Minggu, 27 September 2015

Musik, Teknologi dan Partikel Kemanusiaan

Musik, Teknologi dan Partikel Kemanusiaan

Erie Setiawan ;  Direktur Art Music Today; Aktivis Musik
                                                     KOMPAS, 27 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hampir tak ada parameter yang jelas kapan musik menjadi sebuah hiburan, kapan pula harus dimaknai sebagai seni, dan apa kaitan sesungguhnya antara musik dan nasib kehidupan manusia jika kita menganggap musik itu sebuah pendidikan—bahkan kebudayaan.

Terlepas dari berbagai dialektika sepanjang sejarah, teknologi—sebagai ari- ari peradaban untuk pertahanan dan inovasi—terus muncul dan berubah dari detik ke zaman, meladeni kebutuhan manusia, baik yang sifatnya mempermudah, mempersulit, hingga yang menjadikannya mesiu untuk menipu. Sekarang adalah era yang paling baik untuk belajar mengenai sejarah sekaligus memprediksi berbagai kemungkinan terbaik dan ternaif di masa depan.

Contoh sederhana bagi kemudahan teknologi tersebut, misalnya, jika dulu orang merekam permainan gitar mutlak harus di studio, sekarang bisa di mana saja berkat sebuah teknologi mungil bernama USB Guitar Link yang besarnya tidak lebih dari tempe goreng ukuran standar. Tinggal dicolok ke komputer jinjing dalam waktu maksimum dua detik, lalu siap rekam.

Teknologi musik juga bisa menjadikan orang stres tanpa kenal ampun, memelototi komputer seharian untuk coding (melakukan pemrograman), menciptakan bunyi-bunyi sintesis secara mandiri. Lalu muncul sonic art yang estetikanya ada pada unsur teknis yang membutuhkan logika matematika sekaligus fisika bunyi yang tidak mudah, butuh konsentrasi tinggi.

Teknologi musik juga telah berhasil menciptakan ”era sampah” yang menjadikan musik tidak memiliki derajat sama sekali. Jerih payah kekaryaan di dalam musik tak perlu diungkit ketika itu semua sudah tersebar di internet. Bisa diunduh segratis-gratisnya. Dengan atau tanpa uang, musik adalah sesuatu yang terus jalan menemukan variasi-variasinya setiap hari.

Kontes-kontes musik ”murahan” yang mengabdi pada spektakel-spektakel pertunjukan semu tak ubahnya kedok dari hegemoni ekonomi-politik yang menjauhkan nilai-nilai sejati, melunturkan keluhuran akal-budi, serta menyedot pori-pori kemanusiaan yang mengakibatkan dangkalnya pemaknaan akan seni.

Industri musik

Perjalanan industri musik Indonesia, misalnya, selama sedikitnya tujuh dekade dalam tujuh kepemimpinan ini hanya menghasilkan kerugian material yang tidak sebanding dengan kualitas hasil karya. Tidak bisa diharapkan untuk mendukung Negara dan Bangsa ini menjadi citra sesungguhnya dari kebesaran kebudayaannya. Dan Negara juga dipertanyakan peran-sertanya bagi masa depan musik.

Hal itu secara nyata ditandai dengan tidak adanya lagi ruang bagi musik untuk anak-anak. Tak ada proteksi bagi hiburan-hiburan musik yang muncul di televisi. Yang ada hanya tontonan dewasa yang ditonton anak-anak. Sehingga perilaku anak-anak zaman sekarang adalah copy-paste dari para orang-tuanya yang setiap hari memelototi televisi. Apakah Negara tidak mampu untuk beritikad baik kepada masa depan anak-anak? Sungguh hal ini merupakan dosa yang sulit untuk dinetralkan.

Pada abad ke-21 ini, di mana setiap orang berlomba menemukan keasyikannya sendiri melalui teknologi (musik) yang berkembang, memunculkan skeptisme baru terhadap masa depan musik (kemanusiaan). Pendidikan musik yang berada di jalur formal dalam ukuran strata akademis juga belum paralel terhadap kebutuhan akan musik sebagai sebuah pencerahan atau sumbangsih bagi Bangsa. Yang sering terjadi adalah proyek-proyek yang menguntungkan kelompok dan jaringan tertentu, bahkan individu yang kurang memedulikan nasib generasi mendatang.

Musik lalu digiring menjadi bagian dari industri kreatif yang mengupayakan mikro daripada makro, tetapi riset yang sungguh-sungguh terhadap data potensi-potensi local genius orang-orang kreatif Indonesia tak pernah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Alasannya kering dana. Padahal pada era med-sos sekarang nyaris tak ada sekat yang cukup berarti untuk berjejaring satu sama lain secara terbuka dan kapan saja.

Lalu apa yang diperjuangkan Negara ini mengenai kebudayaannya? Apakah pilar-pilar kebudayaan itu harus selalu disertai permainan ekonomi-politis, ataukah kita bisa bekerja secara mandiri tanpa harus bergantung apa-apa kecuali niat tulus pada komitmen naluri dan nurani masing-masing?

Musik adalah barang sepele, tetapi sudah banyak yang percaya kekuatannya. Maka dari itu setiap orang terus berinovasi dengan kemampuan teknologis demi meningkatnya kualitas kemanusiaan. Bagi Negara yang sadar (dari naluri) akan kekuatan besar musik dan turut mendukung misi-misi senimannya, seperti Jepang, Hongaria, dan Polandia, tidak pernah merasa perlu untuk mendiskusikan kembali hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Mereka hanya berangkat dari hal-hal sederhana yang realistis dengan disertai kegigihan mengumpulkan bibit-bibit potensi yang dipupuk serius lalu menjadikannya tabungan bagi masa-depan.

Kita sebaliknya, selalu mengumbar tema-tema besar untuk penyelenggaraan seminar atau gelaran yang menghabiskan dana besar tanpa hasil yang terasa bagi perjalanan nilai hakiki kemanusiaan. Bukankah ini ironi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar