Rabu, 29 Mei 2013

Pembiaran Intoleransi

Pembiaran Intoleransi
Hendardi ;  Ketua Setara Institute, Jakarta
SUARA KARYA, 28 Mei 2013


Prinsip toleransi yang paling elementer adalah menghargai perbedaan atas dasar apa pun. Kualitas toleransi menjadi makin meningkat ketika kita tidak hanya menghargai, tetapi juga rela menghormati perbedaan dan memperjuangkannya agar perbedaan itu tidak dikoyak oleh kehendak politik penyeragaman. Kebalikan sikap tersebut adalah intoleransi. Dalam soal agama, batin intoleransi sebenarnya melekat pada setiap orang beragama. Dengan cara ini, pemeluk agama memperoleh penebalan keyakinan dari apa yang diyakininya.

Pada derajat tertentu, intoleransi bahkan sering dipersamakan dengan diskriminasi. Persamaan ini karena bobot intoleransi terhadap perbedaan itu sudah melampaui batas yang bisa diterima nalar publik dan nalar hukum. Maka, selanjutnya seseorang akan mengekspresikan kehendaknya secara melawan hukum.

Pasal 2 ayat (2) Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan 1981 mendefinisikan intoleransi (dan diskriminasi) sebagai setiap pembedaan, pengabaian, larangan, atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan pada agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan.

Indonesia mutakhir, setidaknya dalam tujuh tahun terakhir menampilkan wajah toleransi yang buruk rupa. Artinya, intoleransi telah menggejala dan menjadi fenomena baru yang tumbuh di sekitar kita. Berbagai laporan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang diproduk oleh lembaga riset Indonesia maupun oleh lembaga-lembaga internasional, PBB, juga Pemerintah AS, semuanya menampilkan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak asasi manusia di Indonesia sedang mengalami ancaman serius.

Berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama, pembatasan pendirian rumah ibadah, kriminalisasi keyakinan, dan aneka bentuk pelanggaran lainnya, tidak bisa ditutupi dan disangkal. Meskipun perbedaan penyikapan justru terjadi di fora internasional, terkait pemberian penghargaan World Statesman Award untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun tetap saja penghargaan itu tidak bisa membalikkan fakta peristiwa yang terjadi di dalam negeri. Apalagi, terhadap peristiwa kekerasan atas nama agama dan diskriminasi lainnya, negara tidak cukup berbuat untuk mencegahnya, bahkan justru menjadi bagian dari aktor kekerasan itu melalui berbagai produk hukum diskriminatif (violence by judicial) dan tindakan pembiaran.

Membaca dinamika baru ini, negara sesungguhnya telah melakukan pelanggaran HAM, karena sebagai parties dalam perjanjian internasional melalui ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pemerintah RI berjanji untuk menjalankan kewajiban mempromosikan, menghormati, dan melindungi HAM, salah satunya hak untuk bebas beragama dan berkeyakinan.


Cara penegakan HAM adalah dengan mengembalikan tiga kewajiban generik negara tersebut dilaksanakan. Menegakkan HAM di tengah arus intoleransi ini, negara cukup melakukan dua hal: tidak menjadi bagian aktor yang melakukan kekerasan dan diskriminasi dan tidak membiarkan aktor-aktor kekerasan tersebut tidak tersentuh oleh hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar