Minggu, 31 Januari 2016

Bagaimana Menakar Kemujaraban Kebiri?

Bagaimana Menakar Kemujaraban Kebiri?

Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik;
Penulis Buku ”Ajari Ayah, ya Nak”; Staf Yayasan Parinama Astha
                                                KORAN SINDO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sejumlah kesempatan, KPAI menyebut ada hubungan antara wacana kebiri bagi predator seksual anak dan jumlah pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut KPAI, hubungan tersebut adalah sejak pemerintah mengemukakan rencana penerapan kastrasi kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, jumlah laporan yang masuk ke KPAI menurun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kenyataan tersebut, simpul KPAI, mengindikasikan bahwa sebatas wacana pemberatan hukuman pun sudah berhasil menimbulkan efek jera di masyarakat.

Di bawah ini adalah beberapa catatan terkait pandangan KPAI tersebut. Pertama, hingga kini di Indonesia belum tersedia data terpusat dan terintegrasi tentang kejadian atau bahkan sebatas laporan tentang kekerasan maupun penelantaran terhadap anak. Berbagai lembaga yang berurusan dengan kejahatan tersebut memiliki basis datanya masing-masing. Isian data pun diperoleh dengan metode yang belum diseragamkan.

Akibat itu, sangat sulit memastikan jumlah kejadian yang sesungguhnya ataupun setidaknya jumlah laporan yang terhimpun. Pada sisi lain, sebagai sebuah lembaga layanan, aset terpenting bagi KPAI adalah kepercayaan publik. Manakala di tengah masyarakat telah terbangun sikap positif terhadap KPAI, masyarakatutamanya korbanakan merasa lebih terdorong untuk mengadukan masalah- masalah yang berhubungan dengan anak yang mereka hadapi.

Kepercayaan publik pada gilirannya berujung pada meningginya data laporan atau pengaduan yang KPAI terima. Data laporan yang meninggi, dengan demikian, lebih tepat apabila dijadikan sebagai indikator kepercayaan publik ketimbang sebagai angka kejadian itu sendiri. Dengan logika sedemikian rupa, penurunan angka laporan yang masuk ke KPAI pun akan lebih baik jika ditafsirkan sebagai tanda-tanda berkurangnya kepercayaan publik.

Bukan sebagai berkurangnya kejadian kejahatan seksual terhadap anak. Penafsiran sedemikian rupa diharapkan akan membangun keinsafan bagi KPAI selaku lembaga induk perlindungan anak di Indonesia untuk terus-menerus meningkatkan layanannya kepada masyarakat dan organisasi- organisasi mitra. Karena, semakin banyak jumlah laporan yang KPAI terima, semakin positif pula sesungguhnya upaya penguatan kepercayaan publik dan pembangunan kapasitas lembaga.

Kedua, sebagai suatu bentuk hukuman, filosofi efek jera (deterrence effect) telah terlihat sejak awal wacana kebiri hormonal dilontarkan ke publik. Efek jera sesungguhnya memiliki dua proses, yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung terjadi ketika predator yang telah dikebiri tidak mengulangi perbuatan jahatnya, sedangkan efek jera tidak langsung dapat diamati ketika orang-orang tidak meniru kelakuan jahat si predator.

Dengan kata lain, kastrasi hormonal akan terasa manfaatnya dalam memunculkan efek jera tidak langsung ketika tidak ada predator-predator baru. Menarik untuk ditelisik lebih jauh, efek jera manakah yang sedang KPAI coba simpulkan ketika mengeluarkan pernyataan terkait wacana kastrasi dan penurunan jumlah laporan masyarakat. Apakah penurunan itu merupakan efek jera langsung kebiri?

Pasti bukan, mengingat sampai kini belum ada satu pun predator yang sudah dikebiri. Bahkan, jangankan eksekusi kebiri, keputusan resmi tentang pemberatan hukuman berupa kastrasi bagi predator pun belum kunjung dirilis pemerintah. Apakah penurunan itu diakibatkan oleh efek jera tidak langsung?

Ini lebih kompleks lagi karena sebagaimana isi laporan kinerja KPAI akhir 2015, lembaga tersebut juga tidak melakukan identifikasi spesifik tentang jumlah kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan pelaku yang sama (residivis). Andai suatu saat nanti kebiri bagi predator seksual jadi diterapkan, efek langsung sanksi tersebut lebih mudah ditakar daripada efek tidak langsung.

Tambahan lagi, data mengenai residivisme lebih bisa diandalkan (dipercaya). Asumsi ”gunung es” tidak berlaku karena nama-nama pelaku kriminal kambuhan yang kembali dibui bisa dipastikan terdokumentasi dalam basis data Polri, Kejaksaan, dan Ditjen. Lembaga pemasyarakatan. Tinggal lagi, ke depan KPAI juga mengompilasi data tersebut.

Kebiri hormonal hanya bisa dinilai ampuh untuk menekan kejahatan seksual terhadap anak hanya apabila pelaku tidak menjadi mengulangi perilaku jahatnya serta tidak ada pemunculan pelaku-pelaku baru dalam jumlah yang signifikan. Jadi, apabila predator yang menjadi residivis berjumlah kecil, dapat disimpulkan bahwa kebiri kimiawi memang mujarab sebagai sanksi ekstra bagi para predator durjana.

Sebaliknya, kalau jumlah predator-residivis itu tinggi, kebiri kimiawi tidak terbukti ampuh memunculkan efek jera langsung. Bahkan, karena efek jera langsung saja tidak terbentuk, apalagi efek jera tidak langsung - tentu lebih diragukan lagi. Poin tentang efek jera di atas memberikan garis bawah terhadap gagasan yang saya angkat berulangkali tentang pentingnya sebuah basis data khusus predator.

Basis data tersebut harus didesain sedemikian rupa sehingga menjadi semacam riwayat kejahatan setiap predator yang dapat diakses oleh publik secara terbuka. Basis data seperti itu akan memudahkan semua pihak untuk memfungsikan efek jera, baik langsung maupun tidak langsung, sekaligus sebagai ”kompensasi” (sanksi sosial) atas kurang memuaskannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa kejahatan seksual terhadap anak.

Ketiga, mirip dengan rekapitulasi data yang diumumkan oleh berbagai lembaga pelayanan publik, KPAI menjadikan jumlah laporan yang diterimanya dari masyarakat sebagai indikator kerjanya. Meski tidak salah, laporan atau rekapitulasi KPAI tersebut seyogianya disusun lebih komprehensif lagi.

Yang tak kalah pentingnya bagi KPAI dan publik adalah menginformasikan kepada masyarakat ihwal jumlah kasus yang tertangani dan tidak tertangani, jumlah kasus yang terselesaikan, serta jumlah kasus yang terselesaikan dengan solusi dan putusan yang benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Lebih jauh, sebagai lembaga dengan fungsi koordinatif, KPAI juga sepatutnya memasukkan ke dalam rekapitulasinya jumlah serta peran kementerian maupun lembaga nonkementerian yang terlibat dalam penanganan kasus-kasus di lapangan.

Semakin banyak penanganan kasus-kasus anak yang diselenggarakan secara lintas lembaga, semakin komprehensif pula masalah anak teratasi. Seberapa jauh kapasitas KPAI selaku badan noneksekutorial akan bisa diukur dari situ. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar