Kamis, 30 Mei 2013

PKS dan Jebakan Sistem Kepartaian Predatory

PKS dan Jebakan Sistem Kepartaian Predatory
Arya Budi ;  Manajer Riset Pol-Tracking Institute
KORAN SINDO, 30 Mei 2013


Setelah drama Partai Demokrat (PD) soal sengkarut Hambalang yang menyeret orang-orang penting di partai, kini sengkarut PKS soal daging impor yang ”menutup” kasus Hambalang mempunyai tipologi serupa tapi beda. 

Pertama, kedua partai ini menjerat orang paling penting dalam struktur eksekutif partai (bendahara/mantan bendahara dan ketua umum/presiden). Kedua, orasi politik PD sebagai partai ”katakan tidak pada korupsi”, sejatinya sejajar dengan klaim PKS sebagai partai dakwah dan partai bersih. Namun, ada beberapa pembeda penting antara PD dan PKS. Faksionalisasi di PKS tidak sekuat di partai lain, apalagi kasus korupsi daging sapi justru menyebabkan faksionalisasi cenderung terkonsolidasi dalam logika partai sebagai organisasi kolektif. 

Faksionalisasi di PD yang kuat menyebabkan kasus kader adalah kasus individual, sementara bagi PKS, kasus kader cenderung disikapi sebagai kasus institusional. Pembeda kedua, PKS tidak mempunyai penunggalan kekuasaan secara terpusat dalam pengelolaan partai. Sekalipun otoritas strategis ada di Majelis Syuro, otoritas organisatoris dan taktis tersebar dalam nalar struktur kuasa organisasi partai. Hal ini yang menjelaskan kasus korupsi di PKS dihadapi oleh partai, bukan saja oleh individu walaupun kausalitas faksionalisasi PD menjelaskan perbedaan ini. 

PKS termasuk partai yang terkonsolidasi bukan karena figur, namun doktrin. Hal ini berbeda dengan partai-partai lain, seperti PDIP yang terkonsolidasi oleh Megawati, PD oleh SBY, dan Golkar oleh Aburizal Bakrie. Dalam struktur kekuasaan partai, biasanya faksionalisasi terkelola karena justru eksistensi orang kuat sehingga mampu mendamaikan atau juga memaksa faksi dan kader dalam satu suara. 

PKS adalah partai dengan relasi ikatan personal yang terinstitusionalisasi sebagai manifestasi doktrin. Padahal, secara organisatoris, PKS sebenarnya adalah partai dengan pendanaan internal yang kuat karena bekerjanya mekanisme voluntarisme anggota. Inilah yang disebut dengan kolektivisme-doktrin.

Model kolektivisme-doktrin seperti ini memang akan menciptakan kekuatan yang solid secara internal karena didukung oleh tiga nalar penting: persaudaraan (emotional ties), agama (doctrine internalization), dan kelembagaan (organizational discipline). Namun, ketika kolektivisme ini ditempatkan pada konteks penyikapan kasus korupsi, maka akan sangat rawan dalam perspektif publik. Itu karena akan menciptakan persepsi kasus PKS sebagai corporative crime, kejahatan korupsi yang terkonsolidasi secara institutisonal. 

Akhirnya model kolektivisme-doktrin yang ditunjukkan oleh partai akan bergeser pada perilaku ashabiyah atau sebuah sikap fanatik akibat identitas individual yang terkait secara institusional, dan ideologis. Prinsip kolektivitas di PKS merefleksikan apa yang dulu pernah dikatakan Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism, 1951) soal banalitas kejahatan (banality of evil) sebagai perilaku yang terjadi karena disiplin biroktarik organisasional dan kepercayaan pada tujuan akhir ”perjuangan”. 

Kolektivitas partai sebagai organisasi dalam konteks ini menjadi tidak relevan, karena kolektivitas menciptakan perilaku defensif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah persepsi publik atas kasus korupsi partai dan dukungan yang kuat terhadap KPK. Kejahatan korporatif yang diorganisasipartai— sebagaimana laporan Tempo edisi 20-26 Mei 2013—mempunyai nalar ”benar” secara internal (kelompok dan organisasi), namun ”salah” secara eksternal (hukum negara dan publik). 

Hal ini sama seperti gerakan teroris yang melakukan perampokan dan penjarahan untuk mendanai senjata dan peranti penghancur lainnya guna melancarkan aksi dalam logika berjuang di jalan Tuhan. Namun, sekali lagi, publik dan logika negara jelas mengatakan hal ini adalah kriminal. Kekuatan organisatoris partai akhirnya justru menyeret kasus yang awalnya personal menjadi institusional. 

Kondisi ini menjadi sangat rawan karena akan menciptakan persepsi ”partai koruptif” daripada jika kasus korupsi dilokalisasi sebagai kasus individual. Sebagai misal, kontribusi doktrin kepartaian soal syiqah qiyadah bahwa pemimpin jamaah (kelompok) adalah orang paling suci. Hasilnya, bagi kader partai penangkapan petinggi dan pemanggilan orang-orang kuat partai adalah bentuk kriminalisasi. Tidak terjadi verifikasi dan koreksi internal terhadap perilaku ruling elitedalam partai 

Jika kita menengok sengkarut korupsi di tiga partai terakhir— Demokrat, Golkar, dan PKS—kasus partai meledak di mediamassakarenasemuakasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazarrudin (bendahara umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (bendahara umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaq (presiden dan mantan bendahara umum PKS). Uang menjadi modal penting, bahkan di atas ideologi dan platform. 

Herbert Alexander dalam Financing Politics: Money, Elections and Political Reform (2003) menyebutkan bahwa uang penting bagi politik karena sifat konvertabilitasnya sehingga dapat dipertukarkan dan dipindahtangankan untuk kebutuhan elektoral. Uang dapat digunakan untuk membeli dan memfasilitasi apa pun: barang, keterampilan, jasa manusia, pengendalian arus informasi, dan keputusan politik. Akhirnya, kini kepemilikan uang bagi partai menjadi ukuran kekuatan politik, bahkan bagi partai dengan klaim partai paling ideologis sekalipun. 

Sejak lama, uang menjadi tracer element (elemen penjejak) tentang bagaimana kekuasaan dikelola, dan bagaimana agenagen politik bekerja sebagaimana lembaga kepartaian. Dana politik belum termasuk bentuk-bentuk penggunaan anggaran negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan populis-pragmatis secara sektoral di setiap pos kementerian, (pork barrel politics). Seperti dana hibah, bantuan sosial, atau dana ”segar” selayak bantuan langsung tunai (BLT) yang dialokasikan lebih besar dan direncanakan sebagai satu paket kebijakan setiap menjelang pemilu. 

Ringkasnya, kasus PD dan PKS menjelaskan bahwa sekuat apa pun partai mengklaim diri bersih atau tidak pada korupsi, partai terjebak pada sistem kepartaian predatory karena pendanaan partai bekerja melalui mekanisme personal melalui triangulasi transaksi parlemen istana-swasta. Golkar pun tak luput dari jebakan ini dengan pengungkapan kasus PON Riau yang menyeret orang penting dari kader Golkar, Gubernur Riau, dan juga ”menyentuh” bendahara partai. 

Namun, partai predator berbeda dengan predatory agent dalam nalar hayati kehidupan yang memberi keseimbangan melalui pengendalian populasi makhluk hidup dalam satu putaran rantai makanan. Mengacu pada Douglas North (1981), karakter predatory merujuk pada agensi/kelompok atas sebuah grup atau kelas yang berusaha memaksimalkan pendapatan (income) bagi kepentingan kelompok tersebut melalui ”pengisapan” dan ”pemerasan” negara dan konstituen. Partai menjadi agen-agen predator yang mengoperasikan mekanisme pemangsa anggaran negara melalui pos-pos penting yang dimiliki di masing-masing kementerian. 

Jebakan sistem kepartaian predatory seperti ini terjadi karena dua simpul krusial. Pertama, koalisi partai pendukung pemerintahan terbangun melalui kesepakatan jatah kursi kementerian yang diharapkan simetris dengan dukungan partai di parlemen, namun tanpa menegosiasikan ideologi apalagi platform. Kedua, tidak adanya mekanisme yuridis yang memaksa lembaga kepartaian melakukan transparansi dan akuntabilitas keuangan secara terbuka. UU Pemilu No8 Tahun 2012 hanya mengatur tiga hal: peserta pemilu, suara pemilu, dan kursi hasil pemilu. 

Kedua simpul ini mengakibatkan logika politik transaksional dan terbukanya ruang illegal budgeting. Akhirnya partai politik hanya bekerja pada dua ranah: ”kursi” dan ”gaji”, sementara itu partai minus pada ideologi, visi, dan aksi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar