Sabtu, 25 Februari 2012

Revitalisasi Pertambangan


Revitalisasi Pertambangan
Purbayu Budi Santosa, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Sumber : SUARA MERDEKA, 25 Februari 2012



MENTERI ESDM Jero Wacik menyatakan perusahaan tambang kelas kakap, antara lain Freeport dan Newmont, keduanya dari Amerika Serikat, bersedia melakukan negoisasi untuk mengubah kontrak. Dia berharap perusahaan pertambangan lainnya melakukan langkah serupa (SM, 21/ 02/ 12). Pernyataan itu terlihat cukup memberikan harapan dalam pengelolaan hasil tambang supaya lebih menguntungkan negara dan rakyat Indonesia.

Selama ini, posisi Indonesia dalam pengelolaan tambang atau sumber daya alam lain terlihat lemah dalam negoisasinya dengan pihak asing. Padahal bahan tambang itu milik kita  sehingga Indonesia seharusnya lebih berhak mengatur untuk kondisi yang lebih menguntungkan, bukannya  dipermainkan oleh pengusaha asing.

Sektor pertambangan banyak memberikan tambahan pendapatan yang nantinya menjadi anggaran belanja untuk berbagai daerah. Angka pengembalian dana ke daerah cukup besar, antara 15 dan 30% meski realisasinya kadang dikeluhkan karena kekurangtransparan perhitungannya.

Masyarakat mungkin mengira pemasukan negara terkait usaha pertambangan yang melibatkan perusahaan asing, sangat besar, padahal faktanya tidak. Misalnya, pemasukan dari Freeport untuk negara kita hanya sekitar Rp 20 triliun (Abhisam DM, 2011), kalah jauh dari cukai rokok yang berdasarkan data BI (2011) untuk penerimaan tahun 2002 saja bisa Rp 22,469 triliun, dan terus naik karena tahun 2011 mencapai Rp 62,759 triliun. Tahun ini penerimaan cukai rokok diplot sekitar Rp 72 triliun.

Melihat realitas pengelolaan aneka sumber daya tambang, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia ditipu pihak asing. Kenapa para pemimpin kita bisa ditipu. Ada apa sampai mereka menyetujui bagi hasil dalam kontrak itu? Padahal pemasukan dari Freeport tidak hanya dari emas, tetapi juga aneka tambang lainnya, termasuk uranium yang harganya sangat mahal.

Banyak Masalah

Usaha pertambangan di Indonesia sampai saat ini memicu beragam masalah, dari  pelanggaran hukum, konflik sosial, kerusakan lingkungan, hingga tindak kekerasan. Usaha pertambangan itu pun belum banyak memberi kesejahteraan nyata bagi masyarakat (Kompas, 20/02/12). Kasus berdarah di Pelabuhan Sape Bima NTB merupakan ekses sosial terkait usaha pertambangan.

Di Papua, masyarakat sekitar areal pertambangan justru disuguhi ketimpangan soal kemewahan. Bila mereka memprotes soal ketidakadilan, aparat kita yang membantu pengamanan di Freeport, menghadapinya dengan kekerasan. Dalam kasus itu, aparat mendapat dana khusus dari perusahaan Amerika tersebut.

Kasus kerusakan lingkungan pun hampir sebagian besar mengait usaha pertambangan. Sebuah stasiun televisi nasional pernah menayangkan liputan kota Samarinda yang kini makin sering dilanda banjir. Penambangan batu bara di Kalimantan Timur secara masif, yang meninggalkan lubang-lubang besar, tanpa perbaikan lingkungan yang memadai, memicu banjir di kota itu, terutama saat musim hujan.

Mungkin kita berpikir fungsi corporate social responsibility bagi masyarakat sekitar area pertambangan, tetapi praktiknya sering tidak dilakukan. Dana CSR diberikan kepada pihak lain dengan ekspose mencolok, supaya memberi kesan perusahaan pertambangan itu menjalankan fungsi sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, melakukan upaya pencitraan tetapi masyarakat sekitar pertambangan yang mestinya memperoleh manfaat sosial ekonomi, justru terlupakan.

Belum lagi, biaya pengelolaan usaha pertambangan terlalu sering tidak transparan. Unsur-unsur dalam cost recovery penuh aneka biaya siluman sehingga mengurangi pendapatan bersih. Pengaruh selanjutnya karena pendapatan bersih yang relatif kecil itu maka sumbangan ke negara kita pun menjadi kecil.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar