Rabu, 25 Februari 2015

Setelah Kasus Obat Bius

Setelah Kasus Obat Bius

Dian Nurmawati  ;  Apoteker Kimia Farma Sidoarjo,
Alumnus S-2 Pharmaceutical Policy & Management Fakultas Farmasi Unair
JAWA POS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEBUAH tragedi menimpa dunia farmasi karena pemberian obat bius sehingga menewaskan dua pasien RS Siloam Karawaci (Jawa Pos, 22 Februari 2015). Dua pasien tersebut menerima suntikan Buvanest spinal injeksi sebelum menjalani operasi, kemudian mengalami gatal-gatal, kejang, dan akhirnya meninggal. Dugaan sementara, terjadi kesalahan saat produksi obat. Yakni, tertukarnya etiketBuvanest spinal injeksi yang berbahan aktif bupivacaine (obat bius) dengan asam traneksamat, antifibrinolitik yang berfungsi mengurangi pendarahan.

Kejadian tersebut sangat menggemparkan dan menjadi perbincangan hangat masyarakat. Dunia farmasi pun dibuat introspeksi diri karena salah satu elemen pengawasan dalam proses produksi seolah tidak berfungsi. Padahal, selama ini, semua masyarakat mafhum bahwa setiap proses produksi, terutama produksi obat, memerlukan keakuratan serta ketelitian yang sangat rigid karena bersentuhan langsung dengan nyawa manusia. Bahkan, Ahaditomo, seorang tokoh apoteker, menegaskan, sangat tidak masuk akal jika terjadi kesalahan etika karena semua proses produksi farmasi memiliki standard operating procedure (SOP) sesuai dengan persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

Hal senada diungkap Dirut PT Kimia Farma Tbk (Jawa Pos, 22 Feb 2015) Rusdi Rosman. Ironis sekali jika itu terjadi. Sebab, CPOB di Indonesia yang terdiri atas 12 aspek mengacu pada Current Good Manufacture Practices (CGMP) yang dikenal dengan standardisasi tinggi sejajar dengan Eropa.

Ada tiga personel kunci dalam industri farmasi, yaitu kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu (quality control), dan kepala bagian manajemen mutu/pemastian mutu (quality assurance), yang harus independen satu sama lain. Jadi, setiap tahap sudah melewati kontrol ketat, mulai pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai memastikan bahwa mutu obat sesuai dengan tujuan pemakaiannya di pasaran.

Merujuk pada pasal 108 UU Kesehatan No 36 Tahun 2009, tenaga kesehatan yang bertanggung jawab mulai proses pembuatan obat, penyimpanan, dan distribusi obat adalah apoteker. Semua prosedur diatur sangat ketat. Proses produksi di pabrik diatur dengan CPOB, distribusi menggunakan pedoman cara distribusi obat yang baik (CDOB), hingga obat sampai ke tangan pasien melalui cara pelayanan farmasi yang baik (CPFB).

Terlepas dari penerapan tata kelola farmasi yang baik, mulai produksi hingga distribusi dan dilayankan ke pasien, sebuah catatan hitam telah ditorehkan dalam dunia kesehatan. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang ahli dan berkompeten masalah obat tentu sangat mengharapkan hasil investigasi yang tuntas, apakah kejadian ini memang murni karena human error di tingkat produksi, RS, adanya persaingan bisnis, atau missing link seperti pasien alergi atau yang lain. Masyarakat pun berhak mengetahui dengan pasti alasan penarikan obat Buvanest spinal 0,5% heavy 4 ml semua nomor batch dan asam traneksamat generik 500 mg/amp 5 ml batch no 630025, 630023, dan 629668. Sebab, itu adalah salah satu bentuk transparansi edukasi.

Langkah tepat, walau sedikit terlambat, telah dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mereka membekukan izin produksi dan izin edar injeksi Buvanest spinal 0,5% heavy pada 17 Februari 2015. Pada saat bersamaan, izin produksi larutan injeksi volume kecil nonbeta laktam juga dihentikan sementara.

Kalbe Farma selaku produsen sudah berinisiatif menarik dua produk itu secara sukarela sejak kasus tersebut merebak pada 12 Februari 2015 melalui distributornya, PT Enseval Putra Megatrading Tbk. Diharapkan, dengan tindakan tersebut, masyarakat tidak khawatir atas pemberian obat bius di RS setelah kasus itu. Apalagi Buvanest adalah obat khusus yang hanya bisa diberikan dokter spesialis anestesi.

Selama belum ada hasil investigasi resmi, ada dua pihak yang berpeluang sama untuk bisa digugat. Yaitu, RS Siloam yang melakukan tindakan medis dan Kalbe Farma sebagai produsen obat. Diharapkan, law enforcement bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan BPOM, agar kekhawatiran penyelesaian private-to-private bisa tertepis. Melalui pembuktian terbalik di pengadilan, bisa diketahui pihak yang lalai sehingga jelas sanksi yang akan diberikan.

Sejumlah langkah preventif harus mulai dipikirkan untuk dijalankan. Misalnya, pengawasan rutin yang berkelanjutan mulai hulu sampai hilir (produksi, distribusi, hingga saat obat di tangan pasien), tidak hanya saat pengajuan izin produksi. Pengawasan di lini produksi hendaknya tidak pandang bulu, apakah perusahaan farmasi nasional atau multinasional, tetapi juga industri kosmetik dan industri obat tradisional. Jangan-jangan, kasus Buvanest adalah fenomena gunung es yang sangat berbahaya jika tidak segera diselesaikan.

Pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu kunci keberhasilan dalam bidang apa pun, termasuk dalam kasus obat bius. Terbukti, sudah banyak standardisasi internasional, bahkan yang paling canggih sekalipun sudah kita sepakati. Namun, apalah arti semua itu karena semutakhir apa pun sebuah standar diciptakan, semua berpulang kepada manusia sebagai pelaksana di belakangnya. Sudah saatnya semua pihak, baik organisasi profesi kesehatan, instansi kesehatan, industri farmasi, maupun pemerintah, mulai berlomba meningkatkan kompetensi, saling mengisi dan bekerja sama dalam satu irama untuk meningkatkan kesehatan Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar