Rabu, 30 April 2014

Mendorong Perdamaian Israel-Palestina

Mendorong Perdamaian Israel-Palestina

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Kesepakatan tersebut dinyatakan kepada masyarakat umum pekan lalu setelah dua hari konferensi yang diselenggarakan bersama di Jalur Gaza. Beberapa hari sebelumnya memang sudah beredar kabar bahwa diplomat Fatah telah mengatakan kepada Hamas bahwa mereka tidak mau datang ke Jalur Gaza apabila Hamas tidak menerima kesepakatan rekonsiliasi. Kesepakatan antara Hamas dan Fatah menimbulkan dampak politik internasional yang besar terutama terkait dengan pembicaraan damai antara Palestina dan Israel.

Hamas bagi Israel, Amerika, dan Eropa dikategorikan sebagai sebuah organisasi teroris. Maklum, Hamas pernah menyatakan tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara. Karena itu pula Israel segera bereaksi dengan menyatakan mundur dari proses perundingan damai karena menuduh Fatah lebih mau berdamai dengan organisasi teroris ketimbang menjalani pembicaraan damai dengan Israel.

Sebenarnya kubu Fatah, yakni Mahmud Abbas, mencoba memberikan pernyataan yang menenangkan. Misalnya, pemerintahan bersama Hamas-Fatah tetap akan dikelola Fatah. Mereka tetap akan mengakui Israel sebagai sebuah negara dan menyatakan Holocaust adalah kejahatan kemanusiaan yang terburuk di dunia. Namun, tampaknya Israel dan sekutunya tetap tidak menyambut baik hasil kesepakatan damai antara Fatah dan Hamas.

Padahal dengan pernyataan yang dilontarkan Abbas sebetulnya ada sebuah pesan penting, yakni rekonsiliasi yang terjadi akan cenderung berdasarkan platform dan ideologi Fatah yang menolak penggunaan kekerasan, mengakui keberadaan Israel, dan mengutamakan caracara diplomatik untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di Palestina dan Israel.

Di sisi lain, rekonsiliasi ini juga menjadi tanda Hamas semakin tersudut akibat isolasi internasional dan salah perhitungan dalam melibatkan krisis yang terjadi di Timur Tengah khususnya di Suriah dan Mesir. Di sisi lain, Fatah juga perlu mengakui bahwa ”hilangnya” kelompok radikal dalam gerakan Palestina juga mengurangi daya gentar mereka dalam negosiasi dengan Israel. Itu sebabnya Israel dan AS justru kelihatan makin kaku.

Seperti telah diketahui bahwa Hamas adalah kekuatan politik di Palestina yang mendapat popularitas tinggi di Jalur Gaza. Popularitas yang tinggi itu antara lain disebabkan slogan kampanye yang radikal terhadap Israel ditambah dengan merosotnya popularitas kelompok Fatah akibat korupsi dan skandal politik lain. Hal itulah yang menyebabkan kemenangan Hamas dalam pemilihan umum di tahun 2006.

Hamas bergeming dengan ideologinya dan menolak mengakui Israel sehingga menyebabkan The Quartet (Israel, Amerika, PBB, dan Uni-Eropa) mengurangi dukungan secara politik dan keuangan terhadap Otoritas Palestina. Hal ini memuncak ketika Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza sehingga menyebabkan Palestina menjadi dua wilayah kekuasaan.

Kelompok Hamas di Jalur Gaza dan Kelompok Fatah di Tepi Barat. Walaupun Israel segera menutup erat komunikasi dan transportasi ke wilayah Gaza yang dikuasai Hamas, bantuan dari Mesir lewat terowongan bawah tanah masih diandalkan terutama ketika Muhammad Mursi yang menjabat sebagai presiden Mesir memberi dukungan penuh terhadap Hamas. Masalah mulai muncul ketika konflik di Suriah terjadi di tahun 2009.

Hamas melibatkan diri ke dalam konflik untuk menentang rezim Bashar al- Assad. Langkah ini menjadi tamparan politik yang keras bagi Suriah dan Iran yang sejak 2000 menerima dan melindungi para pemimpin Hamas yang menjadi target operasi Israel. Iran dan Suriah sebetulnya telah menjadi rumah perlawanan politik bagi pemimpin Hamas karena jauhnya mereka dari pengaruh dan tekanan politik Barat dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya.

Keputusan untuk berpisah secara politik dengan Suriah dan Iran juga tidak lepas dari bantuan Qatar yang menggantikan peran Suriah dan Iran. Namun, sayangnya, situasi politik di Timur Tengah bergerak begitu cepat dan di luar perhitungan politik banyak pihak. Kekuatan militer di Mesir menjatuhkan Mursi dan menyapu bersih kekuatan politik Moslem Brotherhood. Hal ini dilanjutkan dengan penghancuran saluran transportasi dan distribusi dari Mesir ke wilayah Gaza.

Di Suriah, Amerika dan kekuatan Barat lain ternyata urung memberikan bantuan militer terhadap kelompok pemberontak sehingga kekuatan Bashar al-Assad tetap kokoh hingga saat ini. Bantuan dari Qatar pun ternyata tidak sebesar yang diharapkan Hamas. Adnan Abu Amer dari Al Ummah University Open Education menyatakan bahwa bantuan Qatar terhadap Hamas kurang dari 10% bantuan yang pernah diberikan Suriah terhadap gerakan Hamas sejak tahun 2000 hingga 2011.

Qatar juga tidak memberikan bantuan militer dan uang tunai seperti yang diharapkan kecuali bantuan berupa proyek-proyek pembangunan. Qatar memang bukan aliansi Barat di Timur Tengah yang erat, tetapi mereka juga tidak ingin mengundang tekanan dari Barat. Faktor-faktor yang melemahkan Hamas, buntunya perundingan damai antara Otoritas Palestina pimpinan kelompok Fatah dengan Israel dan perubahan kekuatan politik di Timur Tengah adalah dasar yang mendukung terjadinya rekonsiliasi Hamas dan Fatah.

Ini adalah sebuah modal politik yang besar bagi masa depan Palestina, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintahan teknokratik yang akan segera dibentuk. Pihak AS melalui Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan bahwa AS tetap akan berupaya melanjutkan perundingan damai terlepas dari apa yang terjadi. Karena mereka memandang sudah banyak waktu yang dihabiskan untuk menjalankan perundingan.

Ini pekerjaan berat juga bagi AS karena John Kerry pernah sesumbar bahwa tahapan perjanjian damai Israel-Palestina akan mencapai titik terang pada 29 April2014. Kenyataannya justru jalan masih gelap. Bagi Indonesia, kerja sama Fatah dengan Hamas merupakan peluang diplomatik untuk mendesakkan konsistensi dari pihak Barat dan sekutu-sekutunya untuk serius menjalankan janji-janji yang pernah mereka sampaikan berupa pemajuan upaya perdamaian Israel- Palestina.

Kebuntuan dialog yang pernah ada mengenai masalah perbatasan, pengungsi, dan tahanan Palestina, bahkan status Yerusalem, seharusnya bisa dibuka lagi dalam suasana baru di Palestina. Harus diyakini bahwa Hamas yang dalam posisi terjepit karena gagal dengan rencana-rencana besarnya di Timur Tengah bisa diharapkan kerja samanya dalam menciptakan Palestina yang utuh dan lebih bisa diajak berdialog.

Setidaknya itulah taruhan yang disodorkan Mahmud Abbas. Justru semakin kaku pihak Barat, semakin lemah pula kredibilitas pihak Fatah sebagai Palestinian Authority karena sekarang pun mereka mulai merasa sekadar menjadi ”boneka” yang bisa diterima oleh Barat, tetapi sama sekali tidak bisa berkutik di hadapan peluang pemajuan agenda perdamaian bagi bangsanya. Kondisi seperti itu justru akan makin tidak menguntungkan untuk perdamaian Israel-Palestina.

Antre Melamar

Antre Melamar

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 30 April 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
Inilah realitas politik. Partai-partai menampilkan para tokohnya. Bagi yang tak punya tokoh internal, mereka tampilkan orang lain. Mungkin terutama asal membayar. Pantas tak pantas yang membayar dijagokan.

Dielus-elus untuk diturunkan ke gelanggang. Dan pada masa kampanye, mereka saling melirik, saling mencari kelemahan lawan. Kira-kira persis jago di dalam suatu ”kalangan”, yang sedang diadu oleh para botohnya. Dalam kalangan adu jago itu, yang bertarung, menurut Clifford Geertz, ketika mengamati adu jago di Bali, bukan hanya kedua ayam jantan yang diadu, melainkan para botoh, yaitu para pemilik jago tersebut.

Dari luar kalangan, para botoh berdebar-debar, adu kekuatan jantung. Ketika jagonya dipatuk musuh, sang botoh yang merasakan pedihnya paruh jago lawan. Ketika kepalanya dicakar dengan kuku-kuku tajam jago musuhnya, sang botoh lebih merasakan sakitnya. Dalam kecemasan, dan sambil mengurangi kecemasan itu, dia bersorak-sorak menggalakkan perlawanan jagonya. Sebenarnya dia bersorak-sorak untuk mengurangi kecemasannya sendiri.  

Dalam kampanye menjelang pemilihan legislatif yang baru lalu itu, barang siapa berteriakteriak terlalu keras, terlalu bersemangat, boleh jadi dia berteriak untuk menutup kecemasannya sendiri. Ketika dia menjadi jago lain, boleh jadi dia sedang menutupi kekerdilannya sendiri. Banyak pihak bersikap seperti itu. Berarti masing-masing pihak tadi kurang lebih sedang tak mampu berbuat lain untuk menunjukkan kelebihan dirinya.

Untuk memperoleh efek komunikasi bahwa dirinya lebih, baginya tak ada jalan lain kecuali menjelek-jelekkan jago lain. Apakah jago yang dijelek-jelekkan otomatis jelek, dan tak dipilih rakyat? Tidak. Yang dijelek-jelekkan tidak otomatis jelek. Kenyataan politik menunjukkan yang dijelek-jelekkan itu malah dipilih oleh lebih banyak pemilih. Dan ini menjengkelkan orang-orang yang itu.

Sudah dijelek-jelekkan dia tidak jelek. Seharusnya, sejak awal orangsudah tahu, untuk mengangkat nama baik dirinya, dan untuk membikin pengaruh positif di mata para pemilih, mereka melakukan apa yang simpati, apa yang santun, apa yang baik, yang dimiliki partainya, dan sekaligus jagonya. Mengatakan yang baik tidak boleh bohong. Katakan saja pengalaman, dan jasa di masa lalu, yang faktual, yang cocok dengan kebutuhan rakyat, dan jika tak memiliki apa yang baik, kata apa adanya.

Politik boleh bertolak dengan apa adanya. Pelan. Sabar. Tabah menanti gejala perubahan politik yang menguntungkannya. Baru kemudian menentukan taktik dan strategi yang bersifat apa adanya tadi. Dan tidak bohong. Partai-partai kita rata-rata tak memiliki strategi politik seperti ini. Tak ada partai yang dengan sabar, dan taktis, memulai dari bawah, dengan modal apa adanya, tapi punya militansi dan sikap politik yang menggambarkan sikap dan wawasan orang besar.

Tapi kenyataannya kita semua orang kecil, kerdil-kerdil, berpikir teknis, jangka pendek dan jarang yang memperlihatkan diri sebagai politisi besar, yang punya visi kenegaraan dan misi politik yang cukup menggetarkan. Untuk kelihatan besar, kita mengecilkan partai atau tokoh partai lain. Untuk mengesankan hebat, kita menjelekkan orang lain. Dan untuk mengesankan bahwa kita jujur, kita bongkar aib orang lain.

Semua lupa, tiap pihak punya aib. Tiap pihak punya titik lebih. Semua juga lupa bahkan tiap pihak punya titik lemah yang sangat fatal. Bagaimana kalau aib itu dibuka sampai tandas, setandastandasnya, sehingga dia tampak seperti telanjang bulat, tanpa tabir, tanpa selembar kain penutup? Orang lupa, tindakan politik harus berhenti di batas wilayah politik. Ketika batas politik mentok tapi mereka menabraknya, yang ditabrak itu wilayah kriminal.

Politisi Orde Baru, pemain Orde Baru dulu melakukan itu untuk memenangkan partainya. Di zaman itu, batas politik dan kriminal tidak ada. Dan dibuat tidak ada. Partai penguasa sungguh berkuasa. Gaya berpolitik seperti itu masih ditampilkan oleh sebagian politisi kita, dan partai politik kita sekarang. Mungkin boleh saja tetap seperti itu. Tapi tak lama masa hidupnya karena, partai macam itu akan ketinggalan zaman.

Dan ditinggalkan para pemilihnya, dalam kesepian di tengah hiruk-pikuk kehidupan politik kita yang kurang besar manfaatnya itu. Yang hidup hanya yang agak baik, yang berusaha mencari makna demi makna untuk membikin politik kita menjadi lebih relevan dengan kehidupan masyarakat.  

Kontes politik, yang terjadi selama masa kampanye, disusul debat demi debat sesudahnya, memperlihatkan gejala itu. Kita disuguhi, dari tahun ke tahun, berita-berita membosankan. Pertarungan politik kita bukan pertarungan ide, gagasan dan visi kenegaraan. Kita hanya saling mencakar, seperti jago-jago yang diadu di dalam suatu kalangan. Kebosanan politik itu tak pernah berganti.

Dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu, orang partai mendominasi kehidupan, dengan dominasi kedunguan yang membuat kita ikut dungu. Kapan dominasi kecerdasan, yang memberi pendidikan politik yang sehat, ganti mendominasi? Seluruh perhatian tercurah pada urusan teknis, yang bagi orang nonpartai menyebalkan: membentuk poros-poros aliansi. Seperti anak-anak kecil, para politisi itu mudah sekali melupakan permusuhan.

Kemarin musuh, hari ini menjadi kawan. Atau berusaha mati-matian, sekuat tenaga, untuk menjadi kawan. Jika poros aliansi terbentuk, dan kelak salah satu poros itu keluar sebagai pemenang, tahukah apa yang bakal segera terjadi sesudahnya? Untuk waktu pendek, mereka akan berbulan madu. Mereka akan berkata, kekuatan berbagai partai yang beraliansi itulah kawan sejati. Mereka sejatinya kawan yang tak ada tolok bandingannya. Kemudian terjadi gesekan kepentingan.

Kalau kepentinganlah urusannya, tak ada barang yang bisa disebut kecil. Lalu muncul caci maki lagi. Lalu bertengkar lagi. Dan masing-masing akan melirik, seperti dua ekor jago di dalam suatu ”kalangan” sabung ayam. Patok mematok. Cakar mencakar. Para botoh akan pening. Mereka tak bisa lagi berbuat serileks- rileksnya. Tindakan harus diambil. Pecah kongsi tak menjadi masalah kalau itu memang yang harus terjadi. Dan rakyat dipertaruhkan.

Permusuhan antarpartai terjadi lagi, dengan biaya yang ditanggung rakyat. Betapa berat nasib rakyat. Tapi biarlah untuk sementara itu kita lupakan, karena poros-poros mengerikan itu belum terbentuk.

Membuat Buruh Bangga

Membuat Buruh Bangga

Danang Probotanoyo  ;   Centre for Indonesia Reform Studies, Alumnus UGM
JAWA POS, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
MUNGKIN jarang ada anak di negeri ini yang bercita-cita menjadi buruh. Kalau toh akhirnya jutaan orang "memburuh", mungkin karena nasib yang kurang mujur. Ini bukan satir. Bukan pula pesimisme. Titik tolak asumsinya ada pada dua hal yang melekat di diri buruh Indonesia, yakni: belum sejahteranya kehidupan mereka serta ketidakpastian masa depan.

Lalu, siapakah yang termasuk dalam lingkup untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat jasa atau tenaga yang dikeluarkan (Muchtar Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha kecil lainnya. Itu pun masih tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau manajemen.

Akhirnya, buruh diidentifikasi pada kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah karena aktivitas "fisik", strata pendidikan relatif tidak tinggi. Karyawan swasta di belakang meja tidak pernah merasa dirinya sebagai bagian dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau disebut buruh. Mereka tidak paham atau malah malu kalau disebut "buruh".

Secara psikologis, kedudukan dan besaran pendapatan menuntun ego mereka untuk tidak mau disebut "buruh". Terjadi kerancuan istilah yang bersifat psikologis: buruh untuk menyebut pekerja level bawah, sedangkan di atasnya lebih nyaman disebut "karyawan" atau "pegawai". Fragmentasi itu tidak jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai pekerja lapis bawah kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedangkan pekerja level atas memiliki "tag name" manajemen perusahaan yang berdiri di belakang pengusaha.

Tuntutan buruh untuk sejahtera adalah klasik. Buruh merasa keringat mereka belum dihargai. Dari catatan 2014, upah buruh berada di rentang UMR Rp 1,15 juta (NTT) hingga Rp 2,4 juta (DKI). Dengan besaran tersebut, sangatlah sulit bagi buruh untuk hidup sejahtera bersama keluarga.

Adagium "kemiskinan akan melahirkan kemiskinan baru" pun menjadi sulit dipecahkan. Merujuk pada studi Robert Chambers (1983), buruh mudah masuk dalam deprivation trap atau jerat kemiskinan. Menurut Chambers, ada lima jerat ketidakberuntungan itu. Yakni, kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.

Dalam konteks buruh, selain rendahnya upah (baca: kemiskinan), masalah "kerentanan" menjadi problem krusial. Buruh rentan terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan alasan. Ada yang bernilai objektif maupun subjektif manajemen dan pengusaha. Kebangkrutan, pabrik terbakar, atau relokasi usaha oleh pengusaha ke luar negeri cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan atau sakit berkepanjangan kerap mengintai buruh untuk "dikandangkan".

Akhirnya, roda penggerak kemiskinan (poverty rockets) akan bekerja mencetak kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal kondisi demikian kerap mengajukan argumen: adanya instrumen pesangon.

Ujung-ujungnya, buruh yang kena PHK akan masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi pengasong, PKL, atau dagang kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah membayangkan nilai pesangon buruh bak pekerja perminyakan atau manajer bank. Pesangon golongan pekerja papan atas itu bila hanya diparkir sebagai deposito cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar sebagai modal usaha, bisa untuk membuat sebuah minimarket atau kos-kosan.

"Kerentanan" hidup buruh pun tidak ada dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS. SK sebagai PNS sudah menjadi jaminan seumur hidup. Selain pendapatan per bulan yang jauh melampaui buruh (struktur gaji, tunjangan, honor, plus remunerasi), negara masih menjamin hidup PNS hingga meninggal. Fakta lain: PNS nyaris mustahil dipecat! Bahkan, bila mereka terlibat korupsi, status kepegawaiannya tidak secara otomatis hilang. Berkaca pada kasus beberapa PNS di Riau dua tahun silam, selepas dari bui karena korupsi, mereka malah naik jabatan.

Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu dukungan pemerintah agar buruh hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya tentu berpulang pada domain pemerintah terkait dengan regulasi usaha. Reformasi birokrasi bila dijalankan dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan semua ekonomi biaya tinggi! Caranya, membangun infrastruktur, memberikan kemudahan akses perizinan yang serba­cepat dan transparan, serta membabat habis pungutan liar terhadap pengusaha.

Bila semua itu bisa berjalan, niscaya pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup besar bagi kesejahteraan para buruh. Dengan begitu, kelak buruh menjadi profesi bermartabat karena ada kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition), serta harga diri (self esteem).

Menuju Kemandirian Obat

Menuju Kemandirian Obat

Dian Nurmawati  ;   Apoteker, Praktisi di Apotek Kimia Farma 26
JAWA POS, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
MEMBACA tulisan Dahlan Iskan di Manufacturing Hope (28/4, Kemandirian Cuci Darah dan Infus dari Madura), seolah ada embusan napas segar dari sebuah kebuntuan yang sekian lama mendera dunia kefarmasian berupa "ketergantungan". Harapan itu bukan sekadar harapan karena realisasinya sudah dimulai berkat keberanian tinggi seorang menteri BUMN. Dunia kefarmasian sebenarnya sudah sekian lama berjuang untuk mengentas ketergantungan. Namun, hingga hari ini, hasilnya 95 persen bahan baku obat di Indonesia masih impor.

Pharma Materials Management Club (PMMC) memperkirakan, impor bahan baku obat hingga akhir 2014 meningkat 15,3 persen atau menyentuh USD 1,35 miliar dari realisasi tahun lalu sebesar USD 1,17 miliar karena pertumbuhan industri farmasi di dalam negeri diestimasikan senilai USD 6,12 miliar. Selama ini biaya bahan baku, khususnya bahan baku impor, berkontribusi 25 persen terhadap nilai penjualan farmasi di dalam negeri. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yaitu sekitar Rp 6,84 triliun (60 persen), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30 persen), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10 persen).

Melihat kondisi ini, jujur kita mengakui Indonesia berada pada posisi yang rentan karena ketergantungan impor yang sangat tinggi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana situasinya jika terjadi embargo bahan baku obat? Tak pelak, kemandirian obat secara strategis juga merupakan sistem keamanan dan pertahanan nasional terhadap ancaman dari luar.

Banyak permasalahan yang timbul karena ketergantungan pada bahan baku impor. Yang paling sering adalah harga yang tidak stabil karena fluktuasi nilai rupiah yang berubah-ubah. Itu belum termasuk risiko kekosongan obat karena tidak adanya jaminan ketersediaan bahan baku. Akibatnya, kualitas bahan baku hanya sekadar memenuhi persyaratan standar karena tuntutan pasar yang tidak memperbolehkan obat kosong. Dengan kondisi yang rentan terhadap efek fluktuasi pasar dan mutu, tentu saja daya saing akan menjadi rendah apalagi untuk berbicara di pasar ekspor.

Kondisi ini sebenarnya sudah diantisipasi pemerintah melalui UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengharuskan perusahaan farmasi PMA yang beroperasi di Indonesia lebih dari lima tahun untuk memproduksi sekurang-kurangnya satu jenis bahan baku obat. Diharapkan, kemampuan dan kemandirian di bidang bahan baku obat nasional akan terdorong. Bayer, misalnya, sudah melakukannya untuk bahan baku Aspirin, yaitu asam asetilsalisilat, dan Beecham memproduksi ampisilin. Sayang, dalam perkembangannya, pemerintah kurang "memaksa" industri farmasi PMA untuk melakukan transfer teknologi.

Belum ada angka yang pasti untuk rasio ideal pemenuhan bahan baku obat dari dalam negeri ataupun impor. Namun, sejumlah literatur menyebutkan sebaiknya 60 persen kebutuhannya diproduksi di dalam negeri. Karena itu, pemerintah mencanangkan peningkatan pemenuhan 5 persen per tahun.

Tahap produksi bahan baku obat dimulai dari adanya industri kimia dasar, industri kimia menengah (intermediate), dan industri bahan baku obat. Industri farmasi berbeda dengan finishing good (industri jadi) yang lebih memerlukan apoteker. Di industri farmasi sangat diperlukan ahli kimia, peneliti-peneliti andal dari lembaga riset seperti BPPTdan perguruan tinggi. Penting sekali sinergi academic-bussiness-government (ABG) untuk penguatan riset pada ketiga tahap di atas, termasuk penanganan limbahnya. Tahap awal bisa dilakukan dengan peningkatan produksi bahan baku kimia sederhana lewat pemanfaatan sumber daya alam, seperti halnya memanfaatkan kekayaan garam kita menjadi garam farmasi.

Untuk mengurangi besarnya volume impor bahan baku obat, kemandirian pengadaan bahan baku obat perlu didorong melalui peningkatan alih teknologi. Di negara maju proses sintesis kimia sudah beralih ke arah proses bioteknologi yang lebih menjanjikan.

Pemerintah sebaiknya mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat dalam negeri. Bisa berbentuk tax holiday, tax allowance, jaminan bea masuk (BM), fasilitas kawasan ekonomi, hingga jaminan investasi yang mampu menarik perhatian calon investor. Regulasi yang sangat ketat untuk industri farmasi misalnya dengan current good manufacturing product (GMP) tanpa dibarengi pemberian fasilitas atau insentif akan menjadi kontraproduktif. Kebijakan pemerintah untuk mengupayakan insentif pengurangan pajak bagi industri bahan baku obat Indonesia terkendala aturan yang menyebutkan pengurangan pajak hanya diperbolehkan untuk obat HIV/AIDS dan vaksin.

Dukungan pemerintah ini sangat penting. Di Malaysia tax holiday berlangsung hingga 10 tahun ditambah dengan subsidi penelitian dan subsidi pembangunan manufaktur. Tiongkok menjadi kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Subsidi ini akan pelan-pelan dicabut oleh pemerintah jika sudah kompetitif.

Pemberian insentif hanya bersifat sementara. Sebab, dalam persaingan global, efisiensi dan perluasan pasar merupakan kunci keberhasilan industri bahan baku obat. Jadi, pasar ekspor harus diperhitungkan untuk pembangunan pabrik bahan baku obat di Indonesia mengingat kontribusi pasar farmasi nasional terhadap total farmasi dunia masih sangat kecil, 0,3-0,4 persen.

Terlepas dari tingginya kesulitan untuk merentas ketergantungan akan bahan baku obat, niat baik untuk kemandirian patut kita apresiasi, terlebih jika itu sudah menjadi langkah nyata yang akan segera kita nikmati realisasinya. Apa pun itu, dunia industri farmasi harus terlepas dari angka ketergantungan ini, walau pelan tapi harus pasti demi kesejahteraan di negeri tercinta ini.

Politik Buruh 2014

Politik Buruh 2014

Surya Tjandra  ;   Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Tahun politik 2014 ini membawa pengaruhnya sendiri pada gerakan buruh.
Meski belum mencerminkan adanya perpecahan akut, seiring orientasi politik masing-masing, berbagai kelompok utama gerakan buruh pun melakukan aksi peringatan Hari Buruh Sedunia tidak secara bersama-sama.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, memilih melakukan May Day Fiesta pada 1 Mei di Gelora Bung Karno, melibatkan seratusan ribu buruh yang didahului demonstrasi di depan Istana Presiden. Pada saat yang sama, mereka juga berencana mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) memilih melakukan demonstrasi yang melibatkan puluhan ribu buruh pada 2 Mei. KSPSI dan KSBSI jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo sebagai capres dan membentuk ”Relawan Buruh Sahabat Jokowi”.

Sementara itu, Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh, yang merupakan gabungan berbagai serikat buruh kecil dan menengah, memilih aksi mereka sendiri pada 1 Mei, khususnya di kawasan-kawasan industri. Mereka tak mendukung salah satu capres, tetapi menyebutkan syarat calon presiden harus ”bukan pelanggar hak asasi manusia”.

Eksistensi buruh

Berbeda dengan deklarasi dukungan terhadap pencalonan Jokowi, dukungan terhadap pencalonan Prabowo adalah yang paling kontroversial. Kritik dan pertanyaan muncul dari banyak kalangan, khususnya dari aktivis HAM dan sesama aktivis buruh.

Sebagian mereka berpendapat dukungan kepada capres tertentu seharusnya tidak boleh mengurangi eksistensi buruh itu sendiri. Atau buruh seharusnya menawarkan calonnya sendiri, yang datang dari kalangan mereka, dan bukan orang lain yang belum tentu paham persoalan buruh.

KSPI menjelaskan sikapnya mendukung Prabowo adalah untuk kepentingan buruh juga. Bagi mereka, Prabowo-lah capres yang bersedia secara terbuka menerima 10 tuntutan buruh, seperti menaikkan upah secara layak, menghapuskan sistem kerja alih daya yang melanggar hukum, dan melaksanakan jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi buruh formal tepat waktu.

KSPI juga mengklaim mendapat tawaran kursi menteri tidak semata untuk jabatannya, tetapi untuk memastikan agar tuntutan buruh tersebut dilaksanakan pemerintah jika kelak Prabowo menjadi presiden. Sementara dukungan KSPSI dan KSBSI terhadap Jokowi tidak terlalu mengundang kontroversi, tetapi terkesan juga tidak membawa dampak banyak.

Dari perspektif buruh, boleh jadi dukungan terhadap Prabowo dan kontroversi yang menyertainya itulah yang dianggap lebih edukatif. Bagi kebanyakan buruh, pemahaman politik yang ”abstrak” seperti isu pelanggaran HAM dan sebagainya, atau figur populis yang mendapat perhatian media massa, tidak terlalu menarik selama itu tidak langsung dirasakan hasilnya oleh mereka.

Perjuangan menaikkan upah 50 persen melalui mogok nasional, misalnya, dirasa lebih ”bunyi” dibandingkan sasaran tidak langsung seperti meningkatkan daya beli buruh dengan mengurangi pengeluaran melalui subsidi perumahan dan transpor bagi buruh. Dalam konteks itulah, keberhasilan menaikkan upah minimum lebih dari 40 persen dibanding tahun sebelumnya pada 2013 dirasa sebagai keberhasilan luar biasa bagi kebanyakan buruh. Karena itu pula kenaikan upah yang hanya 10 persen tahun 2014 dirasa sebagai kegagalan besar yang menimbulkan sentimen negatif pada Jokowi yang dianggap paling bertanggung jawab.

Dalam konteks itu pula, dukungan kepada capres tertentu dengan tuntutan spesifik untuk kepentingan buruh, dengan target yang jelas seperti kursi menteri, dirasa jadi lebih masuk akal. Di sini aspirasi personal pemimpin buruh pun ikut bermain.

Manuver serikat buruh

Sebagian pemimpin buruh mulai menyadari bahwa pendekatan ”langsung”, seperti tuntutan kenaikan upah tinggi, tidak selamanya bisa dilakukan karena itu membutuhkan tenaga dan stamina gerakan yang amat besar. Sementara basis politik mereka sendiri masih lemah.

Untuk itulah, sebagian serikat buruh mulai masuk ke dalam percaturan politik praktis melalui pemilu dengan mengirimkan kader-kadernya sebagai calon anggota legislatif dari berbagai parpol yang ada. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya, mendorong perjuangan ”buruh go politik”. Melalui cabangnya di beberapa kota industri, mereka terlibat aktif secara organisasional dalam kampanye untuk caleg dari buruh lewat berbagai parpol yang ada.

Mereka menginstruksikan anggotanya untuk memilih hanya calon mereka sendiri, dikombinasi dengan pelatihan pemilih dan relawan ”go politik” di kantong-kantong buruh di Bekasi. Melibatkan bukan hanya buruh, melainkan juga LSM seperti Trade Union Rights Centre, Omah Tani Batang, dan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada untuk mendukung dengan pelatihan.

Meski sebagian besar calon mereka gagal masuk parlemen, praktis dengan hanya mengandalkan kekuatan suara anggota di tengah politik uang yang merajalela, FSPMI berhasil memasukkan dua caleg dari buruh ke DPRD Kabupaten Bekasi melalui Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bila melihat rekam jejak keduanya dan organisasi mereka, kehadiran kedua caleg ini rasanya akan membawa pengaruh amat berbeda pada percaturan politik lokal nantinya. Ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri.

Gerakan buruh—berkat keberhasilannya menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan alternatif di luar oligarki politik yang sudah ada, khususnya dengan keberhasilan mereka melaksanakan dua kali mogok nasional—tampaknya mulai jadi sasaran parpol ataupun capres untuk didekati dan diminta dukungannya.

Cepat atau lambat, seiring meningkatnya pamor buruh berkat ”go politik” ini, buruh akan mulai dihadapkan pada pilihan-pilihan politik. Itu hal wajar dan bahkan patut disyukuri sehingga proses pendewasaan gerakan juga dapat diolah dan dilatih. 

Dalam menghadapi pilihan-pilihan politik itu, peran pemimpin jadi penting. Pemimpin buruh diharapkan mempertimbangkan masukan para kolega, termasuk para pengkritiknya, aspirasi anggota, serta memiliki kesadaran hati nurani sebagai pemimpin.

Pemimpin menjadi pemimpin karena ia bisa dan berani memutuskan. Pemimpin tidak selamanya harus mengikuti masukan orang lain, tetapi ia juga tidak boleh melupakan perannya yang utama, yaitu mendidik dirinya sendiri serta kolega dan anggota, untuk makin dewasa dan cerdas secara politik.

Persoalannya, setiap pilihan, apalagi yang menyangkut kepentingan publik (seperti buruh dan rakyat), bisa salah bisa juga benar. Banyak faktor yang menentukan sejarah kita. Dan, dari pilihan-pilihan itu–baik atau buruk, tepat atau keliru–kita belajar jadi lebih bijaksana juga secara politik.

Untuk menjadi kekuatan politik alternatif yang diperhitungkan dan dibutuhkan negeri ini di waktu-waktu mendatang, tak ada pilihan, buruh kembali akan (harus) bersatu.  

Pergerakan Buruh Indonesia

Pergerakan Buruh Indonesia

Rekson Silaban  ;   ILO Governing Body
KOMPAS, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Perayaan Hari Buruh 1 Mei ini akan menjadi demo buruh terakhir bagi pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Tanggal 1 Mei ini sekaligus juga menjadi perayaan pertama Hari Buruh dengan status libur resmi, setelah tahun lalu 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur resmi nasional sebagaimana pada era Orde Lama.

Pada perayaan Hari Buruh di masa lalu, Bung Karno, yang selalu hadir dalam perayaan Hari Buruh, menyatakan, perjuangan politik paling minimum gerakan buruh adalah mempertahankan politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.

Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursuskursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya.

Gerakan buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke toestand, tetapi Soekarno pasti akan kecewa karena kebebasan berserikat yang dimiliki buruh, bukannya dimanfaatkan untuk memasuki fase lanjutan machtsvorming, tetapi dilakoni dengan mendirikan banyak organisasi buruh, berlomba-lomba menjadi pemimpin buruh. Kekalahan dalam kongres direspons dengan membentuk serikat baru dengan membawa pendukungnya keluar dari organisasi yang telah lama membesarkannya. Pemimpin baru yang belum matang ini selanjutnya menghadapi masalah pengerdilan diri sendiri (self-destruction).

Perpecahan organisasi buruh menjadi titik lemah perjuangan buruh Indonesia. Agenda besar untuk menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang atas kapitalisme bisa tersingkir akibat menurunnya kekuatan anggota, pengaruh politik, dan kemampuan finansial.

Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh.

Hampir semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran penyatuan gerakan (sentrifugal). Tentu saja bukan ini yang dicita-citakan Soekarno, almarhum Marsinah, dan kaum buruh yang menanti perubahan nasib.

Gelombang ketiga gerakan buruh

Dalam sejarah gerakan buruh internasional, gerakan buruh di Eropa dan Amerika akhir 1800-an dinobatkan sebagai generasi awal pengakuan gerakan buruh sebagai kekuatan penyimbang keserakahan kaum kapitalis. Dari era inilah lahir sistem jaminan sosial, upah minimum, Hari Buruh (May Day), pembatasan jam kerja, jaminan keselamatan kerja, serta perundingan bipartit dan tripartit.

Melalui perundingan dan tekanan politik, serikat buruh menjadi lembaga yang berperan dalam distribusi ekonomi di luar mekanisme pajak. Sejarah telah mengajarkan, perbaikan nasib buruh tidak pernah datang dari niat baik pemilik modal atau pemerintah yang baik. Seperti keyakinan Bung Karno bahwa perbaikan nasib bagi kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin terjadi jika gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat pengusaha akan bergeming.

Generasi kedua gelombang gerakan buruh dunia terjadi di Brasil, Korea Selatan, Jepang, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan yang dimulai pada era 1970-1980-an. Sebagai generasi kedua yang mengikuti jejak generasi awal, mereka berhasil melembagakan apa yang telah terjadi di Eropa. Secara kebetulan momentum ekonomi-politik di negara ini tersedia dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, meluasnya industrialisasi, dan demokrasi yang melembaga. Akhirnya jadilah mereka pewaris keberhasilan gerakan buruh di Eropa. Dunia terus berubah dengan lahirnya negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru.

Jauh dari harapan

Satu hal yang dinantikan gerakan buruh internasional adalah lahirnya gelombang ketiga gerakan buruh di negara berkembang ini. Tidak hanya dalam bentuk sebuah institusi, tetapi juga gerakan buruh sebagai garda utama pembela kepentingan buruh, mitra pengusaha dan pemerintah, memiliki kompetensi berimbang, punya kapasitas menawarkan alternatif kebijakan ekonomi, memiliki pengaruh dan lobi politik, profesional, dan tidak memintaminta jabatan dan uang. Mengingat Indonesia anggota kelompok G-20, serikat buruh dunia menolehkan pandangannya ke Indonesia. Menanti dimulainya sejarah baru yang diharapkan menggelinding seperti bola salju ke negara lain.

Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang terus membaik, urutan ke-13 dunia dalam besaran PDB, negara demokrasi keempat terbesar, dan telah meratifikasi konvensi penting ILO 87 tentang jaminan kebebasan berserikat. Kondisi yang tidak tersedia di negara tetangga. Bahkan, Tiongkok, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam belum mau meratifikasi konvensi ILO 87 karena khawatir kehadiran serikat buruh yang kuat akan mengurangi kemampuan kompetitif ekonomi dan mendestabilitasi politik domestik.

Padahal, pengalaman internasional dan laporan OECD dari tahun ke tahun menunjukkan, serikat buruh yang kuat berkontribusi terhadap menurunnya ketimpangan ekonomi dan pendapatan, memperkuat hubungan industrial yang damai, mengurangi jumlah demo, dan memperkuat demokrasi. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat buruh kuat seperti Jerman, Inggris, negara Skandinavia, Jepang, Brasil, dan Australia, pasti memiliki rasio gini untuk ketimpangan yang kecil, demokrasi stabil, demo buruh pun nyaris tidak pernah terjadi. Apalagi demo yang berkaitan dengan upah minimum.

Sayangnya harapan dunia atas hal itu masih jauh harapan. Gerakan buruh Indonesia saat ini masih berkutat di atas tuntutan-tuntutan mikroekonomik, seperti upah minimum, kasus advokasi, tuntutan normatif, dan perebutan jabatan. Ini mungkin akibat minimnya kapasitas mereka memasuki wilayah isu makro, mengajukan alternatif sesuai pengalaman internasional, atau menjadikan pelanggaran kebebasan berserikat sebagai ”kambing hitam”. Mereka akan kaget dengan fakta kebebasan berserikat di Indonesia salah satu yang paling liberal di dunia karena setiap saat bisa mendirikan serikat tanpa pernah diverifikasi atas kebenaran jumlah anggota, cakupannya, dan aktivitasnya, dan setiap waktu bebas menggelar demo.

Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Mumpung momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Serikat buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara SOBSI ikut mendirikan wadah serikat buruh sosialis (WFTU).

Salah satu yang penting dibenahi untuk pemimpin nasional adalah agenda penyatuan gerakan buruh (baca: bukan penyatuan struktur) karena itu adalah prakondisi yang diperlukan untuk efektif menjadi kekuatan penekan. Tanpa ini kekuatan buruh hanya cenderung jadi pemintaminta. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lain. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. Jadi, jangan berhenti hanya sebagai jago kandang. Saatnya memilih, senantiasa sebagai pesorak (spectators) atau menjadi pemain (players)?