Jumat, 17 Maret 2017

Demokrasi Produktif

Demokrasi Produktif
Raden Pardede  ;   Ekonom Senior;  Pendiri CReco Research Institute;
Ketua Yayasan Indonesia Forum
                                                        KOMPAS, 16 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo pada acara pengukuhan pengurus Hanura (22/2/2017) menyatakan, demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Presiden mengingatkan, waktu kita habis untuk sesuatu yang tidak produktif, bahkan energi pemerintah tergerus untuk urusan mengatasi gejolak intoleransi, radikalisasi, dan kebebasan yang kebablasan.

Pernyataan Presiden itu seharusnya menjadi lonceng keras yang membangunkan tidur kita. Akibat waktu habis untuk sesuatu yang tak produktif, perhatian dan energi pemerintahan berkurang untuk mengurus pembangunan kesejahteraan masyarakat dalam beberapa bulan belakangan ini. Padahal, tujuan akhir sistem demokrasi adalah menyejahterakan masyarakat, baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial. Demokrasi efektif dan produktif apabila ada keseimbangan antara hak dan tanggung jawab serta produktif dalam menjalankan fungsinya untuk menyediakan pelayanan umum ekonomi dan sosial bagi masyarakat luas. Ini adalah antitesis dari demokrasi kebablasan.

”Principal-agent problem”

Demokrasi liberalisme kebablasan mengalami ujian belakangan ini. Tren ketidakpuasan terhadap demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di sejumlah negara maju yang sudah lebih dulu menganut demokrasi, para pemilik suara pun menuntut adanya perubahan. Rakyat atau pemilik suara merasakan demokrasi sudah salah arah dan menjadi milik para elite politisi, DPR/parlemen, atau kepala pemerintahan, yang tak efektif melaksanakan kontrak kerja/mandat yang diberikan rakyat. Pada dasarnya tuntutan rakyat di mana-mana sama: agar para pelaksana mandat dan perwakilan rakyat bekerja secara produktif melayani serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Letupan ketidakpuasan yang kita lihat di AS dan sejumlah negara Eropa baru-baru ini mengingatkan kita bahwa sistem demokrasi yang efektif sedang digugat. Negara-negara itu cenderung menjadi populis dan mulai muncul gejala nasionalisme sempit (xenofobia). Jadi, tak berlebihan, harus dilakukan penyesuaian dan koreksi di sana-sini terhadap demokrasi yang kita adopsi sejak reformasi agar menjadi sistem demokrasi yang memberikan suasana kebebasan yang bertanggung jawab, taat hukum, sekaligus menjadi pijakan sistem yang produktif untuk menyejahterakan masyarakat luas.

Menurut saya, persoalan dalam demokrasi kita sekarang disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara pemilik suara (principal) dengan pelaksana dan pengurus, eksekutif, dan pengawas (agen). Ketidakjelasan meliputi: 1) persyaratan rasionalitas dari pemilik suara, 2) kontrak kerja antara principal dan agen, 3) pertanggungjawaban agen kepada principal, 4) mekanisme insentif yang diberikan principal kepada agen, 5) hubungan hierarki dan mekanisme insentif antara agen di tingkat pusat (presiden) dan agen di daerah (kepala daerah), 6) mekanisme pendanaan demokrasi dan partai politik.

Pendekatan seperti ini sangat lazim dinamai oleh para periset di bidang ekonomi-politik sebagai problem pemilik dan pelaksana (principal-agent problem) dengan kontrak kerja (contract theory) dan desain mekanisme insentif (mechanism design). Metode dan pendekatan ini sudah sangat maju dan terkenal. Beberapa pemenang Nobel Ekonomi dianugerahi penghargaan karena sumbangan pemikiran mendalam di bidang ini, termasuk Oliver Hart dan Bengt Holmstrom karena sumbangan besar mereka dalam contract theory. Dengan pendekatan ini, persoalan demokrasi dan desentralisasi yang tak efektif bisa kita identifikasi dengan jelas. Setelah persoalan teridentifikasi, rekomendasi dan opsi jalan keluar tentu akan lebih jelas.

Tulisan ini secara khusus membahas identifikasi persoalan principal dan agen dalam demokrasi serta desentralisasi Indonesia. Pertama, apakah principal secara obyektif dan rasional memilih agen pelaksana? Pemilik suara harus punya keinginan dan tujuan yang jelas dan pada saat yang sama harus rasional dalam memilih agen pengawas (DPR/DPRD dan partai) serta agen pelaksana (presiden, kepala daerah tingkat 1 dan 2). Mereka bertanggung jawab atas siapa yang dipilih dengan menimbang kapasitas dan program serta rekam jejak. Principal yang tak rasional dan memilih agen pelaksana berdasarkan hubungan emosional dan primordial tak boleh menuntut banyak serta harus dapat menerima hasil dan konsekuensi dari pilihan mereka.

Kedua, apakah principal di Indonesia sudah punya kesepakatan bersama yang selanjutnya menjadi kontrak kerja dengan agen pelaksana? Sebagaimana lazimnya dalam era demokrasi, pemilik suara punya aspirasi dan keinginan beragam, kadang bertentangan satu sama lain. Namun, para principal ini harus punya satu kesepakatan bersama tentang apa yang agen harus lakukan. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian menjadi kontrak kerja principal dengan agen (presiden terpilih, gubernur terpilih, ataupun bupati terpilih). Dalam praktiknya ini bisa dibalik, yaitu para calon presiden dan kepala daerah menawarkan program atau platform kepada para pemilik suara. Pemenang atau kandidat agen yang terpilih secara rasional adalah para agen yang menawarkan program paling sesuai dengan kesepakatan bersama para pemilik suara tadi.

Ketiga, apakah pertanggungjawaban kontrak kerja antara pemilik suara dan agen sudah transparan serta pengawasan pelaksanaan kontrak sudah efektif? Kontrak kerja atau mandat yang sudah diberikan kepada para agen pelaksana (eksekutif) harus diawasi dengan benar oleh perwakilan dari principal sehari-hari, yaitu DPR/DPRD. Lembaga ini sama seperti komisaris di tingkat perusahaan yang menjadi perwakilan pemilik saham mengevaluasi para direktur sehari-hari.

Para pengawas melakukan evaluasi secara terbuka dan adil serta sesuai kontrak kerja antara pemilik suara dan agen pelaksana. Para pengawas tak bisa membuat kontrak kerja sendiri yang berbeda dengan pemilik suara mayoritas. Para pengawas juga tidak boleh semena-mena berkolusi untuk menjatuhkan agen pelaksana. Keputusan akhir tetaplah pada prinsipal atau pemilik suara itu pada rapat umum pemilik suara (RUPS) yang dilakukan sekali lima tahun melalui pemilu atau pilkada.

Keempat, apakah mekanisme insentif yang diberikan prinsipal ke agen sudah memadai dan cukup kompetitif? Insentif gaji dan tunjangan lain itu harus cukup, tetapi tak perlu berlebihan karena mereka menjadi pejabat bukan untuk menjadi kaya, namun mengabdi, menjadi pelayan publik, serta punya legasi dan terhormat. Insentif lainnya, mereka bisa terpilih kembali jika mereka mengerjakan kontrak dengan optimal dan hasilnya memuaskan rakyat. Di samping insentif, harus ada sanksi jika agen tak mampu secara optimal atau gagal melaksanakan amanat prinsipal, termasuk tak memilih kembali.

Kelima, di alam demokrasi yang juga mengadopsi desentralisasi jauh hingga ke kepala daerah tingkat 2, apakah desain mekanisme hubungan hierarki antaragen pelaksana (eksekutif) di tingkat pusat dan daerah sudah cukup untuk menjamin pelaksanaan program pusat terimplementasi hingga ke daerah? Hubungan ini jelas merupakan prasyarat pelaksanaan kebijakan yang harmonis dan efektif hingga ke daerah. Dalam pelaksanaan satu program yang disepakati di tingkat pusat, desain pelaksanaan disertai insentif dan sanksi secara berjenjang mulai dari presiden hingga ke bupati dan wali kota. Mekanisme yang didesain dengan baik akan menjamin efektivitas kebijakan presiden berjalan baik hingga daerah tingkat dua. Sejak kita menganut desentralisasi yang berlebihan, mekanisme ini hilang sehingga kebijakan pusat dalam banyak hal menjadi tak efektif pelaksanaannya. Situasi ini sangat jauh berbeda dengan rezim Orde Baru.

Keenam, apakah sistem pendanaan parpol sudah memadai dan pertanggungjawabannya transparan? Problem ini dihadapi setiap rezim demokrasi di mana pun. Biaya demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat luas tak murah. Pilihan pendanaan oleh pemerintah atau swasta atau campuran keduanya harus diatur jelas dan dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat. Pemilik suara harus sadar akan biaya demokrasi ini dan harus diatur agar tak ada penyalahgunaan.

Kita bisa menjawab pertanyaan di atas melalui refleksi fakta yang kita temui dalam persoalan demokrasi dan desentralisasi di Indonesia kini. Dari pertanyaan itu, dengan mudah kita bisa melihat kelemahan kita. Sangat baik jika kita sudah melihat kelemahan kita dan lebih baik lagi jika kita mau melakukan perbaikan dan penyesuaian di sana-sini, jika kita menginginkan agar sistem demokrasi dan desentralisasi kita bisa berjalan efektif dan produktif. Alternatifnya, jika kita tak mau memperbaiki sistem yang kita anut, kita kembali ke rezim nondemokrasi dan nondesentralisasi, seperti zaman Orde Baru di mana sangat jelas siapa prinsipal dan agennya, dan mekanisme insentif antara presiden dan kepala daerah tertata rapi.

Peran pemerintah

Semua pilihan ada implikasinya: pemerintah berperan atau minimalis. Jika kita mengharapkan peranan pemerintah pusat efektif dalam pelaksanaan kebijakan menyejahterakan rakyat dalam sistem demokrasi kita, kita perlu memikir ulang dan mendesain mekanisme insentif dan kontrak antara presiden, gubernur, dan bupati sehingga memaksa mereka bersama-sama melakukan kebijakan itu secara efektif. Juga mendesain mekanisme insentif antara pemilik suara dan partai serta mekanisme insentif antara partai (perwakilan pemilik suara) dan presiden sebagai agen pelaksana amanat pemilik suara.

Kita harus memberikan ruang agar ada garis komando jelas dengan segala konsekuensinya dan instrumen insentif yang bisa diberikan presiden kepada gubernur dan bupati untuk mengimplementasikan kebijakan pusat. Kalau gubernur dan bupati terbukti secara nyata tak mengimplementasikan kebijakan yang disepakati untuk menyejahterakan masyarakat, pemilik suara di tingkat daerah juga harus konsisten memakai hak suara mereka dalam pemilu yang akan datang atau menyuarakan posisi mereka melalui perwakilan mereka (DPRD). Intinya, kontrak kerja dan mekanisme insentif pemilik suara dan pelaksana (eksekutif dan pengawas) serta hierarki harus tersusun rapi agar demokrasi dan desentralisasi bisa menjadi produktif untuk melaksanakan program kesejahteraan masyarakat.

Alternatifnya, jika kontrak kerja dan mekanisme insentif atau problem prinsipal-agen tak kita koreksi atau sesuaikan, kita harus cukup puas bahwa apa pun kebijakan yang baik untuk menyejahterakan masyarakat kemungkinan besar tak bisa terimplementasikan dengan efektif. Jadi, pilihan terbaik dan optimal adalah pemerintah justru tak perlu membuat banyak kebijakan dan fokus hanya pada kepastian hukum serta kebijakan minimalis yang mengurangi peran pemerintah itu sendiri. Karena akan sia-sia kita membuat inisiatif kebijakan yang tidak akan efektif pelaksanaannya di lapangan.

Saya bisa memahami kegalauan Presiden perihal demokrasi kebablasan. Demokrasi dan desentralisasi itu disertai tanggung jawab dan bukan sekadar kebebasan. Karena kita sudah sepakat memilih sistem demokrasi dan desentralisasi, sudah seharusnya kita ikut bertanggung jawab memperbaiki kelemahan sistem tersebut agar bisa efektif menjalankan program menyejahterakan masyarakat. Jika tidak, kita jangan mengeluh atas hasil dari sistem yang ada sekarang. Terima saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar