Selasa, 31 Maret 2015

Konflik Yaman : Multi Aspek dan Multi Dampak

Konflik Yaman : Multi Aspek dan Multi Dampak

Toni Ervianto  ;  Alumnus Fisip Universitas Jember; Alumnus Pasca Sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia
DETIKNEWS, 27 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dahulu kala, Yaman yang terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan adalah negeri yang damai, bahkan Yaman dikenal dengan negeri Arabia Felix (Arab yang berbahagia). Namun sejak tahun 1994, sebutan tersebut tidak lekat di Yaman lagi, karena Yaman kini tengah dalam pusaran 'sejuta konflik' di berbagai sisi negeri.

Pada tahun 1994, konflik perang saudara menerpa Yaman, antara pemerintah Yaman dengan pengikut partai sosialis di wilayah selatan Yaman. Konflik ini dipicu keinginan untuk melepaskan diri dan membentuk kembali negara Yaman Selatan. Perang yang dikenal dengan sebutan “Perang Musim Panas 94” ini berakhir setelah Pemerintah Yaman berhasil menguasai keadaan.

Setelah Yaman bagian selatan reda, Yaman kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi di wilayah utara, di Provinsi Sa'adah, yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Kelompok Al Houthi ini sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada tahun 2004 mulai melakukan perlawanan total.

Nama Al Houthi dinisbatkan pada pemimpin mereka, Hussein Badreddin Al-Houthi yang tewas dibunuh tentara Yaman tahun 2004. Awalnya kelompok ini menamakan diri "As-Shabab Al-Mukminin" kelompok oposisi yang menentang invasi AS di Irak serta campur tangan AS di Yaman. Setelah pemimpin gerakan ini Hussein Badreddin Al Houthi terbunuh, saudaranya bernama Abdul Malik Houthi menggantikan posisinya. Ia mempopulerkan nama Al Houthi sebagai nama gerakannya. Gerilyawan Al Houthi mayoritas Muslim Zaidiyah (salah satu aliran dalam Syiah), maka dianggap ancaman serius bagi Yaman dan Arab Saudi.

Untuk mengatasi gerilyawan Al Houthi, Arab Saudi sudi menyuntikkan dana ke Yaman setiap tahun US$ 2 miliar. Dengan target menjamin keamanan wilayah perbatasan Arab Saudi - Yaman. Arab Saudi khawatir pemberontakan itu merembet ke wilayahnya. Yaman dan Arab Saudi juga menuding ada peran Iran di balik pemberontakan Al Houthi, bahwa senjata Al Houthi itu disuplai Iran.

Tudingan dan dugaan ini kemungkinan ada benarnya, karena ada pengakuan dari Rajeh Badi, salah seorang utusan Al Houthi ke Iran pada awal Maret 2015. Badi menyatakan, kelompok Syiah Al-Houthi yang saat ini secara de facto memegang kekuasaan di Yaman mengaku mendapatkan jaminan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Iran. Badi menegaskan ada komitmen Iran akan membantu perekonomian Yaman dengan membangun pembangkit listrik dan bahan bakarnya untuk kebutuhan setahun, serta dukungan di bidang militer. Parahnya, Pemerintah Yaman mempersenjatai suku-suku membentuk milisi untuk menghadapi kelompok Al Houthi.

Di sisi lain, Arab Saudi dan Yaman adalah partner bangsa Arab yang keduanya memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat. Selama Yaman memerangi Al Houthi, AS diduga kuat terlibat membantu, dengan bukti jet-jet tempur yang lalu lalang adalah milik AS. Menguatnya bantuan Amerika Serikat ke Yaman tersebut menarik perhatian Al Qaeda, karena Al Qaeda selalu mengincar AS. Jihadis Al Qaeda segera berdatangan ke Yaman Selatan, menyebabkan Yaman Selatan yang dulu dipengaruhi komunis, kini menjadi basis kelompok Salafi Jihadi Al Qaeda.

 Padahal, Al Qaeda kurang menyadari bahwa kelompoknya juga 'makan uang bantuan AS secara tidak langsung'. Hal ini setidaknya terinformasi dari pertengahan Maret 2015, The New York Times memberitakan, sekitar US$ 1 juta dana rahasia Central Intelligence Agency (CIA) yang diberikan kepada Pemerintah Afghanistan semasa Pemerintahan Hamid Karzai tahun 2010 mengalir ke tangan Al-Qaeda.

Pemerintah Hamid Karzai menggunakan dana tersebut untuk membayar tebusan bagi diplomat Afghanistan, Abdul Khaliq Farahi, yang disandera Al-Qaeda. Dana rahasia CIA itu diperuntukkan untuk membeli pengaruh para panglima perang, legislator dan lain-lain, serta biaya untuk perjalanan diplomatik rahasia dan perumahan bagi para pejabat senior Afghanistan.

Arab Spring

Serangan Al Qaeda diarahkan ke instansi milik AS di Yaman. Yaman Selatan pun bergejolak. Yaman bersumpah memerangi Al Qaeda karena mulai mengacak-ngacak wilayahnya. Dana dari AS pun untuk menanggulangi Al Qaeda di Yaman mengalir tajam, dari sebelumnya US$ 70 juta naik menjadi US$ 150 juta pada 2011 dalam bentuk hibah.

Presiden Ali Abdullah Saleh memang dipusingkan mengatasi gejolak di dua front yakni Wilayah Utara (Syiah Houthi), Selatan (Al Qaeda). Maka untuk mengatasi Syiah Houthi, Ali Abdullah Saleh mendapat bantuan Arab Saudi. Sedangkan untuk menumpas Al Qaeda, Arab Saudi berpartner dengan AS.

Meski digoyang dengan dua kekuatan berbeda, yakni Syiah Houthi serta Salafi Jihadi Al Qaeda, Ali Abdullah Saleh masih kokoh memimpin Yaman. Hingga akhirnya petaka bagi kekuasaan Ali Abdullah Saleh datang di saat masa 30 tahun memimpin Yaman. Ali Abdullah Saleh akhirnya tumbang, bukan karena pemberontakan senjata oleh Al Qaeda atau Al Houthi tapi oleh Revolusi Rakyat.

Revolusi Rakyat Arab atau Arab Spring, yang menggema di beberapa negara Arab menuntut lengsernya para diktator di negeri Arab, termasuk Yaman. Demonstrasi 1 juta massa memaksa Ali Abdullah Saleh lengser dari kursi Presiden.

Demonstrasi dipicu ketika Ali Abdullah Saleh berusaha mengusulkan amandemen konstitusi yang membuatnya agar tetap langgeng berkuasa. Terlebih Rezim Ali Abdullah Saleh tidak mampu menyejahterakan rakyat Yaman. Kemiskinan yang meningkat di kalangan rakyat produktif, kurangnya kebebasan berpolitik, korupsi tinggi, angka pengangguran mencapai 40%.

Di bawah Ali Abdullah Saleh, rakyat juga diresahkan oleh masalah keamanan, seperti pemberontakan Al Qaeda di Selatan dan Al Houthi di Utara. Rakyat kompak mendesak Ali Abdullah Saleh turun dari jabatan, demonstrasi digelar seantero Yaman. Ali Abdullah Saleh, mencoba meredam demonstran dengan menawarkan tidak akan maju lagi jadi presiden dan akan turun di 2013. Demonstran menolak tawaran Ali Abdullah Saleh, dan memintanya agar turun tahta sesegera mungkin.

"Yaumul Ghadab" atau "Hari Kemarahan" diselenggarakan para demonstran untuk menggulingkan Ali Abdullah Saleh dari kursi Presiden. Presiden Ali Abdullah Saleh telah kehilangan legitimasinya, rakyat sudah tidak percaya lagi padanya. Sementara itu Arab Saudi juga meminta dia untuk mundur sebelum Yaman semakin memburuk.

Ali Abdullah Saleh tidak hanya kehilangan dukungan dari rakyatnya, sekutunya di luar negeri memintanya untuk lengser. Ali Abdullah Saleh mencoba mengulur-ulur waktu, beberapa kali rencana negara-negara Teluk untuk memfasilitasi transisi kepemimpinan tidak terealisasi.

Sampai akhirnya Ali Abdullah Saleh menjadi korban pengeboman pada awal Juni 2011. Nyawa Ali Abdullah Saleh tertolong, ia dilarikan ke Arab Saudi untuk menjalani pengobatan. Perginya Ali Abdullah Saleh ke Saudi untuk pengobatan disambut suka cita rakyat Yaman dan menolak Ali untuk kembali lagi ke Yaman. Setahun kemudian, Ali Abdullah Saleh dibawah tekanan Arab Saudi resmi menyerahkan jabatan Presiden ke Wapres Yaman, Abdul Mansyur Hadi.

Di tengah hiruk pikuk Arab Spring di Yaman, Al Houthi dengan leluasa mengendalikan Yaman di wilayah utara, sedang Al Qaeda di wilayah selatan. Al Qaeda terus membangun kekuatan, bahkan pada 2009 terjadi merger dua kelompok Jihadis Saudi dan Jihadis Yaman dengan nama AQAP. AQAP kini dipimpin oleh Nasser al Wuhaysi, mantan sekretaris pribadi Osama, belakangan ia sering muncul memberikan ancaman pada AS dan Yaman. AS merespons mengirimkan drone untuk mengebom kamp-kamp pelatihan AQAP di Yaman.

Syiah vs Sunni

 Bagaimanapun juga konflik Yaman memiliki multi aspek seperti 'pelibatan' Arab Saudi, Amerika Serikat dan Al Qaeda, serta konflik ini juga diwarnai unsur konflik sektarian antara kelompok Syiah Houthi dengan masyarakat Yaman yang mayoritas Sunni.

Houthi sebenarnya adalah suatu kelompok intelektual dan memiliki tentara yang memberontak secara internal (domestik) di Yaman. Kelompok ini awalnya muncul di sebelah utara Yaman, tepatnya di Muhafadhah (Provinsi) Sha'dah. Houthi memiliki pemikiran yang sama dengan Syiah Hizbullah di Libanon. Kelompok Houthi ini saling bahu-mambahu dengan Syiah 'Hizbullah' untuk menghancurkan masyarakat Sunni yang berakidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Antara Syiah Hizbullah dan Houthi memiliki aqidah yang sama yaitu aqidah Syiah Itsna'ariyyah atau disebut Syiah Rafidhah atau dikenal dengan nama lain yaitu "Syabab Almu'min" dan "Ansharullah". Pemikiran yang dibawa oleh kelompok ini adalah pemikiran Syiah Rafidhah yang sangat berbahaya, yaitu tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq sebagai khalifah pertama kerena keyakinan mereka yang berhak duduk sebagai khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah Ali bin Abi Thalib.

Mereka juga mengkafirkan sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, bahkan Aisyah istri Nabi Muhammad, dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad lainnya. Pemikiran mereka yang sangat berbahaya memerangi masyarakat Sunni Ahlussunnah wal Jamaah dan menghalalkan darah mereka. Peperangan inilah yang sedang terjadi di Yaman dan itu pula menjadi salah satu akar masalahnya.

Yaman: Masih Mencekam

Hasil pemantauan penulis terhadap situasi di Yaman dari pemberitaan media massa online dalam dan luar negeri sampai 20 Maret 2015 mendapatkan kesimpulan besar bahwa situasinya masih mencekam dan dampak dari konflik Yaman diperkirakan akan menimbulkan pendadakan strategis yang cukup menimbulkan efek bagi negara lain, termasuk Indonesia.

Pendukung "Gerakan Selatan Yaman" meminta partai dan tokoh politik Yaman, termasuk Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi untuk meninggalkan Provinsi Aden pada 1 Maret 2015, karena khawatir daerah selatan Yaman akan menjadi wilayah konflik. Sementara di Kota Sana'a, ratusan pendukung Al Houthi menyatakan dukungannya terhadap deklarasi konstitusional oleh Al Houthi yang menyerukan semua pihak untuk berpartisipasi dalam pembentukan komite rakyat di Yaman.

Selain itu, mereka juga mengecam intervensi AS dan Arab Saudi terhadap urusan internal Yaman, serta menolak rencana mantan Presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi yang akan merelokasi Ibukota Yaman dari Sana'a ke Kota Aden.

Kelompok Al Qaeda Yaman (AQAP) melancarkan serangan terhadap 1 stadion yang digunakan oleh anggota pemberontak Al Houthi sebagai kamp pelatihan di Kota Al-Bayda tanggal 3 Maret 2015, mengakibatkan 10 anggota Houthi tewas. Beberapa jam setelah serangan tersebut, AQAP kembali melancarkan serangan bom bunuh diri terhadap satu pertemuan kelompok Houthi di satu sekolah di Azzahir, mengakibatkan 8 orang tewas.

Di saat bersamaan, satu bom pinggir jalan meledak ketika kendaraan patroli Houthi melintas di jalan raya dekat sekolah tersebut, mengakibatkan 9 anggota Houthi tewas. Pada hari yang sama, kelompok Al Qaeda melakukan serangan bom kepada pendukung kelompok Ansarullah di Kota Redda, Provinsi. Al-Baidha, mengakibatkan 12 anggota Ansarullah tewas. Sementara di depan gedung pemerintahan Provinsi Hadramut, Al Qaeda juga melancarkan serangan bom, yang menewaskan 3 tentara Yaman dan seorang warga sipil.

Setelah gagalnya perundingan untuk mengatasi konflik yang terjadi dengan kelompok Houthi Syi’ah dan dimediasi PPB, Presiden Abedrabbo Mansour Hadi mengusulkan agar tempat pembicaraan perundingan para pemimpin suku di Aden diadakan di Ibukota Riyadh, Saudi Arabia yang juga disetujui Dewan Kerja Sama Teluk.

Menurut Pemerintah Arab Saudi, krisis Yaman telah memicu kekhawatiran dunia, karena ketegangan antara Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi dengan kelompok Al Houthi telah dimanfaatkan kelompok Al Qaeda untuk menjalankan agendanya. Untuk itu, Pemerintah Arab Saudi menegaskan bahwa keamanan Yaman adalah bagian tanggung jawab negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk. Sejauh ini, Al Houthi terus menyatakan resistensinya terhadap keputusan Arab Saudi yang menolak untuk berpartisipasi dalam dialog nasional Yaman.

Menteri Pertahanan Yaman, Mayjen Mahmoud Al-Subaihi melarikan diri dari Kota Sana'a ke Kota Aden untuk bergabung dengan Presiden Yaman yang diakui dunia internasional, Abdul Rabbo Mansour Hadi. Al-Subaihi melarikan diri setelah kelompok Al Houthi yang menguasai Sana'a menyerbu rumahnya. Sejauh ini, Kota Pelabuhan Aden telah dijadikan oleh Abdul Rabbo Mansour Hadi sebagai basis kekuatannya untuk melawan kelompok Al Houthi. Bahkan sejumlah negara Teluk (termasuk Arab Saudi) telah memindahkan kedutaan besarnya dari Sana'a ke Kota Aden sebagai bentuk dukungannya terhadap Pemerintahan Abdul Rabbo Mansour Hadi.

Sementara itu, kelompok militan Syiah Yaman, Al-Houthi membebaskan PM Yaman, Khaled Bahah, setelah hampir 2 bulan dijadikan tahanan rumah, termasuk seluruh menteri di Kabinet PM Khaled Bahah. Menurut sejumlah pihak di Yaman, pembebasan PM Bahah tersebut tidak terlepas dari tekanan kelompok bersenjata dan politik di Yaman terhadap Al Houthi. Pembebasan PM Khaled Bahah itu juga menunjukkan niat baik Al Houthi untuk memudahkan pembicaraan tentang transisi politik di Yaman.

 Ansar al-Sharia, kelompok militan Yaman yang berafiliasi dengan Al-Qaeda di Yaman Utara mengaku bertanggung jawab atas penembakan yang menyebabkan seorang anggota senior gerakan Al Houthi, Abdul Karim al-Khiwani di Kota Sanaa pada 18 Maret 2015 tewas. Sementara di Kota Aden,Yaman Selatan terjadi bentrokan senjata setelah Komandan Pasukan Khusus di Aden (loyalis Al Houthi), Abdel Hafez al-Saqqaf menginstruksikan pengerahan pasukan ke di jalan-jalan umum di Kota Aden (termasuk dekat bandara), yang mendapat perlawanan dari Komite Perlawanan Rakyat (loyalis Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi).

Multi Dampak

Di era sekarang ini, apapun konflik yang terjadi di suatu negara apalagi di negara-negara yang masuk 'world hot spot' seperti negara-negara di Timur Tengah, maka selalu berdampak sangat banyak (multi dampak). Dampak pertama adalah konflik Yaman juga menjadi ajang 'proxy war' bagi Amerika Serikat dengan tujuan untuk menyeleksi dan menilai sebenarnya negara-negara mana saja yang menjadi 'sahabat sejati' mereka.

Termasuk secara tidak langsung AS ingin mengetahui apa efek dari Arab Spring untuk kepentingan nasional mereka (terutama energi di masa depan).
Di manapun ada konflik di belahan dunia ini yang ada keterlibatan AS, malah tidak dapat dihentikan dan semakin mencekam, karena di mana ada AS maka di situ akan ada kelompok teroris global, Al Qaeda.

Dampak kedua adalah menaiknya harga minyak mentah dunia, terutama dengan adanya kekhawatiran konflik Yaman akan mempengaruhi arus distribusi atau pengiriman minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke berbagai negara. Naiknya harga minyak mentah dunia juga akan menyebabkan dinaikkannya harga BBM di Indonesia pada April 2015 mendatang.

Bahkan kenaikan harga BBM tersebut juga akan dipengaruhi melemahnya nilai tukar dollar AS pasca dikeluarkannya kebijakan The Fed, serta masih terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kenaikan harga minyak mentah dunia akan semakin menggila jika konflik Yaman menyeret dua negara episentrum di kawasan ini yang berbeda sekte antara Arab Saudi (Sunni) dengan Iran (Syiah) bertarung secara "head to head".

Dampak ketiga sebagai "side effect" atau "multiplier effect" dari konflik Yaman yang patut dicermati dan diantisipasi di Indonesia adalah akan banyaknya orang-orang Indonesia yang akan "berjihad" tidak hanya ke Suriah, namun juga ke Yaman. Di samping itu, dikhawatirkan imbas konflik sektarian di Yaman juga terjadi di Indonesia, mengingat resistensi kelompok Sunni dan Salafi di Indonesia terhadap kelompok Syiah yang dicurigai mereka semakin membesar dan membahayakan sudah semakin menguat, termasuk di Indonesia ada beberapa kelompok yang dinilai 'beraliran sesat', juga berpotensi menimbulkan konflik sektarian di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar