Jumat, 12 Februari 2016

Jalan Panjang Membangun Angkutan Massal

Jalan Panjang Membangun Angkutan Massal

M Puteri Rosalina  ;   Litbang Kompas
                                                     KOMPAS, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah menunggu setengah abad lebih, impian Jakarta untuk memiliki angkutan massal berbasis rel sebentar lagi akan terwujud. Tahun 2018, mass rapid transportation (MRT) dan light rail transit (LRT) akan beroperasi berbarengan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Selama ini, masalah biaya, pembebasan lahan, bahkan pergantian kepemimpinan menjadi penghambat impian pemerintah dan warga Jakarta untuk memiliki angkutan massal cepat.

Sebelum bus transjakarta tahun 2004, sebenarnya Jakarta pernah memiliki angkutan massal, yakni trem. Trem pada tahun 1869 dihadirkan Belanda di Kota Batavia sebagai alat transportasi. Trem generasi pertama tersebut menggunakan tenaga empat kuda.

Setelah itu sekitar tahun 1881, moda transportasi berganti menjadi trem uap. Trem dengan tungku bahan bakar batubara di bagian depan ini jarak tempuhnya lebih jauh dibandingkan trem kuda. Kelemahan trem ini adalah suaranya yang bising.

Hampir 20 tahun kemudian muncul trem listrik. Namun, trem listrik ini tidak lantas menghapus keberadaan trem uap. Trem uap baru berhenti beroperasi tahun 1933. Trem ini menggunakan tenaga listrik melalui pantograf dan kabel-kabel listrik di atasnya.

Akhirnya trem listrik ini harus mengakhiri tugasnya pada tahun 1960. Gubernur Sudiro menghapus trem karena dianggap sumber kemacetan, terutama di jalur Gajah Mada. Presiden Soekarno pun tidak menyetujui keberadaan trem dan mengusulkan metro atau kereta api bawah tanah sebagai pengganti moda transportasi massal tersebut.

Sejak trem listrik dihapuskan, Jakarta mulai kehilangan transportasi massal yang membantu mobilitas warga di dalam kota. Perannya digantikan oleh bus yang dikelola oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Daya angkut bus yang hanya bisa mengangkut maksimal 60 orang tersebut jauh lebih kecil dibandingkan trem listrik yang rangkaiannya bisa menarik tiga gerbong. Sebenarnya pada tahun 1925 sudah mulai beroperasi kereta api yang ditarik lokomotif listrik. Namun, rutenya terbatas hanya Jakarta Kota-Pasar Senen-Jatinegara dan belum beroperasi rutin.

Rencana awal kereta rel

Penghapusan trem menjadi penyesalan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah pimpinan DKI berupaya untuk mengembangkan sistem kereta api listrik yang sudah ada serta membangkitkan kembali angkutan massal berbasil rel. Namun, upaya tersebut hanyalah rencana indah di atas kertas yang tak pernah terwujud.

Angkutan massal, menurut Modul "Opsi Angkutan Massal: Transportasi Berkelanjutan", beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah serta digunakan secara eksklusif. Moda ini beroperasi sesuai jadwal yang ditetapkan dengan rute yang didesain dengan perhentian-perhentian tertentu. Hal terpenting, angkutan massal ini bisa mengangkut banyak orang sehingga mengurangi volume lalu lintas di jalan raya.

Mengacu pada hal tersebut, Gubernur Soemarno (1964) menyarankan menggunakan kereta api bawah tanah di dalam kota untuk menggantikan jalur kereta api permukaan Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota yang telah ada. Pertimbangannya, ke depan akan timbul kemacetan lalu lintas seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan mobilitasnya. Daya angkut kereta yang saat itu bisa mengangkut 80.000 orang per hari lebih efisien dibandingkan mengangkut 80.000 orang menggunakan 2.650 bus. Namun, rencana tersebut gagal karena keterbatasan dana.

Tak puas dengan berbagai rencana pengembangan transportasi massal, tahun 1993 muncul usulan rencana untuk membangun transportasi LRT. LRT yang direncanakan dibangun menyatu dengan pola KA Jabotabek memakai teknologi baru aeromovel, yakni kereta penumpang yang digerakkan oleh udara. Tahap pertama pengembangan LRT ini adalah membangun rel ganda antara Tangerang-Bekasi sepanjang 36,5 kilometer dan Blok M-Jakarta Kota dan simpang Jalan Sudirman-Jalan Casablanca (15 km).

Namun, pembangunan jalur Blok M-Kota dikhawatirkan akan mengganggu pengguna gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman-Thamrin. Secara fisik, jalur MRT tersebut akan terdiri dari tiga susun (triple decker), yaitu lantai atas untuk jalan tol, lantai tengah untuk jalur LRT, serta lantai dasar merupakan jalan raya yang sudah ada sekarang.

Sampai 2001 pada masa pemerintahan kedua Gubernur Sutiyoso, rencana pembangunan triple decker belum juga terwujud. Padahal, transportasi massal tersebut dijanjikan sudah beroperasi pada tahun 2000. Di tengah janji-janji manis tersebut, muncul usulan mengatasi kemacetan Jakarta dengan transportasi massal monorel dan bus transjakarta.

Belakangan, rencana pembangunan monorel malah tak pernah terwujud sampai sekarang meski tiang pancangnya sudah kadung berdiri. Faktor ketidakjelasan proyek, dana investasi, serta daya tampungnya yang lebih kecil membuat proyek ini dibatalkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada September 2015.

Bus transjakarta

Akhirnya, setelah puluhan tahun rencana pembangunan transportasi massal tak pernah terlaksana di Jakarta, pada tahun 2004 lahirlah angkutan massal berbasis jalan raya. Moda yang menggunakan jalur khusus di jalan raya ini bernama bus transjakarta.

Bus transjakarta dipilih oleh Gubernur Sutiyoso saat itu karena biayanya lebih murah dibandingkan monorel ataupun MRT. Berdasarkan buku Busway, Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta (Dagun, 2006), per kilometer bus transjakarta membutuhkan dana 0,8 juta-2 juta dollar AS. Nilai ini sangat murah dibandingkan monorel atau MRT. Sebagai perbandingan, ongkos membangun MRT di Singapura yang per kilometernya bernilai 45-105 juta dollar AS setara dengan biaya membangun bus transjakarta sepanjang 135 kilometer.

Meski murah, sejumlah pihak mengkhawatirkan kehadiran bus transjakarta tersebut akan menimbulkan kemacetan baru karena memakai satu jalur pada ruas jalan raya. Alasan lainnya kapasitas bus ini jauh lebih rendah dibandingkan MRT atau monorel.

Kapasitas bus sekali angkut adalah 85 penumpang, sedangkan kereta komuter bisa mengangkut 1.000 penumpang dalam satu rangkaian. Namun, saat itu Dinas Perhubungan DKI Jakarta meyakinkan meski kapasitasnya lebih sedikit, dengan ketersediaan armada yang banyak serta waktu tunggu yang berkisar 25 detik akan bisa menyamai kemampuan angkutan berbasis rel.

Soal menimbulkan kemacetan, Dinas Perhubungan yakin jika kebijakan push and pull berjalan, tidak akan berdampak pada kondisi lalu lintas. Kebijakan tersebut berupaya menekan penggunaan kendaraan pribadi agar keluar dari sistem jaringan jalan dengan menyediakan angkutan bus dan pengumpan yang mampu menarik mereka agar beralih ke angkutan umum.

Namun, sampai sekarang, bus transjakarta yang sudah menjadi 12 koridor (sekitar 220 km) belum sepenuhnya bisa menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta. Pengguna kendaraan pribadi belum mau beralih ke bus transjakarta karena kualitas armadanya yang semakin menurun, waktu tunggu yang lama, serta kesulitan untuk menjangkau halte bus dari lingkungan permukiman. Penumpang bus transjakarta pun cenderung stagnan beberapa tahun terakhir ini. Jumlah penumpang transjakarta yang rata-rata 350.000 orang per hari saat ini masih jauh dari target 1 juta orang per hari pada akhir tahun 2016.

MRT dan LRT

Setahun setelah bus transjakarta beroperasi, usulan membangun angkutan massal berbasis rel MRT kembali mencuat. Saat itu, Presiden menegaskan bahwa proyek MRT Jakarta merupakan proyek nasional. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta kemudian bergerak dan saling berbagi tanggung jawab. Pencarian dana pinjaman disambut oleh Pemerintah Jepang.

Akhirnya tanggal 10 Oktober 2013, proyek MRT diresmikan dengan proses peletakan batu pertama oleh Gubernur Joko Widodo di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. PT MRT Jakarta bertindak selaku penanggung jawab proyek yang akan selesai pada 2018. Proyek kereta yang bisa mengangkut 173.000 penumpang ini memiliki panjang bentangan ke koridor selatan-utara dan timur-utara 110,8 kilometer. Pada tahap pertama akan dibangun koridor selatan-utara dari Lebak Bulus-Bundaran HI. Pembangunan ruas koridor ini sekarang sudah menghasilkan dua terowongan untuk jalur MRT dari Patung Pemuda hingga Stasiun Senayan.

Dua tahun kemudian, proyek angkutan massal LRT diresmikan pada 9 September oleh Presiden Joko Widodo di Gerbang Tol TMII, Jakarta Timur. Proyek kereta ringan ini dibangun oleh pemerintah pusat yang menitikberatkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kawasan Cibubur, Bogor, dan Bekasi. Adapun Pemprov DKI Jakarta juga berencana membangun LRT di dalam kota Jakarta. Namun, proyek pembangunan tersebut harus menunggu empat bulan lagi karena PT Jakpro harus mengkaji ulang desain dasar dan trase LRT (Kompas, 19 Januari 2016).

Diharapkan kereta ringan dan kereta berat bisa berkolaborasi bersama. Kereta ringan yang kapasitasnya hanya 400 penumpang dalam setiap rangkaiannya bisa menjadi pengumpan bagi angkutan massal MRT yang berkapasitas lebih besar (1.950 penumpang per rangkaian). Namun, fasilitas pendukung kedua moda massal ini, seperti stasiun, jumlah armada, serta sistem tiket, haruslah nyaman, mudah diakses, serta murah.

Selanjutnya, kedua angkutan massal ini yang beroperasi bersamaan ini bisa terintegrasi dengan angkutan massal yang sudah ada, yakni bus transjakarta dan kereta komuter. Tahun 2018 menjadi penentu, apakah moda massal yang telah beroperasi mampu menarik minat pengguna kendaraan pribadi sehingga berdampak pada berkurangnya kemacetan lalu lintas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar