Kamis, 19 Januari 2017

Presiden, Inklusi Pajak, dan Angsa

Presiden, Inklusi Pajak, dan Angsa
Aan Almaidah Anwar  ;  Pemerhati Perpajakan
                                           MEDIA INDONESIA, 19 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DUA hal yang pasti dan menakutkan dalam kehidupan ialah kematian dan pajak. Kematian itu akan menimpa semua makhluk Tuhan yang bernyawa. Namun, pajak, bisakah kita hindari dari kehidupan ini? Kalau bisa ditawar, pastilah hal itu akan dilakukan. Memang begitulah sifat manusia yang kerap mencari celah demi keuntungan dirinya. Tapi tidak dengan kematian. Namun, dalam kehidupan bernegara, pajak merupakan hal yang sudah pasti akan dibayarkan setiap warga negara. Kalau kita tak punya penghasilan tetap seperti halnya pegawai di sebuah perusahaan, bukan berarti tidak perlu membayar pajak. Saat membeli minuman ringan di toko kelontong, sadar atau tidak, kita sudah membayar pajak melalui harga minuman tersebut. Sederhana, bukan?

Patut diingat bahwa keuangan negara yang terbesar selama lebih dari satu dasawarsa bersandar pada penerimaan pajak. Bahkan pada APBN 2016 ditargetkan pemasukan dari sektor pajak sebesar Rp1.355 triliun. Jelas bukan jumlah yang kecil. Presiden Joko Widodo pun dengan lantang meminta petugas pajak untuk fokus dan proaktif dalam mengawal pencapaian target penerimaan. Kata Presiden (28/7/2016), jangan malah menakut-nakuti wajib pajak, agar tak ada yang tersakiti. Penegasan Presiden tersebut mengingatkan kita akan istilah Jean Baptiste Colbert tentang seni menarik pajak. The art of taxation is so plucking the goose as to obtain the largest amount of feathers with the least possible amount of hissing, yaitu seni mengumpulkan pajak itu seperti mencabut bulu angsa tanpa kesakitan. Salah satu pintu fasilitas yang dibuka untuk melaksanakan seni itu ialah ikut amnesti.

Langkah Presiden

Presiden Jokowi mengadakan perjalanan ke beberapa kota sejak periode pertama amnesti pajak, yaitu ke Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang. Untuk periode kedua amnesti, beliau sudah ke Makassar, Balikpapan, menyusul Bali dan Pekanbaru. Perjalanan periode pertama dan kedua amnesti sudah disosialisasikan dalam 10 ribu kali kegiatan sosialisasi, dengan dihadiri lebih dari 724 ribu orang, dan baru diikuti 616 ribu wajib pajak. Angka yang baru 1,9% dari seluruh wajib pajak terdaftar! Target amnesti ialah Rp165 triliun dan sedikitnya sudah tembus Rp109,5 triliun per 31 Desember 2016.

Sekali lagi, Presiden mengingatkan dalam kunjungan di Balikpapan (2/12/2016) bahwa sekarang saatnya terbuka. Pintu yang terbuka ialah tarif tebusan amnesti 3% yang sangat murah jika dibandingkan dengan negara lain yang bisa mencapai 25%-30%. Kalau Presiden berani mengatakan bahwa pajak itu penting, mengapa masih harus menunggu atau melihat teman dulu untuk memutuskan ikut? Sayang sekali bila masih ada yang berpikir untuk apa ikut. Berarti seni mencabut bulu angsa belum berjalan baik karena karakter sang angsa sendiri belum terbentuk. Karakter yang paham untuk apa dia membayar pajak dan bagaimana bisa berenang setelah itu atau terbang nyaman. Masyarakat rupanya menyukai fasilitas dan kemudahan, selain senang meniru perilaku. Orang lain ikut, saya pun ikut. Apalagi sosialisasi sudah sangat banyak di mana-mana. Seperti sugesti yang diulang berkali kali, semua tergerak untuk ikut amnesti.

Faktanya, amnesti tidak akan berulang. Sesukses apa pun yang dicapai Indonesia dalam amnesti, uang tebusan saat ini masih terbilang rendah. Denda yang akan diberlakukan saat tenggat Maret 2017 sangat tinggi, sebesar 200%. Bayangkan betapa sakit mencabuti bulu angsa pada saat itu. Rasa sakit itu berpulang dari kesadaran yang belum terbangun. Untuk itu, kita kembali menengok dari mana kesadaran bisa dibentuk. Ada sekitar 100 juta generasi muda dari PAUD sampai perguruan tinggi yang perlu belajar peran pajak. Selama ini kita menafikan pendidikan pajak dalam kehidupan. Contoh, generasi muda tahu pajak memegang peranan 70% APBN. Mereka sekadar tahu, tetapi pajak tidak menetap kuat di pikiran bawah sadar. Wabah berita media sosial memperkaya wawasan mereka tanpa paham mengapa harus ada pajak. Jadi, wajar saja kalau sudah besar bisa dipastikan mereka menjerit kesakitan saat bulu mereka dicabut.

Program inklusif

Inilah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan Indonesia. Pajak sebaik­nya diinklusikan dalam pendidikan berbagai segmen, mulai SD sampai mahasiswa, ibu hamil dan menyusui, wanita karier atau sosialita, ibu rumah tangga atau bapak pekerja, guru, dosen, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, hingga pejabat negara, yang semuanya bermuara ke satu tempat, yaitu sekolah.

As is the state, so is the school (Achmad Baedowi, 2012). Bagaimana suatu negara, demikianlah sekolah. Kalau bisa dibalik, bagaimana suatu sekolah, demikianlah menjadinya suatu negara. Eksistensi suatu pemerintahan sangat erat terkait dengan kebijakan pajak yang diambil, demikian dikatakan Rabushka, pakar perpajakan dari Stanford University. Perlu berpikir sekian puluh tahun ke depan untuk menjaga negara dari kehancuran karena tidak bisa membiayai diri sendiri.

Upaya paling sistematis untuk menumbuhkan kesadaran pajak ialah melalui pendidikan. Pendidikan pajak harus masuk secara inklusif dalam kurikulum pendidikan dengan fase berbeda-beda mengikuti tahapan perkembangan manusia. Biasanya kita lebih mengutamakan prinsip benefit dalam berperilaku, menghitung untung rugi dari setiap kegiatan. Pajak bisa diajarkan dalam konsep berbagi sejak dini, atau saling meminjamkan mainan pada teman yang kurang mampu. Kelak saat mereka bisa berkorban menyisihkan uang untuk membangun taman sekolah, kenalkanlah konsep kata pajak. Inklusi pajak ialah solusi puluhan tahun ke depan, ketika pajak tak hanya diajarkan dalam bentuk perhitungan tarif dan persentase, tetapi dikenalkan dalam bentuk seni dan kegembiraan.

Apa pun namanya, pajak yang akan membantu Indonesia mandiri. Itulah warisan sebenarnya bagi anak cucu. Yang terpenting ialah bagaimana petugas pajak dan masyarakat sama-sama berproses dalam kepercayaan, dan bulu sang angsa dapat dicabut tanpa menyakiti, yaitu membuat angsa tetap nyaman serta yakin bulunya berguna. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar