Sabtu, 31 Maret 2012

Nasib Polisi di Tengah Demo (173)



Nasib Polisi di Tengah Demo
Reza Indragiri Amriel, Dosen Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara
SUMBER : JAWA POS, 31 Maret 2012



DI tengah baku hantam antara polisi dan massa demonstran, sepucuk pesan singkat singgah di telepon genggam saya. Isinya cukup memilukan, sebuah syair yang konon ditulis polisi tentang kegundahannya kala harus berhadap-hadapan dengan demonstran, khususnya mahasiswa. Berikut syair itu (setelah disempurnakan ejaannya):

''Kalau kami boleh demo, kami lebih depan dari Anda, hai mahasiswa. Kalau kami boleh bicara, kami bicara lebih lantang dari Anda, wahai mahasiswa. Andai Anda tidak anarkistis, kami tidak akan berdiri tegap, namun berangkulan dengan Anda, wahai mahasiswa. Apakah kalian tidak paham bahwa kami juga merasakan pahitnya jika harga melambung tinggi? Kalian pikir keluarga kami makan peluru. Stop demo anarkistis, dukung kami menjaga aspirasi damai tanpa kekerasan.''

Ya, betapa tingginya risiko maut yang dihadapi polisi dalam kerja sehari-hari. Ketika manusia secara instingtif akan menjauh dari sumber bahaya, polisi justru dituntut melawan dorongan naluriah itu. Tidak berarti polisi tidak bisa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka. Tapi, sebagai tanggung jawab profesi, polisi justru harus mengedepankan rasionalitas guna menjinakkan sumber ancaman tersebut.

Tewas atau cacatnya personel polisi, bila diuangkan, sangat besar. Katakanlah, bagi setiap personel dengan masa kerja lima tahun, negara berinvestasi Rp 500 juta. Nominal persisnya tentu lebih dari itu. Dengan asumsi per tahun ada 20 personel yang tewas, kehilangan finansial yang terjadi bernilai sangat fantastis.

Peristiwa luka atau tewasnya personel polisi juga dapat berimbas ke para sejawat sekorps. Itulah yang disebut vicarious stress, yakni kondisi tertekan yang muncul setelah menyaksikan orang lain mengalami kejadian yang mengguncang. Stres karena insiden kritis itu merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat tidak normal (Mitchell, 2005). Vicarious traumatization tersebut, pada gilirannya, dapat memengaruhi kerja bila tidak dikelola secara memadai.

Salah satu gejalanya adalah kecemasan. Polisi yang tidak bisa bekerja karena sakit juga menimbulkan konsekuensi biaya susulan. Gejala lain adalah kewaspadaan yang berlebihan yang bisa memicu polisi untuk gampang menerapkan cara-cara kekerasan saat bertugas. Prosedur pengendalian situasi yang semestinya tahap demi tahap akan dipotong kompas karena terlalu mudahnya polisi menilai keadaan sudah sedemikian membahayakan, termasuk bagi diri sendiri. Juga, ketika melakukannya, mereka menghadapi risiko lagi: dihadang sidang kode etik, bahkan pidana.

Sebagai pertanyaan selipan, apakah kecemasan eksesif itu pula yang melanda para personel Polri yang tergabung dalam Densus 88? Secara spekulatif, bisa jadi demikian, berangkat dari fakta bahwa tidak seorang pun di antara lima terduga teroris di Bali yang ditangkap hidup-hidup oleh Densus 88. Padahal, lima orang itu baru sebatas terduga, bersenjata seadanya, dan dikepung pasukan Densus 88 dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap. Mungkin itu disebabkan adanya tempaan bahwa seluruh jajaran Densus 88 harus bersiaga tinggi menghadapi pelaku-pelaku kejahatan nomor wahid dengan kebahayaan kelas satu.

Evaluasi Komplet

Kembali ke masalah pengeroyokan personel Polri dalam demonstrasi, bagi saya, peristiwa tersebut dan kejadian-kejadian serupa lainnya tidak sepatutnya berimplikasi pada area penegakan hukum semata. Yakni, diikuti tindakan sebatas memburu demonstran yang telah menyerang secara membabi buta polisi-polisi tersebut.

Dalam skala lebih luas, insiden tewas maupun cedera parahnya personel polisi saat sedang melancarkan operasi polisional juga perlu ditindaklanjuti. Yakni, oleh unit semacam unit profesi dan pengamanan (propam) dan forensik serta, selanjutnya, unit sumber daya manusia (SDM) serta lembaga pendidikan dan pelatihan (lemdiklat) Polri. Asumsi dasarnya adalah, pertama, keterlibatan unit-unit tersebut -khususnya propam- bukan karena personel telah mengambil tindakan salah yang merugikan pihak lain, melainkan karena ada kemungkinan kecelakaan yang mereka alami berawal dari kesalahan pola kerja mereka sendiri.

Dalam insiden bentrokan yang juga menjadikan polisi sebagai bulan-bulanan massa demonstran anarkistis, misalnya, propam bekerja dengan melakukan investigasi terkait tahap-tahap kerja kedua polisi tersebut. Adakah pola yang kacau sehingga menciptakan celah rawan yang membahayakan keselamatan personel sendiri. Bagaimana pula kondisi fisik, psikis, serta perlengkapan mereka saat diterjunkan ke lapangan: cukup istirahat, di bawah pengaruh medikasi, peralatan memadai, dan lainnya.

Dari telaah itu, asumsi kedua berlaku. Yakni, evaluasi dalam skala luas diperlukan guna menutup celah-celah rawan yang berhasil ditelisik, sehingga kemungkinan terulangnya kejadian serupa bisa dicegah.

Hasil investigasi atas insiden pengeroyokan polisi di berbagai lokasi diolah dengan data-data insiden lainnya. Pola data yang ada kemudian dimanfaatkan lemdiklat dengan mengevaluasi kurikulum pada program pendidikan dan pelatihan personel. Dengan demikian, kesenjangan keterampilan kerja polisional sebelumnya, yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa personel polisi, bisa ditutupi oleh pembekalan dengan materi diklat terbarui berdasar temuan di lapangan.

Juga, unit SDM (psikologi dan kedokteran, khususnya) perlu turun tangan untuk menyikapi kondisi kognitif, emosional, dan fisik personel yang akan maupun baru saja berhadapan dengan insiden kritis (critical incident).

Menyadari pertaruhan besar antara hidup dan mati yang dialami kebanyakan personel polisi, beberapa negara maju telah memberlakukan asuransi jiwa yang memadai bagi para personel organisasi kepolisiannya. Bagaimana dengan Polri?

Ketika personel tewas atau cacat permanen dalam tugas, anggota keluarga mereka bisa ikut merana karena, antara lain, kehilangan penyangga nafkah. Atas dasar itu, patut dipertimbangkan untuk juga merealisasikan gagasan mengenai asuransi yang lebih memadai bagi para anggota Tribrata. Prioritas diberikan kepada personel yang tugasnya sangat dekat dengan potensi maut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar