Sabtu, 23 Januari 2016

Rusuh Mempawah dan Antipati Terorisme

Rusuh Mempawah dan Antipati Terorisme

Yulius Dwi Cahyono  ;   Dosen Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma Jogjakarta
                                                      JAWA POS, 22 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BELUM genap satu minggu teror Jakarta (14/1), tragedi lain kembali muncul dalam motif dan bentuk yang berbeda. Segerombolan massa dalam jumlah yang banyak melakukan pembakaran permukiman dan pengusiran paksa terhadap sekitar 700 warga eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mempawah, Kalimantan Barat (19/1).

Hadirnya permukiman baru yang dihuni warga eks Gafatar asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jogjakarta itu dinilai dapat menjadi virus dan mengancam keamanan Mempawah. Mereka menginginkan eks Gafatar hengkang dari sana.
Peristiwa tersebut, jika kita cermati, tidak dapat dipisahkan dari aksi teror bom di Thamrin, Jakarta. Aksi teroris yang lebih nekat dan terbuka itu secara psikologis memberikan dampak tidak langsung terhadap warga. Warga menjadi semakin sensitif, geram, dan antipati terhadap setiap gerakan yang dinilai berpotensi melakukan aksiaksi teror. Aksi main hakim sendiri seperti di Mempawah pun menjadi tidak terelakkan.

Gafatar sejatinya telah berdiri sejak 2011. Secara resmi organisasi itu dideklarasikan pada 21 Januari 2012 dengan Ketua Umum Mahful M. Tumanurung. Gafatar mengklaim sebagai organisasi kemasyarakatan yang berasas Pancasila.

Menurut pengamat teroris Al Chaidar, organisasi itu merupakan metamorfosis dari Millah Abraham pimpinan Ahmad Musadeq. Lantas berkembang menjadi Negara Islam Indonesia (NII) hingga kemudian terbentuk Gafatar.

Itu senada dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang pada intinya mengatakan bahwa organisasi tersebut memiliki pertalian dengan NII. Nama organisasi itu mencuat ketika dokter Rica Tri Handayani –yang diduga pernah mengikuti organisasi tersebut– dikabarkan menghilang sejak 30 Desember 2015 dan ditemukan di Mempawah (11/1).

Dari peristiwa Mempawah dan bom Thamrin dapat ditangkap kesan bahwa betapa mudahnya warga kita terprovokasi melakukan tindak kekerasan (main hakim sendiri). Dan begitu mudahnya pula warga kita terpikat serta mengikuti berbagai organisasi semacam Gafatar.

Mengapa demikian?

Pertama, pemerintah kurang memiliki ketegasan bertindak dalam mengontrol dan menindak tegas organisasi-organisasi yang tidak selaras dengan empat pilar kehidupan berbangsa, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Dilihat dari sejarah perkembangan radikalisme di Indonesia, masa Orde Lama dan Orde Baru (terlepas dari praktik manipulasi di era Orde Baru ini) jauh lebih tegas dalam meredam gerakan radikal daripada era reformasi ini.

Terbukti, ketika Orde Baru tumbang, beberapa kelompok radikal mulai bermunculan dengan memanfaatkan kebebasan di era reformasi. Salah satu permasalahan utama di era reformasi memang kebebasan yang tidak terkontrol. Dalam prinsip hidup berdemokrasi, kebebasan yang tidak diatur dengan baik dapat berbenturan dengan kebebasan yang lain.

Dari kasus Gafatar, pemerintah tergolong terlambat bertindak mengingat organisasi itu telah lima tahun berjalan. Kurangnya pengawasan dan ketegasan pemerintah memunculkan rasa tidak puas, tidak aman, dan surutnya kepercayaan masyarakat.

Antipati terhadap terorisme tumbuh dalam bentuk yang negatif. Sebagai dampaknya, 700 warga eks Gafatar yang mungkin tidak lagi hidup sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi tersebut menjadi korban. Hak mereka sebagai warga negera juga terampas.

Upaya rehabilitasi sebaiknya perlu dilakukan untuk warga eks pengikut organisasi-organisasi radikal. Itu bertujuan untuk menghindari labelisasi sebagai kelompok teror dan demi menumbuhkan kepercayaan serta rasa aman warga non-eks organisasi radikal. Rehabilitasi tersebut juga penting untuk mengarahkan mereka berdasar empat pilar kehidupan berbangsa di atas.

Kedua, terjadi degradasi moral bangsa. Dalam era reformasi ini sungguh masyarakat kita disuguhi banyak praktik tidak terpuji. Mulai praktik korupsi, pelanggaran hukum, hingga tindakan amoral lainnya. Menjadi contoh antara lain kasus Setya Novanto dan Damayanti Wisnu. Akibat degradasi moral yang tidak ketulungan itu, sampai beredar istilah ”Negeri Para Mafia” untuk negeri ini. Sungguh ironis, bukan?

Terkait dengan kasus radikalisme di Indonesia, pada dasarnya radikalisme adalah aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras. Sehingga secara tidak sadar kemerosotan moral para wakil rakyat dan krisis multidimensi turut memicu/menyumbang berkembang dan lahirnya gerakan radikalisme.

Juga semakin banyak pribadi yang tertarik untuk bergabung dengan gerakan semacam itu dengan alasan ingin merombak keterpurukan tersebut. Realitas keterpurukan moralitas para wakil rakyat dan adanya ketidakadilan menjadi rumus yang ampuh untuk merekrut anggota baru dalam gerakan mereka.
Ketiga, masyarakat secara umum belum terbiasa berpikir kritis terkait gerakan radikalisme saat ini. Prof Syafii Maarif, salah seorang ulama besar Indonesia, pernah menyatakan bahwa khalifah saat ini bukan merupakan produk syariat Islam. Melainkan produk politik pasca-Nabi.

Menurut beliau, kekhalifahan modern tidak memiliki tempat berpijak di dalam Alquran dan Assunnah. Sederhananya, pemaksaan syariat dalam khalifah modern yang sering diusung kelompok radikal merupakan bentuk politisasi agama.

Sebagaimana yang diungkapkan Presiden Pertama RI Soekarno, bangsa yang kuat adalah bangsa yang masyarakatnya berkarakter. Karena itu, perbaikan kualitas mental bangsa menjadi bangsa yang kritis dan terbuka sesuai dengan empat pilar kehidupan berbangsa adalah jalan terbaik untuk meredam gerakan radikal. Juga mencegah kekerdilan dalam berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar