr. A” yang sengaja dilempar ke ruang publik oleh Wakil Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan untuk mengalihkan isu seputar Nazaruddin.  Sangat disayangkan mereka dengan mudah terpancing oleh isu murahan yang dilontarkan oleh Ramadhan Pohan.

Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari dua kejadian tersebut adalah bahwa, lagi-lagi, cara-cara kotor dalam berpolitik telah diperlihatkan oleh elite partai politik yang notabene merupakan partai-partai politik mitra koalisi dengan perolehan suara terbesar.  Apabila perseteruan tidak sehat antara Partai Demokrat dan Partai Golkar terus berlanjut hingga pemilu 2014 maka dalam hal ini, menurut saya, yang paling diuntungkan adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.  

Kedua, walaupun disebut sebagai komunikasi politik yang buruk, bantahan Presiden SBY dan juga pembelaan sejumlah kader Partai Golkar tersebut, menurut saya, merupakan suatu hal yang wajar dan sangat manusiawi. Bahkan dari sisi pendidikan politik hal tersebut dapat dipandang sebagai hal yang sangat positip karena secara tidak langsung telah memperlihatkan kepada masyarakat tentang adanya cara-cara berpolitik yang tidak sehat yang dilakukan oleh sebagain elite politik kita.     

Ketiga, saya kira masih terlalu pagi mengkaitkan antara komunikasi politik buruk yang dilakukan sebagian elite partai politik pada saat ini dengan dampak negatipnya terhadap hasil perolehan suara pada pemilu 2014 mendatang.  Masih banyak hal dan peristiwa politik yang akan terjadi, dan sebagian mungkin merupakan suatu kejutan, dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga pemilu 2014 nanti yang akan berpengaruh pada hasil perolehan suara.       

Keempat, meskipun berbagai tanggapan atau bantahan terhadap “SMS fitnah” dan “gosip Mr. A” tersebut dinilai oleh banyak pengamat politik sebagai sampah, tetapi satu hal yang harus diingat bahwa sampah-sampah (politik) tersebut telah membawa banyak keuntungan bagi media. Tak peduli apakah isi berita itu benar atau salah, tapi slogan “Bad News is Good News” masih berlaku. Barangkali yang perlu kita waspadai adalah jangan sampai sampah-sampah tersebut didaur-ulang secara tidak sehat, digandakan dalam kemasan menarik, dan lalu dijual atau dibagi-bagikan secara gratis kepada publik.

Saya kira publik perlu diingatkan (kembali) supaya tidak terjebak oleh berbagai iklan media dan tidak mengkonsumsi sampah-sampah daur-ulang yang dapat membahayakan hidupnya.    

Minggu, 05 Juni 2011

Ingin Seperti Nazaruddin


Aku ingin seperti Nazaruddin
     ngetop, dan dikenal banyak orang.
Tapi aku tidak mau ngetop
     karena dipergunjingkan orang.

Aku juga ingin seperti Nazaruddin
    punya blog yang ramai dikunjungi orang.
Tapi aku tidak mau punya blog
     yang diisi testimoni cuma sekali
     dan lalu ditutup lagi.

Sabtu, 04 Juni 2011

Survei Membuktikan… Hasil Survei Bisa Menyesatkan

Muhammad Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer

Beberapa waktu lalu Indo Barometer mengumumkan hasil surveinya yang dilaksanakan dalam rangka evaluasi 13 tahun reformasi dan 18 bulan pemerintahan SBY-Boediono. Kegiatan survei tersebut dilaksanakan mulai 25 April hingga 4 Mei 2011 di 33 provinsi di seluruh Indonesia dan melibatkan 1200 responden. Salah satu hasil survei yang sangat menarik, dan karenanya mengundang banyak tanggapan, adalah yang menyatakan bahwa kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik (40,9%) daripada kondisi saat ini di masa reformasi (22,8%) dan kondisi saat Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno (3,3%).

Hasil survei lainnya yang juga menarik adalah mengenai presiden yang paling disukai publik dan presiden yang paling berhasil menurut publik.  Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa Soeharto merupakan presiden yang paling disukai publik (36,5%), disusul oleh SBY (20,9), Soekarno (9,8%), Megawati (9,2%), Habibie (4,4%), dan Gus Dur (4,3%).  Selain itu, Soeharto juga dinilai oleh publik sebagai presiden yang paling berhasil (40,5%), kemudian disusul oleh SBY (21,9%), Soekarno (8,9%), Megawati (6,9), Habibie (2,0%), dan Gus Dur (1,8%).

Mereka yang tidak setuju dengan hasil survei tersebut, dan menganggap hasil survei tersebut bisa menyesatkan, sebagian besar mengkritik kelemahan metodologi survei yang tidak membatasi responden yang berusia di atas 50 tahun yang mengalami secara langsung periode Orde Baru dan juga Orde Lama. Bagaimana mungkin responden ditanya tentang kondisi Orde Lama atau Orde Baru kalau mereka sama sekali tidak pernah mengalaminya atau hanya mengalami sebentar saja?  Sebagian dari mereka bahkan secara sinis menuduhnya sebagai survei politik  pesanan yang biasanya baru tumbuh menjamur menjelang saat pemilu.  Apalagi tuduhan tersebut beberapa waktu lalu juga dikuatkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang pada saat berpidato di Sumatera Utara dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional menjadikan hasil survei tersebut sebagai jualan politik Partai Golkar.

Tulisan ini dirmaksudkan untuk meyakinkan pembaca bahwa hasil survei Indo Barometer tersebut bisa menyesatkan kita.  Apalagi kalau kita tidak pernah melihat sendiri data hasil survei tersebut.  Atau kalau kita telah melihatnya tetapi kita tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk membaca dan menafsirkan hasil survei tersebut dengan baik.  Data hasil survei selengkapnya dapat dilihat pada www.indobarometer.com.

Salah satu hal yang menarik dari hasil survei tersebut adalah banyaknya responden yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan.  Sebagai contoh, pada bagian survei yang menanyakan tentang Orde yang lebih baik di antara pilihan Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi, terdapat 22,1% responden yang menjawab Tidak Tahu/Tidak Menjawab.  Bahkan pada bagian survei yang menanyakan tentang apa yang dimaksud reformasi dan sejak kapan reformasi dimulai, jumlah responden yang menjawab Tidak Tahu/Tidak Menjawab masing-masing secara berturut-turut adalah 29,6% dan 47,8%.

Paling tidak terdapat dua kemungkinan mengapa responden menjawab demikian.   Pertama, responden tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang substansi dari pertanyaan yang diajukan. Kedua, responden menganggap pertanyaan yang diajukan membingungkan sehingga mereka lebih suka memilih Tidak Tahu/Tidak Menjawab. Tetapi apapun alasan responden, yang jelas dalam konteks survei ini, semakin banyak mereka yang menjawab Tidak Tahu/Tidak menjawab atas pertanyaan yang diajukan maka akan semakin berkurang nilai manfaat dari survei tersebut.   

Yang kita khawatirkan jika responden yang tidak tahu substansi dari pertanyaan, atau pertanyaan yang diajukan dianggap membingungkan, tapi memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan itulah sebabnya mengapa banyak orang mengkritik Indo Barometer karena telah membiarkan responden berusia muda yang tidak mengalami Orde Lama dan hanya sebentar mengalami Orde Baru turut serta menyampaikan pendapatnya tentang kondisi kedua Orde tersebut.  Sebenarnya tidak ada masalah, bahkan ada baiknya untuk keperluan analisis, responden berusia muda juga diminta menyampaikan pendapatnya tentang hal yang tidak mereka alami.  Yang menurut saya sangat aneh dalam hal ini adalah Indo Barometer ternyata tidak menyajikan data pilihan Orde berdasarkan Usia.  Padahal mereka bisa menyajikan data berdasarkan jenis kelamin, pendidikan,  pendapatan, dan lain-lainnya.  Dan saya kira lebih aneh lagi kalau Indo Barometer ternyata lupa tidak meminta responden untuk mengisi data usia.        

Ada lagi hal lain yang menarik dari survei tersebut, yakni terkait dengan pertanyaan tentang kondisi Indonesia saat ini dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu, di tahun 1998. Menurut survei, responden yang menjawab Jauh Lebih Baik 2,1%, Lebih Baik 28,9%, Sama Saja 27,2%, Lebih Buruk 24,8%, Jauh Lebih Buruk 3,4%, dan Tidak Tahu/Tidak Menjawab 13,6%. Berdasarkan data tersebut, dengan asumsi bahwa pendapat yang menyatakan Sama Saja tidak diperhitungkan, dapat disimpulkan bahwa menurut publik kondisi saat ini masih lebih baik (31%) dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu (28,2%). 

Namun sebenarnya selisih angka yang hanya terpaut tipis tersebut, termasuk pendapat yang menyatakan Sama Saja (27,2%), masih bisa diuji sejauhmana kebenarannya. Mereka yang mengalami sepenuhnya masa Orde Baru tentu tahu persis bahwa tahun 1998 adalah titik nadir terendah bagi pemerintahan Soeharto dimana kejayaan ekonomi yang telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu macan Asia tiba-tiba seperti istana pasir di pantai yang hanyut tersapu oleh gelombang ombak yang datang dari tengah lautan.  Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 1998 Indonesia telah mengalami krisis ekonomi yang sangat parah dimana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sangat tajam hingga -13% dan nilai mata uang rupiah turun drastis dari Rp 2.700 pada bulan Juni 1997 menjadi Rp 14.000 pada awal 1998.  Pada saat itu kita juga menyaksian antrian panjang sembako dan kerusuhan sosial terjadi di berbagai daerah.

Lalu, bagaimana mungkin kondisi saat ini dinyatakan dalam survei tersebut sebagai tidak jauh berbeda dari kondisi pada tahun 1998?  Bahkan ada sebagian responden yang mengatakan kondisi saat ini jauh lebih buruk dari kondisi pada tahun 1998.
Saya kira penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat kita adalah karena hasil survei tersebut bukanlah kebenaran fakta di lapangan melainkan persepsi kelompok masyarakat yang disurvei. Persepsi publik bisa saja keliru, tidak sesuai dengan fakta atau kejadian sebenarnya.  Sebagian besar pro-kontra mengenai hasil survei terjadi karena kita mencampuradukkan antara fakta atau kondisi obyektif di lapangan dengan persepsi publik.     

Di satu sisi, berbagai kegiatan survei memang seringkali menghasilkan temuan-temuan menarik yang bermanfaat bagi kehidupan kita.  Tetapi di sisi lain kita juga sering menemukan survei-survei yang hasilnya membingungkan dan bahkan dapat menyesatkan kita. Secara empiris kita bisa dengan mudah menemukan survei-survei politik menjelang pemilu yang bertujuan untuk mempengaruhi persepsi publik.  Kita juga menyaksikan hasil survei yang membingungkan pada tahun lalu, karena hasilnya saling bertolak-belakang, ketika terjadi polemik RUU Keistimewaan Yogyakarta. 

Dan sekarangpun saya dapat mempengaruhi persepsi publik (menyesatkan pembaca) jika berdasarkan hasil survei Indo Barometer tersebut saya simpulkan bahwa “Pendapat yang menyatakan bahwa kondisi Indonesia saat ini (2011) lebih baik dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu (1998) ternyata hanya minoritas (31%).  Mayoritas publik (69%) tidak setuju bahwa kondisi saat ini lebih baik dari kondisi 13 tahun lalu.”      




Jumat, 03 Juni 2011

Mengapa Membela Khadafy?

Ada beberapa alasan mengapa orang membela Khadafy.  Pertama, Khadafy dituduh telah memerintahkan tentaranya untuk menembaki para demonstran.  Sebenarnya kalau aksi demonya tertib, sama seperti yang banyak terjadi di Amerika dan Eropa (mirip seperti gaya perempuan cantik di ring tinju yang menandai setiap pergantian  ronde), tidak ada provokasi, dan yang lebih penting tidak bertujuan menggulingkan pemerintah Libya yang sah, Khadafy pasti tidak akan memerintahkan tentaranya untuk melaksanakan prosedur tetap (protap) untuk kondisi darurat.

Kedua, katanya Khadafy juga membantai banyak warga sipil di Libya yang tidak setuju dengan kepemimpinannya. Bahkan hingga kini pembantaian warga sipil di Libya oleh tentara pro Khadafy itu masih terus dilakukan. 

Mengenai hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Yang sebenarnya terjadi adalah pembunuhan terhadap warga sipil itu dilakukan karena warga sipil tersebut bersenjata dan terlibat dalam aksi pemberontakan melawan pemerintah Libya. Warga sipil itu telah berubah menjadi seorang milisi. Bukankah dalam perang itu kalau tidak membunuh, pasti akan dibunuh?  Pertanyaan lainnya yang tak kalah penting, terutama bagi negara yang sedang menghadapi aksi separatisme di negaranya, apakah dalam hal ini sikap NATO akan selalu berada dipihak pemberontak? 

Ketiga, hingga saat ini entah sudah berapa banyak bom yang dijatuhkan oleh pasukan NATO ke wilayah Libya. Serangan NATO bukan hanya menghancurkan pertahanan militer Khadafy, tetapi juga telah menyebabkan jatuhnya korban warga sipil yang hingga kini jumlahnya terus bertambah. Yang terjadi itu sebenarnya bukan perang, melainkan suatu pembantaian, karena pasukan Khadafy telah dibuat tak berkutik dan sama sekali tidak mampu membalas serangan tersebut.  Bukankah Tuhan telah mengajarkan kepada kita untuk selalu membela mereka yang berada di pihak yang lemah?

Serangan NATO tersebut jelas bukan untuk melindungi warga sipil, tetapi untuk menjatuhkan Khadafy dengan cara-cara kekerasan yang telah menyebabkan terbunuhnya banyak warga sipil di Libya. Yang mengherankan, tawaran perdamaian dari pihak Khadafy untuk menghentikan perang saudara di Libya dan segera menyiapkan pemilu dan sistem pemerintahan baru yang demokratis di Libya ternyata juga dianggap sebagai angin lalu. Benarkah perang, dan bukan perdamaian, merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan permasalahan di Libya? 

Terakhir, benarkah bantuan aksi militer bernilai sekian miliar dollar yang diberikan NATO kepada pihak oposisi di Libya sungguh tulus dan atas dasar kemanusian, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari pemerintah Libya pasca Khadafy?  Tentu kita semua berharap demikian. Walaupun harapan itu terusik oleh sebuah ungkapan di masyarakat Barat yang mengatakan bahwa “Tidak pernah ada makan siang yang gratis.”