Selasa, 27 Januari 2015

Social Choice, BG, dan BW

Social Choice, BG, dan BW

Iman Sugema  ;  Ekonom IPB
REPUBLIKA, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Apa hubungan antara ilmu ekonomi dengan peristiwa BG dan BW yang mengundang keprihatinan dan kekecewaan kita bersama? Ada, yaitu teori social choice atau pilihan sosial memberikan prediksi tentang kelakuan para elite yang bisa jadi tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat jelata seperti kita-kita ini.

Kita telah memilih para wakil rakyat dan presiden/wapres supaya bisa mengurusi apa yang menjadi hajat kita bersama. Tetapi, berdasarkan teori social choice, itu semua tidak dijamin sepenuhnya akan terjadi. Karena itu, di tahun baru ini Anda dan saya harus siap-siap kecewa dengan para elite.

Tetapi, sebelum saya menerangkan relevansi social choice dalam menilai perilaku para elite, saya seyogianya memberikan klarifikasi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan BG bukanlah Budi Gunawan yang telah lolos fit and proper test sebagai calon kapolri.  Yang dimaksud BW juga bukanlah Bambang Widjojanto yang sekarang dijadikan tersangka kasus sengketa Pilkada. BG dan BW yang saya maksud adalah betul-betul murni terminologi social choice. Berikut adalah ulasannya.

Dalam teori social choice, cara pengambilan keputusan di tingkat elite dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni ideologis dan oportunis. Elite yang ideologis akan mengambil keputusan berdasarkan garis ideologis yang mudah kita lacak, sedangkan elite yang oportunis akan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan untung rugi. Keputusan ideologis akan bersifat hitam putih atau black and white (BW), sedangkan keputusan oportunis akan "banyak goncengannya" atau BG. Kita bandingkan pola keduanya.

Seseorang yang konsisten dengan ideologinya akan cenderung memperjuangkan nilai-nilai ideologis, mengambil keputusan berdasarkan benar dan salah, serta melaksanakan keputusan itu secara konsisten dan konsekuen. Karena itu, kita akan dengan mudah menebaknya.

Dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, perbedaan ideologis menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap program-program yang dipromosikan oleh partai. Misalkan Partai Republik di Amerika lebih cenderung mengadopsi kebijakan ekonomi yang sangat liberal dan sebaliknya kebijakan sosialnya sangat konservatif. Politisi di partai tersebut juga sering kali mengusung pentingnya mempertahankan nilai-nilai keluarga.

Di lain pihak, pandangan politisi Partai Demokrat di Amerika cenderung moderat dalam kebijakan ekonomi tetapi lebih liberal dalam kebijakan sosial. Politisi dari partai ini lebih dominan dalam memperjuangkan hak-hak individual seperti aborsi dan seksualitas. Walaupun demikian, tidak jarang terdapat inkonsistensi antara yang dikatakan dengan yang dilakukan.  Tidak jarang, politisi yang memperjuangkan pentingnya nilai-nilai keluarga justru tertangkap tangan sedang selingkuh.

Bagaimana di Indonesia? Tentu harap maklum, peranan ideologi pada saat ini sudah semakin tidak jelas. Cobalah kita perhatikan apa yang dilakukan oleh para politisi dalam sepuluh tahun terakhir. Sangat sulit untuk menarik garis tegas, bukan?

Mungkin kategori oportunis atau untung-rugi lebih banyak bisa menerangkan apa yang dilakukan oleh para politisi di negeri kita. Harap diingat, untung-rugi tidak hanya menyangkut aspek moneter, tetapi apakah kebijakan yang diambil akan menguntungkan posisi dirinya dan golongannya atau tidak. Kalau sudah bicara untung-rugi, maka rakyat harus siap gigit jari.

Pasalnya sederhana saja. Teori ekonomi telah memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa elite bisa saja tidak bertindak atas nama rakyat yang diwakilinya. Elite memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan rakyat. Jadi, kita sebagai rakyat jelata harus selalu ingat bahwa cita-cita kita bersama mungkin saja tidak akan pernah bisa diperjuangkan 100 persen. Akan selalu ada deviasi dan anomali dalam kancah politik elite kita.

Dalam situasi seperti ini, agar kita bisa selamat semuanya, rakyat harus senantiasa bisa mengembangkan sikap kritis terhadap apa yang terjadi di tingkat elite. Peran dari tokoh pembentuk opini akan sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh para elite. Tidak hanya itu, masyarakat luas juga merupakan kekuatan yang selama ini hanya dimanfaatkan selama kampanye saja. Kalau kekuatan masyarakat yang sama kita gunakan sebagai penekan untuk arah kebijakan yang "lebih merakyat" maka hal ini justru akan mampu mendisiplinkan para elite ke arah yang kita inginkan.

Harap diingat bahwa elite yang oportunis selalu mempertimbangkan untung-rugi, baik dalam arti moneter, popularitas, maupun hal lainnya. Karena itu, kalau sekiranya kita kecewa dengan apa yang terjadi di tingkat elite, himpunlah kekuatan rakyat secara bergotong-royong.  Sekarang ini menyatakan pendapat jauh lebih mudah, melalui media masa maupun media sosial. Kalau media tersebut bisa kita gunakan untuk kampanye, mengapa kita tidak mencobanya sebagai wahana untuk mengkritisi para elite? Mari kita bangun budaya baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar