Jumat, 26 Juli 2013

Dari Kerobokan ke Tanjung Gusta

Dari Kerobokan ke Tanjung Gusta
Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
SUARA MERDEKA, 24 Juli 2013


KERUSUHAN di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta Medan Sumatera Utara dapat ’’menginspirasi’’ warga binaan di LP lain. Kementerian Hukum dan HAM perlu mewaspadainya, termasuk memprioritaskan pembenahan manajemen LP, sementara PP Nomor 99 Tahun 2012 tak layak dipertahankan.

Bila pemerintah benar-benar mau belajar dari rusuh di LP Kerobokan Denpasar Bali, napi Tanjung Gusta mungkin tidak akan pernah berontak atau membuat rusuh. Sayang, pemberontakan napi Kerobokan tahun lalu itu rupanya dimaknai Kemenkumham sebagai peristiwa biasa. Buktinya, tidak ada aksi terencana untuk membenahi kebobrokan manajemen lembaga pemasyarakatan. Semula, publik berasumsi bahwa sidak yang begitu sering dilakukan Wamenkumham Denny Indrayana ke LPdi berbagai daerah merupakan langkah awal dan bagian dari program pembenahan manajemen.

Ternyata, publik keliru. Dalam sidaknya, Denny lebih menyoroti perlakuan manajemen lembaga pemasyarakatan terhadap napi kasus korupsi dan kasus narkoba. Dia menutup mata atas kebobrokan yang begitu sering dikecam publik. Padahal, kebobrokan manajemen lembaga pemasyarakatan sudah diakui Kemenkumham sendiri. Pascarusuh di LP Kerobokan, Menkumham Amir Syamsuddin menyatakan bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas terjadi di mana-mana.

Menyangkut Perlakuan Kerusuhan di LP Kelas IIA Kerobokan terjadi pada Selasa malam, 21 Februari 2012. Bangunan kantor terbakar dan hampir semua arsip hangus. Rusuh itu memang dipicu perkelahian antarwarga binaan. Tetapi, muara persoalannya adalah diskriminasi perlakuan terhadap napi yang menimbulkan ketidaknyamanan karena jumlah warga binaan yang mencapai tiga kali lipat dari kapasitas.
Kerobokan didesain untuk menampung 361 napi. Saat kerusuhan terjadi, dihuni 1.238 warga binaan. Akar masalah di Tanjung Gusta pun sama, yakni ketidaknyamanan yang dirasakan warga binaan karena setiap harus hidup berimpitan. Maka, hanya karena aliran listrik padam dan kelangkaan air bersih, kekesalan mereka langsung berubah jadi amarah tak terkendali.

Kerobokan dan Tanjung Gusta pun dibakar. Aspirasi paling utama warga binaan adalah perlakukan mereka dengan adil dan manusiawi, jangan ada diskriminasi, dan berikan standar kenyamanan sebagai napi. Oleh karena kelebihan jumlah penghuni terjadi di banyak lembaga pemasyarakatan, Kemenkumham kini harus mewaspadai kemungkinan perlawanan serupa terjadi di tempat lain. Misalnya di LPKelas II A Pekanbaru. Kapasitas tempat itu hanya 361 napi tetapi sudah dihuni 1.238 warga binaan.

Sekali lagi, akar masalah atau risiko rusuh di lembaga pemasyarakatan adalah jumlah penghuni yang jauh melampui kapasitas tampung. Kelebihan jumlah penghuni menggoda sipir mempraktikan diskriminasi karena fasilitas standar bagi napi otomatis berkurang. Diskriminasi menyebabkan ketidaknyamanan, dan membuat komunitas napi terkotak-kotak.

Dari situasi yang demikian, terbangunlah risiko konflik antarwarga binaan. Begitu terjadi pertikaian antarkelompok napi, api pertikaian itu dengan cepat menjalar dan berubah menjadi kerusuhan. Seperti itulah kronologi rusuh di Tanjung Gusta dan Kerobokan.

Kerusuhan di Tanjung Gusta dikait-kaitkan dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Regulasi itu tidak layak dipertahankan. Pasal 34 regulasi itu mengatur tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi , Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat.

Semua ketentuan ini diberlakukan pada terpidana kasus korupsi, kasus narkoba, dan kasus terorisme. Tidak layak untuk dipertahankan karena PP 99 sangat mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak berwenang melaksanakan regulasi itu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktik ibarat barang dagangan. Ekstremnya, Anda ingin mendapat remisi? Berani bayar berapa? Model pertanyaan seperti ini sudah barang tentu hanya pantas dialamatkan kepada terpidana kasus korupsi dan narkoba. Asumsinya mereka masih kaya raya dengan pemilikan jumlah uang yang masih sangat besar.

Terpidana dua kasus itu berani bayar berapa saja untuk mendapatkan keringanan hukuman. Masih ingat heboh grasi untuk Meirika Franola alias Ola, terpidana mati kasus narkoba? Demikian geramnya sehingga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) waktu itu, Mahfud MD menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara. Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang.


Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi itu bisa sampai ke meja presiden? Artinya, selain bisa diperdagangkan, PP 99 pun bisa dijadikan alat untuk memeras. Maka, belajar dari kasus grasi untuk Ola, regulasi itu sebaiknya dibatalkan supaya tidak lagi terjadi ekses di kemudian hari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar