Jumat, 20 Januari 2017

Freeport Dulu, Kini, dan Nanti

Freeport Dulu, Kini, dan Nanti
Fahmy Radhi ;  Dosen UGM;  Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
                                                INDONESIANA, 16 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dulu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Modal Asing, kontrak karya (KK) Freeport untuk pertama kali ditandatangani pada 1967. Pada 1991, kontrak itu diperpanjang lagi selama 30 tahun hingga kontrak baru akan berakhir pada 2021. Sudah lebih dari setengah abad pemerintah Indonesia mendapatkan pembagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI) hanya sebesar 9,36 persen. Mayoritas saham sebesar 90,64 persen dikuasai oleh Freeport-McMoRan Copper & Golden Inc. Parahnya, dividen yang jumlahnya kecil kerap kali tidak dibayarkan. Dalam dua tahun terakhir, PTFI tidak membayarkan sepeser pun pembagian dividen kepada pemerintah dengan alasan laba ditahan untuk ekspansi.

Terkuaknya skandal "papa minta saham" tahun lalu sesungguhnya mengkonfirmasi dugaan skandal serupa saat perpanjangan kontrak karya pada 1991 di bawah rezim Orde Baru. Konon, pejabat setingkat menteri dan pengusaha beserta kroni-kroninya mendapat bagian sejumlah saham dari PTFI. Tapi, tidak berapa lama kemudian, saham tersebut dijual kembali kepada PTFI. Untungnya, skandal "papa minta saham" itu terkuak sehingga perpanjangan kontrak karya Freeport yang merugikan negara dapat dicegah.

Setelah terkuaknya skandal itu, Maroef Sjamsoeddin secara mengejutkan mengundurkan diri sebagai Presiden Direktur PTFI. Untuk menggantikan Maroef, PTFI mengangkat Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara. Pengangkatan Chappy mengindikasikan bahwa PTFI bukan mencari figur profesional, melainkan figur yang bisa menjamin keamanan serta melancarkan lobi ke pemerintah dan DPR. Lobi itu berkaitan dengan ekspor konsentrat, divestasi saham PTFI, dan perpanjangan kontrak karya Freeport 2021.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara kini mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter untuk mengolah mineral dan batu bara mentah di dalam negeri. Aturan itu juga melarang ekspor mineral dan batu bara mentah dalam bentuk konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar tertentu. Kendati undang-undang itu telah memberikan tenggat selama lima tahun, sebagian besar perusahaan tambang tidak mampu memenuhi kewajiban smelterisasi.

Sejak diberlakukan larangan ekspor konsentrat pada 12 Januari 2014, Freeport termasuk yang menolak keras sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK besar-besaran. Bahkan, Freeport sempat mengancam akan menggugat Indonesia ke arbitrase internasional atas larangan tersebut.

Bagi Freeport, pelarangan itu merupakan ancaman serius terhadap aliran kas masuk. Perusahaan itu sangat bergantung pada kas masuk ekspor konsentrat, yang kemudian diolah menjadi emas batangan dengan nilai tambah berlipat. Bagi Indonesia, ekspor konsentrat yang dilakukan oleh Freeport tidak memberikan nilai tambah yang berarti.

Karena itu, pemerintah harus menghentikan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat. Pemerintah harus kembali ke Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang secara tegas melarang ekspor mineral dan batu bara mentah. Pelarangan ekspor konsentrat dalam jangka pendek memang berpotensi menurunkan nilai ekspor mineral dan batu bara Indonesia. Namun, dalam jangka panjang, ekspor mineral dan batu bara yang sudah diolah di smelter Indonesia akan kembali meningkat dengan nilai tambah yang jauh lebih besar daripada nilai tambah ekspor konsentrat.

Kegagalan PTFI mengupayakan perpanjangan kontrak karya Freeport tidak menyurutkan langkahnya untuk menempuh upaya lain. Kali ini, PT FI menggunakan kewajiban divestasi saham sebagai "perangkap" bagi pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, PTFI wajib menawarkan sahamnya sebesar 10,64 persen paling lambat pada Oktober 2016 dan sisanya yang 10 persen harus sudah ditawarkan pada 2019. Tapi, baru di akhir tenggat PTFI akhirnya menawarkan 10,6 persen sahamnya dengan harga yang sengaja dipatok sangat tinggi, yakni US$ 1,7 miliar atau Rp 23,8 triliun.

PTFI sengaja menetapkan harga tawaran yang sangat tinggi dengan harapan Pemerintah akan menawarnya. Saat pemerintah mengajukan tawaran, PTFI akan menerima begitu saja berapa pun harga yang diajukan. Ketika pemerintah sudah memutuskan pembelian 10,6 persen saham, saat itulah pemerintah "terperangkap". PT FI akan menjadikan keputusan pemerintah itu sebagai pembenaran perpanjangan kontrak karya Freeport pada 2021 hingga 2041. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi punya alternatif untuk mengambil alih Freeport pada 2021. Agar tidak terperangkap oleh jebakan itu, pemerintah dan BUMN jangan pernah membeli divestasi saham PT FI, berapa pun harganya.

Nantinya, sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali mengambil alih penguasaan dan pengelolaan tambang Freeport. Untuk itu, pemerintah harus menguasai tambang Freeport saat kontrak karya Freeport berakhir pada 2021 sehingga tidak ada konsekuensi hukum dan biaya dalam pengambilalihan Freeport.

Maka, sejak sekarang, pemerintahan Joko Widodo dan berbagai komponen bangsa perlu meneriakkan secara bersama: "Stop Perpanjangan Kontrak Karya Freeport" pada 2021. Pengambilalihan Freeport tidak hanya meningkatkan kemakmuran rakyat, tapi juga manifestasi dari kedaulatan energi, seperti yang diamanahkan oleh konstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar