Jumat, 29 Mei 2015

KPK Itu Aset Reformasi

KPK Itu Aset Reformasi

Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 27 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Tiap kali menoleh ke masa pemerintahan Orde Baru, kita berhadapan dengan suatu masa yang didominasi kegelapan. Di berbagai sektor kehidupan, kegelapan itu berarti ketakutan. Gelap dan takut itu warna dominan di zaman itu.

Tata kehidupan politik memang stabil karena pemerintah sendiri serbapenuh ketakutan kalau stabilitas tak terjaga. Stabilitas menjadi ukuran pencapaian target pemerintah yang nilainya tinggi sekali. Tapi kita tidak lupa, untuk mencapai stabilitas politik itu banyak warga negara, terutama para politisi, kaum intelektual, ulama, orang-orang media massa, dan siapa saja yang bersuara lain, dan berani menyimpang dari garis yang ditetapkan pemerintah, dia musuh pemerintah. Tuduhan PKI efektif sekali untuk membungkam suara bebas yang berani berseberangan dengan rezim militeristik itu.

Pada titik akhir masa pemerintahan itu, bahkan ketika Pak Harto masih cukup kuat, suasana jenuh, perasaan bosan, kemarahan, dan tuntutan perubahan, mulai merayap dari hati ke hati, dari pemikiran ke pemikiran untuk mencari ruang kebebasan. Orang mulai bicara mengenai public sphere, ruang publik yang bisa menampung aspirasi bersama. Tuntutan ini bergerak pelan. Tapi tiap saat, dari hari ke hari, hidup kita diwarnai gerak ini.

Pemerintah yang didukung militer yang kuat lama-lama tak berdaya menghadapi gerakan tersebut. Mula-mula mereka tak percaya bahwa ada yang berani melakukan gerakan menuntut perubahan. Itu tidak mungkin. Siapa yang berani menghadapi risiko tindakannya sendiri? Dia bakal mati konyol.

Dalam masa reformasi itu memang banyak warga negara yang mati. Dan kelihatannya kematian mereka itu konyol. Tapi karena mereka ikut arus perubahan zaman yang sedang mencari dunia baru yang menyenangkan bagi masa depan bangsa, semoga mereka mati sahid. Dalam perjuangan seperti itu tidak ada yang hanya berakhir konyol.

Gerakan itu tampak bukan hanya pada wujud lahiriah ketika suatu kerumunan menguasai jalanan, dan membikin kemacetan. Gerak menuju dunia baru yang menyenangkan itu juga bukan hanya tampak ketika mahasiswa memanjat dan menduduki atap gedung DPR di Senayan. Juga bukan hanya barisan yang mendekati Istana, atau tempat-tempat strategis yang merupakan simbol pemerintahan.

Semua itu penting dan masing-masing turut menentukan ke mana gelombang baru yang menuntut perubahan itu harus bergerak dan berhenti. Sekecil apa pun suara tuntutan, bahkan andaikata diungkapkan hanya melalui sebait pendek puisi, dia tetap penting. Ringkas cerita, semua kekuatan, besar atau kecil, berhasil mengakhiri pemerintahan Pak Harto. Tetapi gelombang yang menuntut perubahan itu bergerak terus -menerus. Sampai beberapa tahun sesudah zaman Orde Baru berakhir, gerak menuntut perubahan itu terus berlanjut.

Sesudah ”goro-goro” yang mengguncangkan bumi dan langit, dan dewa-dewa pun kebingungan, pelan-pelan kehidupan ditata ulang. Tidak ada yang kelihatan sangat berpengalaman menata kembali kehidupan seperti itu. Banyak pihak hanya bermodal hati baik, niat baik dan aspirasi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Niat baik yang memandu aspirasi bersama itu modal utama kita.

Kemudian muncul gagasan mengenai perlunya KPK dibikin. Saat itu, antara tahun 2001- 2002, semangat kita menjulang tinggi ke langit. Gagasan membentuk KPK mendapat sambutan hangat dari semua kalangan di dalam masyarakat. Lalu disusun langkah dan strategi pemilihan komisioner dan ketuanya.

Berbagai persyaratan menuju pemilihan yang bersih dan transparan disusun. Panitia seleksi pun dipilih dengan cara sangat terbuka. Di sana tidak ada semangat demi kawan. Cita-cita besar kita demi bangsa dan negara. Kawan, saudara, sahabat, tidak relevan sama sekali. Di dunia yang kotor ini, anehnya, kita bersih.

Mungkin karena kesadaran bahwa dunia di sekitar sudah terlalu kotor maka kita tidak boleh ikut kotor. Kita sudah terbiasa pula menjaga diri dari debu, dari comberan dan segenap najis yang tak boleh menodai tubuh kita. Jadi dalam momentum pendek ketika kita memilih panitia seleksi, dan kemudian ketika panitia seleksi memilih para komisioner, kita harus membuat diri kita bersih.
Dan itu ternyata dimungkinkan. Bersih di tengah kekotoran itu bukan perkara mustahil.

Semangat kita sama hebatnya dengan jiwa dan semangat para pendahulu yang mendirikan negara ini. Kita memiliki tokoh-tokoh yang bagus di negeri kita ini. Mereka mengabdi dan membantu mencapai tujuan reformasi. Kita yakin seyakin yakinnya bahwa bila urusan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diserahkan pada lembaga-lembaga yang sudah ada, reformasi tak mungkin mencapai apa yang hendak dicapai.

KPK dibentuk. Dan terbentuklah sudah. Kita lalu memiliki lembaga terhormat, hasil keputusan bangsa kita sendiri, dipimpin bangsa kita sendiri. Para pimpinan itu dipilih dengan cermat dan demokratis oleh wakil-wakil bangsa kita sendiri pula.

KPK bukan gagasan satu kelompok elite, kecil, terbatas, yang kesepian. KPK merupakan aset reformasi, dan memanggul mandat reformasi. Artinya KPK memanggul mandat yang dipercayakan seluruh bangsa.

Jika ditarik garis lurus, dengan warna tebal yang jelas, kelihatan oleh kita bahwa KPK itu sambungan aspirasi rakyat yang bergerak mencari ruang publik demi kebebasan sejak zaman Orde Baru dulu. Gerak perubahan itu berlanjut ke zaman reformasi, yang kemudian membentuk KPK. Jika ditanya, siapa yang merasa aspirasinya diwakili KPK, niscaya mayoritas, di atas 99%, angkat tangan dan mengatakan tanpa keraguan bahwa diri mereka diwakili KPK.

Mungkin, maaf, maling, garong, kecu , berandal, begal, dan kawan-kawannya, golongan kecil di dalam masyarakat kita, bukan hanya menyatakan KPK tak mewakili kepentingan mereka, melainkan jelas, KPK musuh utama mereka.

Di seluruh dunia, di mana ada warna putih, di situ selalu ada warna hitam, di mana ada orang baik di situ ada orang jahat. Orang baik selalu berhadapan dengan orang jahat. Orang baik suka lengah dan wataknya memang mudah lengah. Orang jahat selalu waspada.

Kelengahan berhadapan dengan kewaspadaan saja sudah berat urusannya. Apalagi orang jahat yang waspada itu juga punya watak licik, culas, siap menipu, dan siap menelikung kaki lawan. Siapa saja yang menghalangi mereka dianggap lawan. Dan lawan juga harus dibunuh. Dibunuh itu tidak hanya berarti secara harfiah orang dihilangkan nyawanya. Orang baik yang tiba-tiba diborgol juga berarti dibunuh.

Harga dirinya dibunuh. Kejujurannya dibunuh. Integritas moralnya dibunuh. Keberaniannya dibunuh. Jadi, kita tidak bisa hanya menjadi sekadar orang baik. Orang baik itu sudah baik di dalam dirinya sendiri. Tetapi belum baik untuk menjadi pansel KPK, komisioner KPK, staf umum dan juru bicara KPK. Di sana orang harus baik, harus berpikir taktis, harus bertindak strategis dan tak mudah ditipu oleh keculasan para bandit, kecu, maling, garong, perampok, begal, dan sejenisnya.

KPK itu aset reformasi dan memanggul mandat suci reformasi. Kesucian di dalam diri mereka, dan dalam misi mereka, membuat mereka tak mudah tertipu. Bekerja dalam kesucian itu kemuliaan yang tak usah diragukan. Koruptor yang dilawan KPK memang banyak. Tapi rakyat yang mendukungnya jauh lebih banyak.

Sebagai aset reformasi, KPK kuat dan agung. Terkutuklah mereka yang memusuhinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar