Rabu, 28 November 2012

Meneguhkan Wajah Islam Indonesia


Meneguhkan Wajah Islam Indonesia
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU 
SINDO, 28 November 2012


Mimpi indah tentang bangsa yang damai di negeri kita ternyata masih angan-angan. Kita jadi makin miris dengan kondisi negara kita saat ini yang masih begitu gampangnya didera kekerasan, termasuk kekerasan berlabel agama. 

Seolah-olah negeri kita ini merupakan lahan subur mekarnya kekerasan. Ini juga melayangkan paradoks tentang negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pembantaian massal, perusakan atas nama agama dan jihad yang salah kaprah rupanya telah melumuri wajah Indonesia kita. Merebaknya kasus-kasus kekerasan di Tanah Air menunjukkan masih keringnya rasa kebersamaan serta kian longgarnya ikatan kekeluargaan di antara sesama anak bangsa. 

Begitu pun masyarakat tampak sangat mudahnya bertikai dan bertindak keras atas nama agama. Di lingkungan internal umat Islam misalnya, perselisihan antarkelompok masih terus saja muncul. Ini sering meluap dalam bentuk kekerasan massa. Malah kelompok Islam tertentu sering memancing situasi untuk melakukan kekerasan. Apa yang sering dislogankan dengan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah, belum maksimal terwujud dalam tindakan nyata.

Euforia Keberagamaan 

Ketika reformasi meletus, segenap masyarakat meluapkan euforia terhadap perubahan. Namun, seiring berjalannya roda reformasi, kekerasan ternyata tak pernah surut. Malah semakin membengkak. Lagi-lagi, fakta ini membuat kita prihatin betapa kekerasan tetap bersemi dalam situasi yang sebenarnya akan membawa pada perubahan positif.Inilah yang lalu mendorong kebutuhan untuk menata ulang terhadap budaya dan keberagamaan kita. 

Di saat-saat fajar reformasi menyingsing itu pula,sebagian masyarakat muslim justru memunculkan wajah yang lain. Muncullah sejumlah “santri-santri kalap” yang mengedepankan sikap puritan bahkan radikal yang merasa benar sendiri. Kian berkembang pula pesantren-pesantren yang mengajarkan Islam secara formalistik dan skripturalistik. Organisasiorganisasi Islam “dadakan” juga bermunculan yang lebih mengedepankan rupa “jihad”.

Wajah Islam pun tampil dalam parasnya yang garang. Muncul pula kelompok-kelompok puritan, radikal dan teroris yang enggan dan bahkan menolak Pancasila. Hormat bendera pun diharamkan. Mereka dengan gampangnya menganggap yang berbau nasional sebagai bentuk thaghut. Bagi NU, selamanya Pancasila akan kita pertahankan. NU lahir sebagai perwujudan dari semangat kebangkitan nasional. 

Sebelum Indonesia merdeka, pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1936, NU telah memilih Indonesia sebagai negara bangsa atau dar al-salam, bukan sebagai negara Islam atau darul-islam. Menurut NU, yang paling tepat kita membentuk negara kebangsaan (nation-state), negara yang damai atau darus-salam. Semua satu umat, satu saudara. Dalam bahasa politiknya, satu nusa satu bangsa, kalau bahasa agamanya bersaudara. Dengan prinsip inilah kita bersama akan melawan segala bentuk kekerasan atas nama apa pun. 

Bentuk Final 

Indonesia menawarkan versi Islam yang pluralistik kepada dunia yang bertolak belakang dengan bentuk Islam yang “monolitik,” terutama yang datang dari Timur Tengah. Islam Indonesia adalah “pribumi” dan pluralistik, baik dalam ekspresi dan hubungannya dengan agama-agama lain. Inilah salah satu karakter menonjol dari Islam Indonesia, yaitu pluralitasnya. 

Islam di Indonesia bisa menjadi barometer untuk Islam di dunia saat ini. Islam Indonesia adalah Islam pribumi.Tidak ada bedanya antara Islam dan Indonesia. Sejarah masyarakat Islam menurut versi ini adalah sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia adalah sejarah Islam. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Islam. 

Kebudayaan Islam adalah kebudayaan Indonesia. Ini berbeda dengan kesadaran Islam formalistik yang menganggap Indonesia bukan Islam, jadi harus diislamisasi atau diubah menurut kultur mereka, misalnya dengan mengenakan jubah. Islam Indonesia yang berkarakter pluralis tersebut tampaknya belum memperoleh perhatian dunia. Perlu ada proses globalisasi terhadap paham pluralistik ini untuk menggantikan yang anti-pluralistik. 

Di sisi lain, pengalaman-pengalaman pluralistik Islam Indonesia bisa menjadi faktor utama demokratisasi, karena di situ ada prinsip saling menghormati, saling tidak menyerang dan prinsip saling belajar. Potensi besar Islam Indonesia adalah menciptakan civil society yang kuat. Dan kelompok masyarakat Indonesia seperti itu cukup kuat. Konsensus umat Islam bahwa Indonesia merupakan bentuk final dan merupakan konkretisasi ajaran Islam, tentunya tidak sekadar slogan belaka. 

Kita telah menerima demokrasi sebagai pilar bagi tegaknya kedamaian dan kenyamanan bangsa Indonesia. Demokrasi dan pluralisme menjadi simpul perekat kemajemukan dan keragaman bangsa kita. Keragaman bukanlah sebagai pembelah, melainkan sebagai pemersatu dalam konstruksi “Bhinneka Tunggal Ika”. Islam adalah manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut (agama kematian). 

Dalam nomenkaltur fikih disebut al-mashalih al-’ammah (kemaslahatan bersama). Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum. Sikap mental yang terpuji seperti kasih sayang dan kebersamaan antarumat manusia, perlu diiringi dengan penegakan hukum. Sifat manusia yang berpotensi merusak (ifsad fi alardhi wa safku-d-dima’) perlu dikendalikan. 

Di sini, Islam sudah tegas memberikan petunjuk yang tegas (dilalah alnash). Penolakan terhadap kekerasan merupakan pesan dan nilai-nilai Islami yang adiluhung. Hal ini juga berakar kuat dari petunjuk Alquran yang menyatakan bahwa pembunuhan tidak adil terhadap seorang manusia setara dengan pembunuhan seluruh umat manusia. 

Karena itu, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim, karena mereka adalah makhluk Tuhan. Membakar gereja sama dengan membakar masjid,karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Itulah pentingnya mengedepankan penataan mentalitas melalui penguatan ukhuwwah di antara anak bangsa. Ini merupakan upaya preventif (ihtiyath) lewat pembangunan spiritual dan mentalitas, di samping pembangunan material di negara kita. 

Sudah seharusnya pembangunan mental sekukuh hasrat dalam pembangunan material.Tanpa itu, tidak akan mungkin terwujud adanya equilibrium (tawazun wa al-i’tidal). Dalam menyikapi ini, kita harus senantiasa memegang teguh model keberagamaan moderat (ummatan wasathan) yang bermataairkan pada sikap tasamuh, i’tidal dan tawazun. Keprihatinan kita atas kondisi kekerasan sesungguhnya kepedulian kita terhadap kondisi bangsa ini. 

Tak ada jalan lain,kecuali kita semestinya menguatkan mentalitas bangsa kita. Pembentukan mentalitas dengan memperkukuh rasa kebersamaan dan persaudaraan tentu saja perlu ditopang melalui penegakan hukum secara maksimal. Kekerasan dalam bentuk apa pun, struktural maupun kultural harus segera dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar