Kamis, 28 Februari 2013

Menghujat Pejabat


Menghujat Pejabat
Asep Sumaryana Kepala LP3AN dan Dosen Administrasi Negara FISIP-Unpad
REPUBLIKA, 26 Februari 2013


Bisa jadi apa yang dikemukakan Presiden SBY pada Rakernas Apkasi-Perhiptani di Jakarta 20 Februari lalu menjadi autokritik pada dirinya selain diarahkan kepada kepala daerah. Bagaimanapun kritik dan hujatan terhadap pejabat semakin deras mengalir. Bahkan, sejumlah pejabat yang bertahan dengan perilaku busuk akhirnya terjun bebas dan berhadapan dengan penegak hukum yang siap mengeksekusi kekeliruannya.

Pada era administration for public, pejabat bukanlah siapa-siapa kecuali sebagai pelayan. Sebagai public service, kepamongan justru perlu lebih menonjol ketimbang kepangrehan. Sebagai pesuruh, pejabat harus mampu melayani publik dan bahkan dicaci-maki publik bila ada perilaku yang tidak berkenan. Seperti, halnya perilaku Bupati Garut beberapa waktu lalu yang juga menular ke Ciamis dengan adanya desakan pemakzulan yang sama kendati dengan alasan berbeda.

Adrenalin Publik

Keberanian menghujat pejabat berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi yang dapat diakses publik. Di samping itu, munculnya UU No 14/2008 tentang Keterbukaan lnformasi Publik secara simultan memacu adrenalin publik sekaligus meminimalisasi privasi pejabatnya. Kedua kondisi ini menyebabkan sekecil apa pun perilaku pejabat yang tidak sesuai dengan kehendak publiknya dapat berdampak buruk atas karier yang bersangkutan.

Kendati privasinya semakin menyempit, minat untuk menjadi pejabat publik terus meningkat. Dalam banyak pemilu/pemilukada, kandidat yang tampil tidak pernah berkurang. Politik uang dan pedekate dengan sejumlah pihak yang strategis pun terus saja digalang. Tidak berlebihan jika dalam karier pun perilaku sesat sering mewarnai pula. Pedekate dengan sejumlah pejabat tinggi yang dapat mengangkatnya menjadi pejabat dilakukan pula. Bukan hanya uang yang disiapkan, melainkan servis lainnya yang mampu memuaskan petinggi tersebut agar kemudian memuaskan keinginan dirinya. Praktik ini bisa berujung pada upaya pengembalian uang yang pernah dikeluarkannya untuk membeli jabatan. 

Yang kemudian lupa bahwa adrenalin publik pun sudah semakin tinggi untuk mengkritisi bahkan menghujat. Dibantu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, perilaku buruk dapat direkam dengan cepat untuk kemudian disebarluaskan melalui media. Oleh sebab itu, pejabat tidak bisa lagi mengutamakan kepentingan dirinya dengan menghalalkan segala cara karena kehidupannya sudah berada di ruangan kaca yang transparan. Jika APBN ataupun APBD porsinya lebih besar belanja rutin, mungkin kondisi ini berkorelasi dengan rendahnya pelayanan publik. Bisa jadi, jiwa pangreh masih kental dalam diri elite republik ini. 

Dwiyanto (2002) menganggap, birokrat lebih menempatkan dirinya sebagai regulator ketimbang pelayan yang berdampak equity masih terpinggirkan. Dengan demikian, penentuan besaran anggaran bisa didasarkan kepentingan dirinya ketimbang kepentingan publiknya. Kurtz (1998) berpandangan, jika pelayanan didesain aktornya untuk diterapkan pada publiknya tanpa melibatkan pihak yang menjadi sasaran akan menimbulkan gap yang menyebabkan publik kecewa. Kekecewaan publik yang berkembang bisa jadi mengindikasikan Musrenbang gagal menjalankan fungsinya untuk merekam dan mengakomodasi kebutuhan publik. Dampaknya, kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah tidak sesuai dengan banyak kebutuhan publik. 

Mungkin saja, kapasitas dan kualitas pejabat dalam pelaksanaan tugas kalah cerdik dengan kelompok kepentingan yang bermain di dalamnya. Atau, lantaran pejabat sendiri sibuk dengan kepentingannya yang tidak boleh diganggu pihak lain. Ujungnya, kekritisan dan skeptisisme menjadi melemah dan bertukar dengan bargaining agar tidak saling mengganggu urusan dan kepentingannya.

Keasyikan pejabat dengan kepuasan dirinya perlu direformasi dengan lelang jabatan seperti yang dilakukan DKI. 

Mata rantai karier yang banyak diwarnai suap untuk memperoleh jabatan lebih tinggi dihancurkan dengan penonjolan kapasitas diri yang sanggup blusukan menemui publik untuk merekam kebutuhannya. Dengan demikian, setiap pejabat perlu memiliki visi yang jelas dalam menunaikan tugasnya. Kualitas pelayanan bisa semakin baik jika keberanian mewujudkan visi dan menegakkan nilai yang dimiliki pejabat. Demikian halnya keberanian menghalau semangat autisme yang hanya memikirkan diri dan kroninya.

Untuk itu menghujat pejabat justru tidak dirasakan jika pejabatnya memiliki keberanian seperti ini. Bahkan, pejabat seperti ini akan didukung publiknya untuk terus maju ke jenjang yang lebih tinggi guna menyelesaikan masalah publik, bangsa, dan negara yang sedang melanda. Jika tidak maka adrenalin publik justru berbalik menyerang pejabat daerah dan pusat, baik legislatif maupun eksekutif, untuk dimakzulkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar