Sabtu, 21 Januari 2017

Poros Maritim Butuh Gebrakan

Poros Maritim Butuh Gebrakan
I Gede Wahyu Wicaksana ;  Dosen Hubungan International
FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                    JAWA POS, 20 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN 2017 menandai separo jalan kebijakan luar negeri pemerintahan Jokowi-JK yang dibingkai dalam visi misi poros maritim dunia. Indonesia ingin dijadikan sebagai negara kepulauan dan bangsa maritim kuat, stabil, dan sejahtera sehingga dapat memainkan peran signifikan di kancah regional Asia Pasifik dan Samudra Hindia (Indo-Pasifik). Apakah sudah ada gebrakan menuju poros maritim dunia?

Rencana aksi poros maritim dunia mencakup lima agenda prioritas. Pertama, mempercepat upaya diplomasi penyelesaian konflik perbatasan, termasuk wilayah darat, dengan 10 negara tetangga. Kedua, melindungi teritori laut nasional. Ketiga, menjaga kekayaan sumber daya alam di dalam zona ekonomi eksklusif. Keempat, mengintensifkan diplomasi pertahanan. Kelima, mendorong resolusi damai konflik internasional melibatkan negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik. Program aksi yang berdimensi kompleks, mulai dari hukum, politik, ekonomi, keamanan, hingga pertahanan. Karena itu, dibutuhkan sebuah instrumen kerja diplomasi kreatif, aplikatif, dan efektif.

Masalah luar negeri yang menjadi salah satu tantangan serius adalah peningkatan ketegangan antarnegara yang bersengketa di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Eskalasi konflik dipicu oleh tindakan provokatif Beijing yang tidak menghiraukan hukum internasional, kedaulatan, dan kepentingan negara lain. Bahkan, pada Maret 2016 sempat terjadi insiden di perairan Natuna yang diklaim sebagai bagian nine dash line Tiongkok. Respons Jakarta seperti biasa hanya meliputi tiga komponen, yakni protes kepada Tiongkok yang telah melanggar yurisdiksi Indonesia, desakan agar Tiongkok mematuhi norma, dan mengajak semua pihak yang berurusan dengan Tiongkok agar duduk bersama mencari solusi permanen. Hasilnya, Tiongkok menolak ajakan berembuk secara multilateral dan tetap kukuh pada pendirian bahwa nine dash line menjangkau pula wilayah Natuna. Artinya, Indonesia belum berhasil mewujudkan agenda poros maritim di Laut Tiongkok Selatan.

Ilustrasi hubungan Jakarta-Beijing baru menggambarkan satu persoalan dengan satu negara tetangga. Yang lain masih banyak. Sebut saja aksi penculikan WNI di Laut Sulu, perompakan di Selat Malaka, penyelundupan senjata, narkotika, dan manusia lewat Laut Andaman, hingga isu perlombaan kekuatan angkatan laut di antara raksasa maritim seperti Amerika Serikat, India, Rusia, dan tentu saja Tiongkok di Indo-Pasifik. Kesemuanya menyimpan konsekuensi, baik potensial maupun aktual, terhadap implementasi agenda poros maritim dunia.

Sampai sekarang belum kelihatan apakah strategi yang dimiliki dan telah dilaksanakan jajaran diplomasi kita. Publik memahami bahwa banyak hal terkait diplomasi tidak bisa disampaikan secara terbuka, diliput media, dan dijelaskan dengan terperinci karena menyangkut aspek kerahasiaan negara serta implikasi taktis. Namun, paling tidak terdapat tanda-tanda perubahan cara pandang dan penerapan kebijakan yang dapat diamati sebagai perwujudan agenda poros maritim dunia.

Yang pertama adalah kualitas kepemimpinan. Sebagai deklarator poros maritim dunia, Presiden Jokowi seharusnya memberi perhatian dan dukungan lebih besar dan nyata kepada upaya diplomasi poros maritim. Selama ini presiden justru menunjukkan sikap pasif dan terkadang kekurangtertarikan terhadap perkembangan internasional secara umum dan masalah maritim Indo-Pasifik secara khusus. Kebijakan luar negeri didelegasikan sepenuhnya kepada para pembantu presiden. Padahal, mereka belum tentu mengerti betul keinginan Jokowi. Akibatnya, kerap terjadi polemik di antara para menteri dalam menanggapi suatu permasalahan. Misalkan bagaimana menghadapi ulah Tiongkok. Ada menteri koordinator kemaritiman yang mempunyai determinasi kuat, memiliki pengalaman luar negeri, dan kemampuan strategis sehingga cenderung memilih kebijakan progresif. Sementara menteri luar negeri yang adalah seorang diplomat karir dengan pengalaman birokrasi diplomasi panjang namun kurang banyak terlibat dalam urusan strategis Asia Pasifik cenderung menerapkan pola kebijakan konservatif. Setelah muncul silang pendapat, barulah presiden bicara dengan nada rekonsiliatif. Jika Jokowi memang benar-benar menghendaki perwujudan poros maritim dunia, kekompakan tim pembuat dan pelaksana kebijakan luar negeri mutlak diperlukan.

Kedua, memosisikan poros maritim sebagai pengejawantahan prinsip bebas aktif. Dalam hal ini sangat penting untuk menghayati dan mengamalkan gagasan bebas aktif secara benar. Bebas aktif tidak berarti bahwa Indonesia tidak boleh memihak kepada kekuatan mana pun dan aktif menciptakan perdamaian serta keamanan dunia. Cara berpikir keliru. Bebas aktif sebagaimana diamanatkan oleh Sjahrir, Hatta, Natsir, dan Sukarno adalah Indonesia bebas memilih kawan asalkan sesuai dengan kepentingan nasional, dan aktif memperjuangkan semata-mata kepentingan rakyat Indonesia. Poros maritim dalam konteks bebas aktif berarti Indonesia boleh beraliansi dengan negara mana pun sejauh kerja sama yang dimaksud bermanfaat bagi bangsa dan negara. Karena itu, mengapa harus enggan dan ragu dalam menentukan pilihan poros maritim; akan condong ke Tiongkok ataukah ke Amerika Serikat, atau bahkan dengan India ataukah Rusia. Sekarang bukan soal antara ideologi kapitalis Blok Barat dan komunis Blok Timur lagi, melainkan kepentingan nasional objektif dan rasional.

Apalagi, dalam waktu dekat kepemimpinan baru di Washington di bawah Presiden Donald Trump segera berdampak. Sinyal kuat sudah diberikan Trump tentang sikap Amerika kepada Tiongkok akan lebih asertif. Secara umum, kebijakan di Indo-Pasifik pun akan bergeser mengikuti dinamika relasi Beijing-Washington. Sementara Jakarta tidak bisa terus memainkan taktik non-blok Amerika maupun Tiongkok karena Trump hanya memberi dua opsi ’’with the American or Chinese’’. Siapa yang lebih menguntungkan bagi poros maritim Indonesia, dialah yang harus dijadikan mitra strategis riil.

Ketiga, terkait dengan platform institusional ASEAN. Sebagai pendiri sekaligus anggota dengan kontribusi besar terhadap kemajuan ASEAN, Indonesia belum mempunyai cetak biru tentang kedudukan serta arti penting ASEAN dalam diplomasi poros maritim. Fungsi ASEAN hanya melanjutkan kebijakan terdahulu. Bahkan, Indonesia tidak mampu menyatukan suara ASEAN saat berhadapan dengan Tiongkok. Menimbang kembali untung rugi keikutsertaan dalam ASEAN bagi poros maritim jelas perlu dilakukan. Bukan berarti ASEAN harus segera ditinggalkan. Tetapi, peran strategis ASEAN direalisasikan demi kepentingan nasional Indonesia, bukan untuk kepentingan negara anggota lain sebagaimana sering terjadi kalau Indonesia berseteru dengan sesama negara ASEAN. Jakarta mengalah demi kerukunan ASEAN.

Selain tiga fondasi diplomasi di atas, barangkali masih ada hal lain yang urgen dibenahi. Bila memang poros maritim dunia merupakan cita-cita nasional, bukan retorika politik pragmatis, maka kualitas kepemimpinan, redefinisi prinsip, dan reposisi institusi diplomasi wajib dilakukan. Mumpung masih ada waktu sampai 2019. Poros maritim bisa jadi akan muncul sebagai janji yang ditagih kepada pemerintahan Jokowi-JK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar