Minggu, 30 Desember 2012

2012 Kala Laku Kunyuk


2012 Kala Laku Kunyuk
Tandi Skober ;  Budayawan dan Penasihat Indonesia Police Watch
MEDIA INDONESIA, 29 Desember 2012



SYARAT langitan itu, Senin (9/1/2012), mencuat dari meja marmer di ruang Istana Merdeka Jakarta. Meja marmer untuk penandatanganan naskah berita acara pelantikan pimpinan lembaga negara dan pejabat itu ambruk pecah saat Presiden Yudhoyono melantik anggota Wantimpres Albert Hasibuan. Adakah Yudhoyono terkesiap kamitenggeng ketika ritual ke negaraan berjalan tak elok? Tak jelas! Yang bisa dituturkan ada sinyal kewibawaan negara terpuruk di ruang tak berbentuk. Wong Cerbon bilang ini tanda negara pagerdoyong.

Hmm, Indonesia 2012 bisa jadi mirip cermin retak di sebuah ruang yang muram. Tidak ada cahaya kemilau yang menerobos masuk, kecuali suara risau, rintihan nan perih dan kegaduhan budaya tak berbentuk diam-diam merayap di dinding waktu. “Ling lang ling lung pan kendel pribadi,” papar Sunan Kalijaga, “Tanpa rewang pan ucek-ucekan, tetukaran pada dewe, tan adoh swaranipun.” Tertelikung bingung, sendiri membias bisu. Terpuruk di sudut pucat. Tetapi selalu saja ada konfl ik bermahkota amarah. Ada unjuk tarung di sebuah ruang tanpa cahaya ketika suara risau terasa semakin jauh.

Suara risau dari era lampau itu, cermin ling lang ling lung itu, meniwikrama dalam 2012! Tahun kala laku kunyuk (monyet). Tidak jelas mana yang layak disebut dalang dan mana pula yang terposisikan sebagai monyet. Tidak jelas, siapa yang menjadi sandal jepit dan siapa pula sundal terjepit. Mereka selalu mengenakan topeng yang tidak bisa terdefinisikan. Hampir sepanjang 2012, ada pembusukan kultural yang bersinergi liar tak bermoral pada event tertentu dalam pusaran perilaku tertentu pula.

Inilah luka kunyuk yang dilukis Sunan Kalijaga sebagai, `Pan gumrejeg padu tan enting, pan rebut kala menang, tan ana nirebut'. Konflik yang merumit di ujung pemberhalaan diri. Tidak bisa dihentikan! Mereka saling silang berseteru memperebutkan pepesan kosong disekap kutukan kultural yang menjalar hingga ke titik pusat eksistensi manusia. Mereka cuma seonggok hantu yang menjahit kekalahan dan kekerdilan di atas involusi kloset berbau busuk.

Jemari Ekalaya

Hantu di atas kloset Indonesia itu, bisa jadi, jadi-jadian bergenitika wanita seperti Miranda Swaray Goeltom, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Mindo Rosalina Manulang, Imas Diansari, Ni Luh Mariani, Engelina Pattiasina, dan entah siapa lagi. Di sini, ada pusaran syahwat air mata di sebuah ruang gelap Indonesiana. Tetenger air mata itu terlukis manis dalam diri Miranda saat diwawancarai TV swasta awal Februari 2012. Bergaun merah, bergincu merah, berambut merah, beranting-anting mirip pelor berwarna putih seakan-akan kabarkan bahwa profesor pun ternyata manusia merah putih yang terbiasa berbahasa syahwati.

Tersebab syahwat korup, elektabilitas Partai Demokrat merosot hingga ke titik prihatin. Meski pada Pemilu 2009 meraih 21%, toh Juni 2012 berdasar riset yang dilakukan LSI turun hingga di bawah 13,1%. Itu disebabkan kasus Wisma Atlet dan Hamba lang yang tak kunjung tuntas. Ruhut Sitompul meminta Anas Urbaningrum mundur dan Ruhut-lah yang dimundurkan Anas menyusul mundurnya Andi Alifi an Mallarangeng dari jabatan menpora.

Hmm, Ruhut ternyata cuma pencabut rambut putih SBY. Seperti juga Andi Mallarangeng, juga tak lebih dari itu. Sosok cendekia kritis yang gemerlap itu lebih memilih Istana, Cikeas, dan impian-impian sesaat yang menyesatkan. Ia membiarkan ‘jemari ekalaya’ diamputasi Parpol Demokrat dan Birokrasi Sembah Sungkem khas Cikeas. Ia ambruk! Hingga di titik didih paling pedih, Andi resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (7/12). KPK menetapkan Andi sebagai tersangka dalam kasus proyek pusat olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Langit di atas istana berpayung awan hitam. Mendung. Di istana rakyat, lihatlah kerap terjadi cerita mesum beraroma. Sebut saja, di bulan Kartini, April, 2012 bertebaran video panas mirip oknum anggota DPR RI, Dr Karoline Margeret Natasha. Adakah video mesum ini lebih wow ketimbang video Lady Gaga yang gagal manggung di Jakarta? Tak tahulah awak. Yang saya ketahui, ketika pria pencari perawan ini dilengserkan dari jabatan bupati, Aceng HM Fikri mempratunkan Ketua DPRD Garut (26/12).

Aceng bisa dilengserkan, tapi tidak bagi Wapres Boediono! Kenapa? “Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia patut diduga mengetahui persis proses pengucuran dana Bank Century yang merugikan keuangan negara tersebut,“ tutur Ketua KPK Abraham Samad. Meski begitu, Abraham tidak akan melakukan pemeriksaan kepada presiden dan wakil presiden karena merupakan warga negara istimewa.

Yang paling istimewa, tentu Susilo Bambang Yudhoyono! Pada 2 November 2012 kubaca berita SBY dianugerahi Honorary Knights Grand Cross of the Order of the Bath dari Ratu Inggris Elizabeth II. Haruskah saya bilang wow? Oh, tidak! Kenapa? Kumpul teks itu bermakna `Honor (bayaran) untuk seorang kesatria penjaga palang pintu sebuah kamar mandi pesanan'. Maklum, di teras kamar mandi terlihat CEO of BP Group Bob Dudley, dan Presiden BP di Asia Pasifik William Lin, Exxon, Chevron, Newmont, Caltex, IMF, World Bank, CGI, dan entah apa siapa lagi.

Pecahan Kaca

Indonesia 2012 mirip frasa buruk muka, cermin dibelah; dan 2013 adalah tahun pecah an kaca tempat politisi dan birokrat becermin diri. Rakyat cuma memiliki sebentuk tubuh yang kerap gagal aktualisasikan diri menjadi massa. Tak pelak, Indonesia 2012 seperti sebuah pesakitan di atas brankar bergerak menuju ruang bedah yang pucat. Untuk itu butuh idea yang ditautkan di belantara perumitan antarkepentingan. Sekat-sekat egosentrisme kudu dirubuhkan. Kudu ada tanda terukir dari kalender 2013 sebagai cahaya cinta.

Tapi `Waktu adalah siluman yang pandai menyamar', tulis Ahmad Nurullah. Adakah 2012 sarat dengan para siluman? Saya hanya bisa diam. Tahun 2012 adalah tahun clingakclinguk mirip kunyuk di atas ujung tiang bendera yang berkeringat. Rakyat duduk ngelemprak dengan tangan gemetar tuturkan suluk linglung. Rakyat selalu berjalan di atas pecahan kaca.

Rakyat pada titik ini mirip sebuah sajak. Seperti ditulis Heni Hendrayani, tiap kali lapar menjadi sang pelapor, `Maaf sayang, terpaksa aku rogoh saku celanamu, sebab tak ada beras untuk ditanak. Tak ada ongkos sekolah anak. Bah! Tak ada pula uang di sana. Bagaimana kalau aku gadaikan saja celanamu?'. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar