Kamis, 30 Juli 2015

Melecut Kemandirian Ekonomi NU

Melecut Kemandirian Ekonomi NU

Ali Masykur Musa ;  Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
                                                     KORAN SINDO, 29 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang hidup dan bersenyawa dengan dinamika sosial yang mengitarinya.
Saat ini NU sedang bersiap menyelenggarakan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Sejak awal berdiri pada 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan embrio berdirinya NU yaitu Tashwirul Afkar , Nahdlatul Watan, dan Nahdlatut Tujjar.

Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan dan keulamaan, Nahdlatul Watan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam pola gerak NU dari masa ke masa.

Dari tiga etos perjuangan tersebut, aspek mewujudkan kemandirian ekonomi yang berujung kepada kesejahteraan warga NU (nahdliyin) belum bisa dikategorikan dalam taraf yang memuaskan. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah, bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian.

Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh, NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mampu berfungsi sebagai kontrol pemerintah. Terlebih, bila memandang jauh ke depan, NU menghadapi tantangan multidimensi.

Globalisasi bukan hanya meliberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke pedesaan yang merupakan basis warga NU, tetapi juga membawa masuk pengaruh aliran transaksional yang tarik-menarik dengan ajaran dasar NU yang tradisional dan mengakomodasi kelokalan.

Liku Gerakan Ekonomi NU

Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh tertinggal.

Setelah Nahdlatut Tujjar , gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada tahun 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di pedesaan.

Koperasi ini berupaya membuka jaringan perdagangan antarpesantren yang banyak menghasilkan produkproduk pertanian dan usaha-usaha kecil lain. Namun, sungguh disayangkan, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Banyak alim ulama NU yang berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.

Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma.

Kehadiran Bank Nusumma ini adalah upaya menjembatani kebutuhan permodalan bagi pengembangan usaha-usaha warga NU dan dimaksudkan sebagai badan usaha untuk menopang kebutuhan NU. Namun, keberadaan Nusumma sendiri tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.

Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang.

Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Tak terhitung usaha kreatif pengembangan kemandirian ekonomi dilakukan oleh para aktivis lembaga, lajnah, dan badan otonom NU, maupun warga NU secara umum.

Selain itu, banyak pesantren NU yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren. Contoh yang paling jelas di antaranya adalah Koperasi Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya.

Namun, dengan derap gerakan itu, kenapa masih saja banyak sekali warga NU yang belum merasakan manfaatnya dan cenderung masih bertahan dalam zona kemiskinan mereka? Hal itu bisa terjadi karena tiga hal. Pertama, sikap hati-hati NU yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman.

Sikap demikian memang ada nilai positifnya, yaitu tetap kuatnya karakter dan identitas NU karena ia tidak mudah larut dalam perubahan. Namun, dampak negatifnya NU menjadi gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera.

Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kolompok tertentu.

Karena besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah, NU terkenal menjadi sebuah mobil besar yang bisa ditinggalkan begitu saja oleh sang penyewa setelah sampai di tujuannya.

Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro, dan strategi jangka panjangpendek dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiyyah-nya.

Hal ini mengakibatkan, berbagai potensi ekonomi NU tersebut masih terlihat terserak dan berjalan seorang diri. Dengan garis komando yang baik dan jejaring yang kuat, gerakan ekonomi NU akan tertata rapi dan mampu berperan secara maksimal dalam mengangkat perekonomian umat.

Ekonomi Berbasis Pesantren

Basis ekonomi terbesar NU bisa digerakkan melalui pesantren. Dari catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia.

Kemandirian pesantren sejak berabad-abad yang lalu menunjukkan bahwa pesantren telah memiliki basis ekonominya secara mandiri. Namun, perlu diakui juga bahwa kemampuan ekonomi pesantren masih bersifat tradisional, kecil, dan mayoritas pada sektor pertanian tradisional.

Pesantren tidak hanya mendidik ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, namun juga memberikan skills untuk mengembangkan ekonomi, khususnya dalam bertani, beternak dan berdagang melalui koperasi pesantren.

Dengan begitu, selepas dari pesantren para santri dapat hidup mandiri dengan bertani, beternak, atau menjadi pedagang kecil. Melihat peluang tersebut, ikhtiar untuk mengembalikan khitah pesantren sebagai aset sosial yang berfungsi ganda sebagai lembaga pencetak ulama dan instrumen transformasi sosial harus direvitalisasi.

Salah satu caranya adalah menumbuhkan pesantren sebagai kekuatan ekonomi yang berdaya guna sebagai motor penggerak kesejahteraan masyarakat. Seiring pula dengan perkembangan zaman, sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya dengan memperluas basis ekonominya melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi produksi.

Muktamar NU ke-33 yang dihelat di Jombang pada 1–5 Agustus 2015 adalah saat terbaik untuk memfokuskan wahana politik kebangsaan NU pada upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi umat.

Pengorganisasian kembali kekuatan nahdliyin merupakan peluang untuk mencapai kemandirian. Tegaknya kemandirian ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perekonomian pesantren-pesantren NU.

Dengan berbasis pesantren, gerakan NU di bidang ekonomi akan mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh.

Dengan kokohnya pilar kemandirian ekonomi dan moralitas spiritual, NU dan bangsa Indonesia bisa menjadi pengimbang derasnya liberalisasi ekonomi dunia. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar