Kamis, 31 Januari 2013

Redenominasi Rupiah


Redenominasi Rupiah
Rizal Ramli ;  Mantan Menko Perekonomian 
SUARA KARYA, 30 Januari 2013



Tak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba saja dengan gagah berani Bank Indonesia (BI) dan pemerintah menyatakan akan memberlakukan kebijakan redenominasi rupiah. Dengan demikian, kelak diterbitkan mata uang rupiah baru dengan penghapusan angka tiga nol. Maka, mata uang Rp 1.000 saat ini akan diganti dengan Rp 1 mata uang baru.
BI dan pemerintah (selanjutnya BI) mengklaim kebijakan redenominasi sangat banyak manfaatnya dan tidak sama dengan "pemotongan uang" (sanering). Tetapi sayang, tidak dijelaskan bahwa kebijakan itu juga merupakan "paksaan inflasi" (force inflation) karena daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong akibat kenaikan harga setelah mata uang baru diterbitkan.
Biasanya, pemotongan uang atau sanering atau redenominasi dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi (hyper inflation) dan ekonomi sedang dalam krisis. Langkah itu terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi seperti banyak dilakukan negara di Amerika Latin, termasuk Indonesia pada 1966 ketika inflasi mencapai di atas 1.000 persen sehingga pemerintah terpaksa memotong uang dari Rp 1.000 uang lama menjadi Rp 1.000 uang baru.
Namun, saat ini ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, mengapa dilakukan redenominasi? Sulit dipahami, kalau tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru. Manfaatnya pun tidak jelas. Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini tertinggi di dunia (6-7 persen) dan berdampak mengurangi daya saing produk Indonesia.
Yang penting sebenarnya adalah stabilitas mata uang. Justru negara yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Contohnya, Jepang pada 1950-1970 yang berhasil tumbuh di atas 10 persen, atau China pada akhir 1980-an hingga 2010 juga berhasil tumbuh double digit. Kebijakan itu secara tidak langsung melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor mereka.
Negara-negara yang berhasil memacu ekonominya tumbuh tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya menolak tekanan internasional untuk memperkuat mata uangnya. China menolak mentah-mentah menaikkan nilai tukar yuan, kendati tiga Presiden Amerika Serikat sejak Clinton, Bush, hingga Obama datang ke Beijing untuk menekan Negeri Tirai Bambu. Sebaliknya, Jepang akhirnya menyerah dan setuju menaikkan nilai tukar yen sesuai dengan kesepakatan Plaza Accord di New York tahun 1986, setelah mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Eropa yang khawatir produknya kalah bersaing. Sejak itu, ekonomi Jepang berubah dari ekonomi tumbuh tinggi (di atas 10 persen) menjadi ekonomi tumbuh rendah (kurang dari 2 persen).
Negara-negara dengan pertumbuhan tinggi tidak perlu mengambil kebijakan redenominasi. Mata uang mereka otomatis akan menguat sendiri seiring dengan kemajuan ekonomi mereka. Seperti nilai tukar yen terhadap dolar Amerika (sekitar 350 yen/dolar AS) pada 1950 terus menguat menjadi sekitar 70 yen/dolar AS tahun 2010. Proses penguatan itu terjadi secara alamiah tanpa kebijakan pemotongan uang ala BI yang bersifat semu (artifisial) dan merugikan golongan menengah bawah.
Karena itu, BI segera menghentikan rencana kebijakan redenominasi yang tidak ada urgensinya, tidak bermanfaat, dan merugikan daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Kalau BI ngotot memaksakan redenominasi, akan timbul pertanyaan tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan pejabat BI dengan pemasok kertas baru (fine papers).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar