Kamis, 27 Juni 2013

Sengketa Bisnis Telekomunikasi

Sengketa Bisnis Telekomunikasi
Nindyo Pramono ;    Guru Besar Hukum Bisnis Univesitas Gadjah Mada
SUARA KARYA, 26 Juni 2013


Pada pagelaran Indonesia Celluler Show (ICS) di Jakarta, 13 - 16 Juni 2013, Menteri Telekomunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring menyebutkan bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi nasional mencapai lebih dari 10 persen sehingga menjadikannya sebagai salah satu motor terpenting penggerak ekonomi. Industri telekomunikasi memang telah menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional dalam lebih dari satu dekade terakhir.

Sebuah survei yang dilakukan oleh International Telecommunication Union (ITU), misalnya, menyebutkan kalau peningkatan kapasitas broadband sebesar 10 persen dapat meningkatkan penerimaan domestik bruto (PDB) suatu negara sebesar 1,38 persen. Hal ini divalidasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi pada 2012 memberikan kontribusi sebesar 3,2 persen terhadap PDB nasional, suatu jumlah yang tentu tidak sedikit.

Ironisnya, para pelaku industri telekomunikasi belum mendapatkan dukungan dan perlindungan penuh dalam menjalankan kegiatan mereka. Seringkali regulasi yang dibuat justru menghalangi laju perkembangan, sehingga pada akhirnya para pelaku industri telekomunikasi harus berjuang sendiri untuk mempertahankan eksistensinya.

Satu contoh nyata adalah kasus yang sedang dihadapi PT Indosat dan anak perusahaannya PT Indosat Mega Media (IM2). Kerjasama keduanya, sebagaimana terungkap melalui media massa, terkait penggunaan Frekuensi 2,1 GHz yang dianggap menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun oleh pihak Kejaksaan Agung. Lucunya, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), selaku regulator industri telekomunikasi, justru mengatakan sebaliknya. Akhir tahun lalu, Kemenkominfo mengirimkan surat resmi kepada Kejagung dan menyatakan bahwa kerjasama kedua perusahaan itu tidak melanggar peraturan dan sudah sesuai dengan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Persoalan hukum yang muncul di sini adalah adanya indikasi konflik norma antara norma UU Tipikor, yaitu UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi dengan UU No 39 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi jo UU No 40 Tahun 2007 Tentang PT dan UU N 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Mengapa demikian, karena PT Indosat Tbk adalah PT yang tunduk pada UU PT sekaligus tunduk pada UU Pasar Modal, karena telah go public ke Bursa Pasar Modal. Demikian pula PT IM2 adalah PT yang merupakan entitas bisnis swasta yang tunduk pada UU PT dan tidak tunduk pada UU Pasar Modal karena tidak go public. Begitu keduanya menjalankan kegiatan bisnis telekomunikasi, maka mereka juga wajib tunduk pada UU Telekomunikasi.

Pertanyaan legal yang menggelitik, apakah PT Indosat Tbk dan PT IM2 dapat ditundukkan pada persoalan kerugian negara yang masuk dalam ranah korupsi karena menjalankan kegiatan bisnisnya?

Dalam pendekatan hukum bisnis (Hukum PT, Hukum Pasar Modal, Hukum Perjanjian dan hukum terkait lainnya), sesungguhnya langkah penegak hukum membawa kasus ini ke ranah korupsi, dapat dikatakan terlalu jauh, atau, seperti dipaksakan. Adagium hukum, Lex specialis derogate legi generali yang memberikan jalan keluar adanya konflik norma hukum antara Hukum PT, Hukum Pasar Modal dan Hukum telekomunikasi di satu pihak bersandingan dengan Hukum Tipikor, sepertinya tidak dianggap dalam proses penegakan hukum tersebut.

Sejauh ini, dalam melakukan kerjasama penggunaan frekuensi 2,1 GHz, baik Indosat dan IM2 sudah mendapatkan ijin dari Kemenkominfo sebagai regulator. Sehingga apabila diduga terjadi pelanggaran seharusnya penyelesaian dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang berlaku, yaitu masuk ke dalam ranah hukum perdata, termasuk hukum bisnis atau mungkin ranah hukum administrasi negara terkait dengan masalah perijinan kedua perusahaan tersebut.

Hukum sebagai satu kesatuan sistem, dalam penegakannya seharusnya tidak boleh terjadi konflik norma. Jikapun terjadi dalam prakteknya, doktrin hukum sudah memberikan solusi yang dapat digunakan hakim untuk memutuskannya. Doktrin tersebut salah satunya sebagaimana saya sebutkan di atas, yaitu Lex specialis legi gererali (Hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Hukum atau peraturan perundang-undangan di bidang Telekomunikasi dan UU PT, UU Pasar Modal jelas menempatkan posisi UU tersebut sebagai hukum khusus yang wajib diperlakukan dengan mengesampingkan hukum umum.

Menggunakan UU Tipikor sebagai primus act untuk menyelesaikan kasus bisnis seperti kasus Indosat ini jelas mengancam rasionalitas hukum, karena mengesampingkan UU lainnya yang wajib diperlakukan sebagai hukum khusus. Hal ini justru merupakan sebuah pengurangan fungsi penegakan hukum itu sendiri. Di dalam UU Tipikor mengatur bahwa sebuah pelanggaran dapat disebut sebagai korupsi apabila dinyatakan secara tegas dan jelas di dalam suatu UU tertentu.

Artinya jelas, apabila perjanjian antara Indosat dan IM2 tidak merupakan pelanggaran pidana berdasarkan UU Telekomunikasi maka penegakan hukum harus dijalankan sesuai dengan syarat dan prosedur menurut UU tersebut. Terlebih lagi kedua perusahaan itu berbentuk hukum PT, yang satu adalah PT go public (Tbk), dan lainnya adalah PT Tertutup. Dalam hukum bisnis di Indonesia, sekalipun PT IM2 adalah anak perusahaan PT Indosat Tbk, namun mereka adalah entitas hukum yang masing-masing mandiri. Dari sudut pendekatan hukum perdata dan hukum bisnis sah-sah saja kedua entitas hukum tersebut mengadakan perjanjian kerjasama.

Jika perjanjian tersebut "mungkin" melanggar UU telekomunikasi, adakah sanksi di dalam UU publik tersebut yang mengaturnya, misalnya terkait soal perizinan. Itu, dulu yang wajib diberlakukan dan ditegakkan. Namun, melihat dampak yang begitu besar dari kelanjutan kasus ini khususnya terhadap kepastian hukum, maka kita semua berharap kiranya kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan bijaksana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar