Rabu, 26 September 2012

Menimbang Pilkada Tak Langsung


Menimbang Pilkada Tak Langsung
Karyudi Sutajah Putra  Tenaga Ahli Anggota DPR 
SUARA MERDEKA, 25 September 2012



BUKAN Nahdlatul Ulama (NU) bila tak berani menghadapi arus. Tahun 1983 ketika ormas-ormas Islam lain masih berpolemik, melalui Munas Alim Ulama di Situbondo Jatim dengan gagah berani NU tampil di garda terdepan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Setahun kemudian, dalam muktamar ke-27, juga di Situbondo, tidak malu-malu kembali ke Khitah 1926 untuk tidak berpolitik praktis. 

Kini, ketika rezim pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung didewa-dewakan, bahkan menjadi semacam mazhab demokrasi lokal, NU merekomendasikan pilkada dilaksanakan secara tidak langsung, yakni kembali oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat, sebagaimana diatur Pasal 56 dan Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005.

Melalui Munas Alim Ulama NU di Ponpes Kempek Cirebon Jabar akhir beberapa waktu lalu, NU ingin mengembalikan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke DPRD sebagaimana diatur UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 151 Tahun 2000. Seperti lazimnya, NU mendasarkan rekomendasi itu pada asas manfaat. Pilkada langsung dinilai lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat bagi umat (rakyat). Kemudaratan itu antara lain menghamburkan uang, mendidik rakyat menjadi pengemis dengan menjual hati nurani, rawan money politics, dan konflik horizontal, dan pemimpin yang dihasilkan pun bukan pemimpin terbaik melainkan terkaya. Dengan dipilih oleh DPRD maka money politics lebih mudah dikontrol.

Dari aspek fikih, rekomendasi NU ini masih bisa digugat, mengingat pengangkatan Khalifah Ali Bin Abu Thalib juga dilaksanakan secara langsung, yakni saat itu umat berkumpul di Masjid Nabawi untuk membaiat Ali sebagai khalifah. Namun secara faktual, apa yang direkomendasikan NU ini ada benarnya. Betapa tidak?

Betapa banyak konflik horizontal terjadi antarpendukung kandidat di sejumlah daerah, bahkan beberapa kantor KPU dibakar massa. Praktik politik uang seperti pembagian sembako, serangan fajar, dan sebagainya merebak di mana-mana. Itu belum ongkos politik seperti membuat baliho, membiayai lembaga survei, tim sukses, dan sebagainya. 
Maka bila seseorang hendak maju sebagai calon gubernur, bupati, atau walikota maka ia harus menyiapkan modal dalam jumlah besar, puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Akibatnya, ketika terpilih, yang muncul kali pertama dalam benaknya adalah bagaimana cara mengembalikan modal. Bila modal itu didapat dari cukong politik maka bagaimana caranya agar cukong itu mendapat proyek. Segala cara kemudian dihalalkan. Akibatnya, banyak kepada daerah terlibat korupsi.

Kemendagri mencatat, periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa korupsi. Tujuh puluh persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Bila di Indonesia terdapat 495 kabupaten/kota dan 33 provinsi maka jumlah 173 kepala daerah ini menunjukkan 1/3 daerah di Indonesia dikelola mereka yang bermasalah dengan hukum.

Pelibatan KPK

Di sisi lain, ada fenomena berkuasanya satu keluarga dalam suatu daerah, seperti di Banten karena mereka memiliki modal politik dan modal uang. Dari aspek demokratisasi dan keadilan, fenomena semacam ini tentu bisa digugat. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan  liberal seperti dianut negara-negara Barat, siapa yang kuat dia yang menang, homo homini lupus.

Money politics sepintas memang menguntungkan rakyat. Dengan menggadaikan hati nurani, tanpa bekerja, mereka bisa mendapat bingkisan sembako atau uang dalam jumlah puluhan hingga ratusan ribu rupiah dari kandidat. Tapi dalam jangka panjang, rakyat akan merugi, karena kandidat yang terpilih kebanyakan tidak lagi memikirkan rakyat, sebab mereka merasa telah membeli suara rakyat. Tentu ini bertentangan dengan adagium demokrasi vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Bagaimana bila kepala daerah dipilih DPRD? Sepintas memang anggota DPRD dapat diuntungkan dengan jumlah cukup fantastis, puluhan hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah, karena mereka bisa melakukan politik transaksional atau dagang sapi. Tetapi, kontrol terhadap anggota DPRD yang jumlahnya terbatas itu lebih mudah dilakukan daripada mengontrol politik uang yang dibagi-bagikan kepada rakyat. 

Penulis berpendapat, bila nanti pilkada benar-benar hendak dikembalikan ke DPRD maka ada baiknya KPK dilibatkan untuk mengawasi gerak-gerik anggota DPRD dan menyadap telepon mereka. Sejumlah pendapat juga menyatakan, pilkada tak langsung lebih sesuai dengan amanat sila ke-4 Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Kini, bola telah ditendang NU. 

Akankah pemerintah dan DPR, yang memiliki hak  menyusun undang-undang menangkap bola tersebut? Saat ini pemerintah dan DPR justru sedang sibuk berwacana tentang pilkada langsung secara serentak di seluruh Indonesia. Ataukah bola itu akan menggelinding begitu saja? Penulis yakin, yang ditendang NU itu akan menjadi bola salju yang makin lama makin membesar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar