Rabu, 28 Agustus 2013

Mengendalikan Konsumerisme di Jakarta

Mengendalikan Konsumerisme di Jakarta
Djoko Susilo  ;    Mantan Anggota FPAN, Sekarang menjabat Duta Besar RI di Swiss
KORAN TEMPO, 27 Agustus 2013


Berita penataan sejumlah pasar di Jakarta dalam beberapa bulan belakangan ini diikuti dengan intensif oleh masyarakat Indonesia di mana saja, termasuk ekspatriat yang tinggal di luar negeri. Banyak yang semula bertaruh bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan gagal membereskan Pasar Minggu, Jatinegara, Pasar Gembrong, dan apalagi Pasar Tanah Abang, yang selama ini dikenal sudah dikuasai oleh para preman. Namun akhirnya banyak pihak menarik napas lega ketika setelah Lebaran para pedagang kaki lima tidak kembali menggelar lapaknya di jalanan. Tentu saja, hal ini harus diapresiasi dengan baik.

Namun, bagi saya, yang patut digarisbawahi bukan hanya keberhasilan Gubernur Jokowi, dibantu Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, menata pasar-pasar tradisional yang selama ini terkenal semrawut dengan para pedagang kaki limanya, tapi juga karena komitmennya untuk memajukan para pedagang kecil ini. Bahkan Jokowi berkali-kali dikutip mengatakan bahwa dia sering jalan-jalan ke mal atau supermarket, tapi belanjanya tetap ke pasar tradisional.

Jelas, ini suatu kebijaksanaan yang sangat berbeda dengan para pendahulunya atau sikap para kepala daerah lain yang menganggap mal atau supermarket sama saja dengan kemajuan sebuah kota. Karena adanya anggapan bahwa sebuah kota itu menjadi modern karena adanya mal, sekarang Kota Jakarta telah menjadi kota yang dikepung dengan hutan belantara mal. Di mana-mana masyarakat dengan mudah menemukan mal yang mengakibatkan kemacetan dan mendesak keberadaan pasar tradisional.

Pengelolaan mal selama ini ibarat tidak ada aturan yang mengendalikannya dari soal lokasi ataupun jam buka mal tersebut. Walhasil, Jakarta merupakan etalase masyarakat konsumtif Indonesia yang sangat mencolok.

Di Eropa Barat, pemerintah kota dengan ketat mengatur pertumbuhan mal, baik lokasi maupun jam operasi mal tersebut. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dilakukan penindakan tanpa pandang bulu, meski terhadap perusahaan milik konglomerat sekalipun. Selain itu, pemprov/pemkot memberi edukasi kepada publik untuk lebih memilih berbelanja barang yang segar dan cuma bisa didapat melalui farmer market yang biasanya buka hanya pada Jumat dan Sabtu.

Dalam usaha menjaga agar konglomerat pemilik mal dan jaringannya tidak mematikan pasar tradisional dan pengusaha UKM, pemerintah di Eropa Barat, termasuk di Swiss, mempunyai aturan ketat mengenai lokasi dan jam buka operasi mal. Pertama, mal harus didirikan di pinggiran kota, tidak boleh di tengah-tengah kota, karena akan menimbulkan kemacetan dan dampak buruk ekonomi lainnya. Misalnya di Bern, ibu kota Swiss, hanya terdapat dua buah mal, yakni Shoppyland di sebelah timur kota dan West Side Mall di sebelah barat kota.

Kedua, jam buka mal dan pasar modern hanya boleh dari Senin sampai Sabtu dengan jam buka pukul 09.00-18.00 atau khusus hari Kamis boleh sampai pukul 20.00. Pada hari Minggu, semua mal dan pasar modern dilarang buka. Yang boleh beroperasi hanya pasar tradisional, restoran, UKM, dan toko kelontong milik perorangan.

Ketiga, mal ataupun pasar modern harus berdiri di pinggiran kota, tidak boleh di tengah-tengah kota.
Di Swiss, kebijaksanaan ini punya dampak positif terhadap masyarakat yang punya nasionalisme kuat dalam hal urusan makan. Warga Swiss selalu memilih hasil produksi Swiss dibanding barang impor, karena yakin dari segi kualitas dan kesegaran produk bisa lebih dijamin meski harganya agak sedikit lebih mahal. Mereka juga punya sikap yang sangat tidak konsumtif, karena membeli hanya yang dibutuhkan. Ini tercermin dari kulkas di rumah warga Swiss yang rata-rata hanya sebesar kulkas di hotel.

Keberpihakan pemerintah kepada para petani di Eropa Barat dan Swiss khususnya juga sangat jelas dengan adanya subsidi produk pertanian. Jika kita memilih memberi subsidi BBM sampai ratusan triliun rupiah yang mayoritas dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat yang tinggal di perkotaan, maka di Eropa, mereka lebih memilih mensubsidi para petani. Atau dalam hal di Swiss, subsidi besar diberikan kepada petani dan peternak. Dua bidang ini sangat diproteksi habis-habisan sehingga, meski sudah menjadi negara industri maju, pertanian dan peternakannya maju pesat. Nestle hanya salah satu dari sekian perusahaan makanan papan atas di dunia.

Para petani pun diizinkan menjual langsung lewat koperasi, farmer market pada hari Jumat-Sabtu, atau melalui pasar tradisional. Hasilnya, para petani atau peternak bisa menjual produk segar mereka langsung ke konsumen dengan harga murah dan mencegah terjadinya kartel dan konglomerasi dalam bidang pangan. Efek negatifnya tentu ada, jaringan konglomerat supermarket seperti Carrefour di Swiss bangkrut, karena konsumen lebih memilih berbelanja di pasar tradisional dan ke farmers market. Di seluruh Swiss hanya ada dua jaringan supermarket, yakni Coop (koperasi) dan Migros, yang semuanya asli milik Swiss. Ada jaringan ketiga milik Jerman, yaitu Aldi, tetapi sangat sedikit dan tidak signifikan.

Kebijaksanaan pro-peternak dan petani di Swiss mempunyai dampak langsung dari produksi di bidang peternakan dan pertanian. Dengan jumlah penduduk sekitar 7,6 juta dan yang langsung berprofesi sebagai peternak atau petani hanya sekitar seperlimanya atau sekitar 1,5 juta, produktivitas mereka sangat luar biasa. Di seluruh Swiss saat ini tercatat terdapat hampir 9 juta ternak ayam, 1,6 juta sapi perah, 1,6 juta babi, 450 ribu domba, 90 ribu kambing, 65 ribu ekor kuda, dan lebih dari 100 ribu ekor kelinci.

Untuk produksi pangan, petani Swiss menghasilkan hampir 600 ribu ton gandum, 143 ribu ton jagung, 175 ribu ton barley, dan puluhan ribu ton kacang-kacangan. Dan lain-lain. Dalam urusan pangan, Swiss hanya mengimpor dalam jumlah signifikan, yaitu ikan, sekitar 50 ribu ton per tahun. Petani dan peternak sangat sejahtera dan ketahanan pangan nasional pun terjaga.

Tentu menata Jakarta yang sudah telanjur dijajah dan dikepung hutan belantara mal dan pasar modern tidak mudah. Setiap gubernur akan berpikir berulang kali karena akan berakibat konsekuensi sosial dan politik. Bagi para pendukung mal dan pasar modern di kalangan politikus maupun akademisi, tentu akan berargumentasi bahwa mengurangi jam buka pasar modern akan berakibat pada kurangnya pemakaian tenaga kerja, pendapatan pajak, dan sebagainya. 

Tapi jangan lupa, mengurangi jam buka mal dan pasar modern juga akan punya dampak positif yang lebih banyak: mengurangi tingkat kemacetan, mengendalikan pola hidup konsumtif, memberdayakan pasar tradisional serta pedagang kecil, hemat energi, dan masih banyak hal lainnya.

Sudah terlalu lama konglomerasi merajalela dan dibiarkan menggilas potensi ekonomi rakyat yang sesungguhnya berpilar pada koperasi, pertanian, dan usaha kecil, baik dalam bentuk UKM maupun pasar tradisional.

Saya yakin pasangan Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama akan berani dan sukses melaksanakannya jika didukung semua pihak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar