Sabtu, 28 Juni 2014

Jangan Salahkan Debat Capres

Jangan Salahkan Debat Capres

Hermanto  ;   PNS BPS Prov. Jawa Timur
JAWA POS, 27 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TERLALU prematur bila para praktisi ekonomi mengaitkan kondisi pasar saham yang terus terkoreksi dan rupiah yang semakin menjauh dari batas atas asumsi makroekonomi pemerintah sebagai respons negatif dari debat calon nakhoda negeri ini. Keadaan itu lebih disebabkan situasi pasar keuangan regional yang diwarnai indeks bursa saham yang terkoreksi serta relatif terdepresiasinya mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, terlalu berlebihan dan irasional jika berharap terjadi anomali situasi pasar keuangan di Indonesia ketika kondisi eksternal tidak berpihak dan faktor fundamental perekonomian kita di luar ekspektasi.

Faktor eksternal yang menjadi salah satu sebab utama depresiasi rupiah adalah dampak dimulainya kebijakan pengurangan stimulus moneter quantitative easing (QE) oleh bank sentral Amerika Serikat dalam merespons perbaikan kondisi makroekonominya. Dana asing yang mengalir deras beberapa tahun terakhir, terutama dari Negeri Paman Sam sebagai bagian dari kebijakan QE dalam upaya mengatasi krisis di Amerika Serikat, sudah mulai berlalu. Sebab, saat ini justru terjadi penarikan dana yang parkir di luar Amerika Serikat untuk balik ke dalam negerinya, terutama yang berada di negara emerging market, termasuk Indonesia yang menawarkan high return meskipun memiliki risiko yang tinggi pula.

Faktor internal yang berkontribusi pada depresiasi rupiah adalah masalah defisit anggaran yang menghantui perekonomian Indonesia 2014. Salah satu penyebab defisit anggaran itu adalah terbatasnya ekspor, terutama komoditas minerba mentah sebagai konsekuensi kebijakan pembatasan ekspor minerba mentah, yang diiringi oleh penerimaan pajak yang belum optimal dari target yang ditetapkan. Ditambah pula belum lepasnya industri kita dari ketergantungan impor bahan baku.

Sikap pemerintah dalam membatasi ekspor minerba mentah di satu sisi patut diacungi jempol, yang tidak terpengaruh oleh lobi-lobi perwakilan perusahaan eksplorasi minerba internasional beberapa waktu belakangan agar meloloskan ekspor mentah komoditasnya dengan upaya menekan melalui perumahan sementara para karyawan. Mengingat sikap perusahaan internasional yang abai dengan imbauan yang jauh-jauh hari sudah diberikan merupakan sikap yang seolah mengangkangi kebijakan pemerintah. Harapan selanjutnya, semoga isu ini tidak bergulir ke ranah politik karena tujuan kebijakan ini adalah Indonesia dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik dari sektor minerba. Tidak hanya dari sisi pemasukan domestik, namun juga penyerapan lapangan kerja karena ada peningkatan skala kegiatan, yaitu sektor pengolahan minerba.

Selain karena ekspor, tekanan penerimaan negara dari perpajakan yang belum mencapai target yang diharapkan berkontribusi pada defisit anggaran. Institusi perpajakan perlu lebih kreatif dalam melakukan upaya ekstensifikasi sektor yang belum optimal tergarap padahal memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti sektor finansial, properti, dan komunikasi. Sementara itu, untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku sektor industri, pemerintah perlu memprioritaskan investor yang akan berinvestasi pada industri yang memproduksi bahan baku atau penolong impor tersebut dengan insentif sebagai daya tarik atau memberi peluang kepada BUMN untuk membangun industri tersebut.

Sedangkan pasar saham Indonesia yang terkoreksi cukup wajar selain karena aksi profit taking para investor dalam menyikapi kondisi regional serta penarikan dana parkir instrumen QE, juga sangat mungkin adanya diversifikasi produk investasi dari para investor. Sebab, selain saham di BEI, produk investasi berupa surat berharga negara yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran selalu menjadi incaran dan laris manis karena menawarkan tingkat return yang pasti dan relatif tinggi meskipun tenggat waktu investasi yang panjang.

Terlalu dini jika merespons apa yang mengemuka dalam konteks debat capres, apalagi KPU membatasi kewenangan moderator untuk tidak sampai mengejar lebih dalam jawaban dari para kandidat. Maka, tidak heran jika debat yang dilaksanakan seolah dalam istilah Jawa sebagai ”ngayahi kewajiban” hanya menjadi rangkaian kegiatan yang mesti dilaksanakan KPU dan diikuti para kandidat. Sebab, jawaban yang mengemuka dari para kandidat belum tentu akan dilaksanakan, terutama karena keterbatasan kewenangan KPU untuk menjadikan apa yang disampaikan di forum itu sebagai rujukan konseptual arah kebijakan pemerintahan dan diakomodasi dalam lembaran negara. Dengan demikian, tidak salah jika para kandidat memanfaatkan ajang debat itu sebagai sarana kampanye yang diselenggarakan KPU. Meskipun demikian, itu menjadi salah satu warna demokrasi kita dan sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat.

Menelisik lebih dalam mainstream dari para kandidat di setiap bidang agak sulit, kecuali meneropong pemikiran para wakil yang keduanya pernah mewarnai kebijakan ekonomi di negeri ini. Kata kunci untuk bidang ekonomi dari kedua kandidat kurang lebih sama, yaitu komitmen pada pemerataan infrastruktur untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.

Sayang, belum ada pemikiran konkret dari kedua kandidat untuk mengatasi ini. Padahal, perlu upaya ekstrem agar kondisi ini terwujud dan salah satunya adalah mewujudkan pemindahan pusat pemerintahan (yang selalu hanya jadi wacana) dan jangan lagi di Pulau Jawa. Pasalnya, hingga saat ini arus ekonomi dan pergerakan manusia masih terpusat di Jawa. Padahal, prasyarat pertumbuhan ekonomi agar sustainable adalah ekonomi berbasis pada manusia dan bukan pada sumber daya alam, yang dapat terwujud jika tersedia cukup modal manusia yang berkualitas. Di sisi lain, masalah kesejahteraan sosial akan dapat terwujud jika semua memiliki peluang yang sama untuk membangun dan hidup lebih sejahtera di mana pun berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar